KepalaRampok - Singa - Loncat Indah - Kayu Manis - Kereta Api - Garu Langit 06 = 20 - 91 - 51 - 41 Dewi Bulan - Kelinci - Renang - Kapas - Boneka - Dewi Sri
Category Archives Seri II Buku 101 Seri II Jilid 1 ♦ 15 Juli 2010 Sebuah padepokan kecil akan lahir di sebelah Kademangan Jati Anom. Di atas sebuah pategalan yang sudah ditumbuhi dengan berbagai macam pohon buah-buahan, akan dibangun kelengkapan dari sebuah padepokan betapapun kecilnya. Sebuah rumah induk dengan pendapa dan bagian-bagian yang lain, sebuah tempat ibadah, kolam dan sebuah kandang kuda. Di bagian belakang akan terdapat beberapa buah … Baca lebih lanjut → Buku 102 Seri II Jilid 2 admin ♦ 15 Juli 2010 Orang-orang yang membuat lingkaran di sekitar arena itu termangu-mangu sejenak. Mereka bagaikan dicengkam oleh peristiwa yang hampir di luar nalar. Ledakan cambuk Swandaru telah mengenai punggung harimau yang menerkamnya dan karah-karah besi baja dan kepingan-kepingan baja yang melingkar di antaranya ternyata telah berhasil menyobek kulit harimau itu, sehingga luka yang panjang telah menganga di … Baca lebih lanjut → Buku 103 Seri II Jilid 3 admin ♦ 15 Juli 2010 Orang-orang yang berada di dalam sanggar itupun menjadi tegang. Mereka mulai membayangkan apa yang bakal terjadi. Kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga apabila keduanya tenggelam dalam arus perasaan yang tidak terkendali, maka akan terjadi perang tanding yang sangat dahsyat di dalam sanggar itu. Tetapi di dalam sanggar … Baca lebih lanjut → Buku 104 Seri II Jilid 4 admin ♦ 15 Juli 2010 “Jika gelora di dalam dadanya itu mendapat pengarahan yang tepat, maka gairah yang menyala-nyala di dalam dada Swandaru itu akan dapat menghasilkan sesuatu yang besar bagi kademangannya. Tetapi jika sekedar didorong keinginannya sendiri,“ berkata Sumangkar di dalam hatiya. Karena itulah, maka setelah berbincang dengan Ki Demang, ia memutuskan untuk pergi ke padepokan kecil Kiai … Baca lebih lanjut → Buku 105 Seri II Jilid 5 admin ♦ 15 Juli 2010 “Jika tidak? Ternyata keempat orang perwira itu belum kita kenal sama sekali.“ desis Agung Sedayu. “Tentu agak aneh.” “Apakah mungkin karena sesuatu hal Pajang mengirimkan langsung prajurit-prajurit ke daerah ini?,“ bertanya Agung Sedayu. “Menurut pertimbanganku, itu tidak mungkin. Mereka tinggal memerintahkan saja kepada Untara seandainya mereka mendapat suatu keterangan tentang kejahatan atau semacamnya di … Baca lebih lanjut → Buku 106 Seri II Jilid 6 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Argapati termangu-mangu. Sementara Agung Sedayu bertanya, “Tetapi Ki Waskita akan pergi seorang diri tanpa kawan di perjalanan.” Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, “Jalan rasa-rasanya menjadi semakin aman.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh itu memang memerlukan seorang kawan untuk mempersiapkan pasukannya. Setelah pembicaraan itu tuntas, maka Ki … Baca lebih lanjut → Buku 107 Seri II Jilid 7 admin ♦ 15 Juli 2010 Perintah itupun segera menjalar kepada setiap pemimpin kelompok dan prajurit, meskipun mereka tidak mengetahui alasannya dengan pasti. Namun perintah itupun disusul oleh perintah Swandaru kepada pasukannya, bahwa mereka tidak hanya sekedar menunggu di mulut lembah. Mereka akan mengikuti gerak pasukan Mataram. Jika benar-benar diperlukan, maka mereka akan langsung terlibat ke dalam pertempuran.“ Sementara itu, … Baca lebih lanjut → Buku 108 Seri II Jilid 8 admin ♦ 15 Juli 2010 Sesaat Ki Gede Telengan memusatkan segenap kemampuan ilmu dan kekuatannya pada sorot matanya. Dengan tangan yang tersilang, ia berdiri tegak. Dipandanginya Agung Sedayu yang sedang berusaha memperbaiki keadaannya setelah pisau-pisau yang menyambarnya lewat. Namun tiba tiba terasa seakan-akan urat-urat darahnya bagaikan tersumbat di dadanya. Seakan-akan batu sebesar bukit telah menindihnya. Bukan saja darahnya yang … Baca lebih lanjut → Buku 109 Seri II Jilid 9 admin ♦ 15 Juli 2010 Ki Gede Menoreh benar-benar berada dalam kesulitan. Seakan-akan ia hanya berkesempatan menahan dan menangkis serangan lawannya. Tetapi ia sendiri tidak sempat menyerang, karena dengan licik Ki Tumenggung Wanakerti selalu menjahuinya. Ki Gede Menoreh tidak mau memaksa diri untuk meloncat menyerang. Ia tidak mau menanggung akibat yang parah karena kakinya. Sehingga dengan demikian maka ia … Baca lebih lanjut → Buku 110 Seri II Jilid 10 admin ♦ 15 Juli 2010 Di bagian lain dari sayap itu, Ki Waskita telah berhasil mengatasi kusulitan yang paling gawat. Iapun telah berhasil menekan lawannya yang mulai lelah. Lawannya yang bertubuh dan berkekuatan raksasa itu, ternyata sulit untuk mengimbangi Ki Waskita. Bukan saja ketangkasan dan kecepatan bergerak, tetapi ternyata Ki Waskita memiliki kelebihan daya tahan seperti halnya Kiai Gringsing. … Baca lebih lanjut → Navigasi pos
ApiDi Bukit Manoreh Seri 2 (Jilid 101-200).pdf. Api Di Bukit Manoreh Seri 2 (Jilid 101-200).pdf. Sign In. Details
♦ 15 Juli 2010 Dalam pada itu, Kiai Gringsing justru teringat kepada Pandan Wangi yang berlandaskan pada ilmu dari aliran Tanah Perdikan Menoreh. Di luar sadarnya, karena ketekunannya meningkatkan ilmu, maka Pandan Wangi telah merambah kepada sejenis ilmu yang nampaknya memperkaya kemampuannya, sebelum ia mengandung. Tetapi sudah tentu pada saat-saat ia menunggu kelahiran bayinya yang menjadi semakin dekat, maka Pandan Wangi harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus sesuai dengan keadaannya. Swandaru sendiri telah memandangi gurunya yang termangu-mangu. Tetapi. Swandaru tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gurunya itu. Karena itu, Swandaru pun telah menunggu. Baru sejenak kemudian gurunya itu berkata, “Baiklah Swandaru. Kedatanganmu menunjukkan perhatianmu yang besar terhadap guru dan saudara seperguruanmu, juga terhadap adikmu yang kebetulan juga berada di Tanah Perdikan ini. Kita wajib bersyukur bahwa semuanya telah lewat, meskipun satu dua korban telah jatuh. Agaknya Ki Jayaraga pun harus memulihkan kekuatan dan ketegaran tubuhnya. Bahkan Sekar Mirah pun telah terlibat dalam pertempuran pula. Namun Tanah Perdikan ini tetap tegak. Apalagi persoalan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini sekaligus sudah teratasi.“ “Syukurlah Guru. Tetapi menurut pendengaranku, Guru akan meninggalkan Tanah Perdikan ini besok bersama pasukan Mataram?“ bertanya Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing pun kemudian telah menjawab, “Ya. Besok aku akan kembali ke Jati Anom. Aku akan bersama-sama dengan Ki Patih Mandaraka sampai ke Mataram. Kemudian dari Mataram aku dapat sendiri kembali ke Jati Anom. Bukankah jaraknya tidak terlalu panjang?“ “Sangat berbahaya bagi Guru untuk kembali sendiri ke Jati Anom,“ berkata Swandaru. “Aku tidak sendiri dalam arti tanpa kawan sama sekali. Aku membawa dua orang pengawal,“ berkata Kiai Gringsing. “Tidak ada artinya. Bukankah Guru mengatakan bahwa mungkin masih ada pecahan orang-orang Madiun yang berkeliaran? Apalagi jika mereka mengetahui, bahwa Guru dalam keadaan yang agak lemah. Bukan kerena ilmunya, tetapi karena wadagnya yang sudah tidak mendukung kemampuan ilmu Guru. Lebih-lebih lagi, sebenarnya Guru dalam keadaan sakit,“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Agung Sedayupun berkata, “Aku sependapat dengan Adi Swandaru Guru. Meskipun jarak antara Mataram, Sangkal Putung dan Jati Anom tidak terlalu jauh, tetapi sebaiknya Guru tidak menempuh perjalanan sendiri. Dua orang pengawal itu hanya kawan berbincang di perjalanan, karena jika terjadi sesuatu, mereka belum mampu ikut berbicara sama sekali. Kecemasan Guru tentang Adi Swandaru, justru membuat aku menjadi semakin cemas tentang perjalanan Guru kembali ke Jati Anom. Bahkan Ki Jayaraga telah menganjurkan kepadaku untuk mengantar Guru kembali ke Jati Anom bersama Glagah Putih, sebelum Adi Swandaru datang. Dengan kehadiran Adi Swandaru, maka Guru akan dapat diantar oleh Adi Swandaru sampai ke Jati Anom.“ Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin disebut orang tua yang keras kepala. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan kembali ke Jati Anom bersama Swandaru. Jika kemarin aku berkeberatan diantar oleh Agung Sedayu, karena aku tahu Tanah ini memerlukan pembenahan segera. Bahkan mungkin masih akan dapat timbul persoalan-persoalan yang rumit.“ “Baiklah Guru,“ sahut Swandaru, “tetapi aku mohon, kita tidak perlu bersama-sama dengan orang-orang Mataram. Mereka akan kembali bersama pasukan segelar sepapan. Karena itu, rasa-rasanya kita akan lebih bebas jika kita menempuh perjalanan itu sendiri.“ “Tetapi aku sudah berjanji dengan Ki Patih Mandaraka untuk menyertainya,“ berkata Kiai Gringsing. “Guru dapat mengatakannya, bahwa aku sudah menjemput Guru,“ berkata Swandaru. Ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak dapat menolak keinginan murid-muridnya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba menyampaikannya kepada Ki Patih Mandaraka.“ “Kenapa harus mencoba? Bukankah segala sesuatunya terserah kepada Guru?“ sahut Swandaru. “Ya. Memang terserah kepadaku,“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi bukankah aku harus mencabut kesediaanku? Aku sudah berjanji untuk berangkat bersama Ki Patih. Dan kita tahu nilai dari sebuah janji, meskipun janji ini bukan janji yang mempunyai akibat menentukan.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya, “Jika tidak sekarang, kapan kita akan kembali?“ “Terserah kepada Guru. Besok atau lusa,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kita bicarakan kemudian. Sekarang, kita tinggal menunggu Ki Patih bangun. Karena itu, jika kita ingin beristirahat, kau dapat pergi ke rumah kakangmu Agung Sedayu. Biarlah aku di sini menunggu Ki Patih, untuk berbicara tentang rencanaku menunda keberangkatanku kembali ke Jati Anom.“ “Waktunya tinggal sedikit. Sementara kami berjalan, matahari telah mulai memancar. Biarlah kami menunggu di sini,“ berkata Swandaru. “Kau tidak letih? Atau barangkali kau akan beristirahat di sini?“ bertanya Kiai Gringsing. “Betapapun letihnya, di hadapan Guru tentu aku ingin menunjukkan bahwa aku adalah murid yang baik,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita menunggu di sini.“ Demikian, mereka sempat berbicara tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Tentang Senapati Pasukan Khusus yang menentang perintah, dan tentang kehadiran pasukan Mataram yang hampir terlambat. Dalam pada itu, di banjar, para pemimpin prajurit Mataram telah bersiap. Demikian pula pasukan segelar sepapan yang akan kembali ke Mataram dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Ada beberapa orang yang telah menjadi korban dan telah dibawa lebih dahulu ke Mataram. Di dapur banjar padukuhan induk, beberapa orang perempuan telah sibuk pula menyiapkan makan bagi para prajurit yang akan berangkat ke Mataram itu. Bahkan juga beberapa orang perempuan di rumah Ki Gede. Ketika matahari mulai membayang, Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Demikian pula Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Sementara Ki Patih Mandaraka telah duduk di pendapa pula bersama Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Gede dan Ki Jayaraga. Tiga orang yang menyertai Ki Patih Mandaraka ikut pula duduk bersama mereka. Dengan kecewa Ki Patih yang mendengar perubahan rencana Kiai Gringsing berkata, “Rasa-rasanya aku akan menjadi kesepian di perjalanan.“ “Maaf Ki Patih. Muridku yang muda baru pagi ini tiba. Aku ingin mengawaninya barang satu dua hari di sini,“ jawab Kiai Gringsing. Ki Patih ternyata dapat mengerti. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku mohon Kiai dapat singgah di Mataram dalam perjalanan Kiai kembali ke Jati Anom.” “Mudah-mudahan Ki Patih. Namun agaknya semua yang aku ketahui dalam hubungannya dengan Madiun karena kepergianku ke Madiun, telah aku sampaikan kepada Angger Panembahan Senapati,“ berkata Kiai Gringsing. “Peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan ini akan memerlukan pembahasan,“ jawab Ki Patih Mandaraka. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang demikian.“ Namun pembicaraan mereka pun terhenti. Sekar Mirah yang sudah berada di rumah itu telah mengatur hidangan yang harus dihidangkan ke pendapa. Minuman hangat dan beberapa potong makanan. Kemudian telah dihidangkan pula makan pagi bagi para pemimpin prajurit Mataram yang ada di rumah Ki Gede, orang-orang tua dan para pemimpin Tanah Perdikan sendiri, yang menemui para tamu dari Mataram di saat-saat terakhir. Dalam waktu yang hampir bersamaan, maka para pemimpin prajurit Mataram serta seluruh pasukan yang ada di banjar dan sekitarnya pun telah mendapat hidangan minum dan makan pula, sebelum mereka berangkat meninggalkan Tanah Perdikan. Namun dalam pada itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan di seluruh Tanah Perdikan justru telah berjaga-jaga. Mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas perlindungan terhadap Tanah Perdikannya. Pengalaman pahit atas sikap Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan merupakan pelajaran, bahwa para pengawal Tanah Perdikan harus benar-benar mampu melindungi kampung halamannya. Tetapi pimpinan Pasukan Khusus yang baru, yang di bantu oleh Ki Lurah Branjangan yang berpengalaman luas, memberikan kemungkinan yang jauh berbeda dengan pimpinan yang lama. Ketika kemudian matahari naik di atas ujung pepohonan, maka pasukan Mataram telah benar-benar siap untuk berangkat. Ki Patih Mandaraka telah mohon diri kepada para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua yang masih tinggal. “Aku mohon maaf, bahwa karena kehadiranku, beberapa anak muda terbaik di Tanah Perdikan ini telah gugur,“ berkata Ki Patih. “Tidak,“ jawab Ki Gede, “kami-lah yang mohon maaf, justru ternyata kami bukan tuan rumah yang baik.“ Ki Patih tertawa. Katanya, “Kita telah melakukannya bersama-sama, mempertahankan hak kita, di samping hak hidup kita.“ “Semoga perjalanan Ki Patih tidak mengalami hambatan apapun,“ berkata Ki Gede kemudian. Demikianlah, ketika cahaya matahari mulai terasa gatal di kulit, Ki Patih Mandaraka benar-benar telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Para pemimpin Tanah Perdikan dan orang-orang tua mengantar mereka lewat banjar padukuhan induk, keluar gerbang padukuhan. Sementara itu, sekelompok pasukan pengawal berkuda Tanah Perdikan telah mendahului pasukan Mataram yang segelar sepapan itu. Untuk membangkitkan kebanggaan penghuni Tanah Perdikan Menoreh, serta menghapuskan kesan kecemasan dan ketakutan setelah Tanah Perdikan itu dilanda oleh kerusuhan yang mengguncangkan segi-segi kehidupan, maka pasukan Mataram telah berbaris dengan segenap tanda-tanda kebesaran pasukan sebagai pasukan pilihan. Sebenarnyalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh menjadi berbesar hati melihat sepasukan prajurit Mataram dengan segala macam pertanda kebesarannya. Rontek, umbul-umbul, klebet dengan tunggul masing-masing. Dengan demikian maka orang-orang Tanah Perdikan tidak merasa cemas bahwa mereka akan mengalami kesulitan atas kehadiran orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dalam pada itu, atas perintah Ki Patih Mandaraka, maka di barak Pasukan Khususp un telah dipasang pula pertanda kebesaran Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Selain mereka, maka para pengawal Tanah Perdikan sendiri telah menunjukkan keperkasaan mereka di antara para prajurit Mataram yang akan meninggalkan Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, para pengawal telah mengantar pasukan Mataram yang segelar sepapan itu sampai ke Kali Praga. Ternyata aliran Kali Praga yang keruh itu nampak agak naik sedikit, sehingga pasukan yang segelar sepapan itu harus bersabar, bergantian menyeberang dengan rakit, meskipun semua rakit telah dikerahkan untuk pasukan Mataram itu. Namun akhirnya kelompok yang terakhir pun telah menyeberang pula. Sebelum naik ke atas rakit, Ki Patih Mandaraka masih sempat berpesan kepada Agung Sedayu yang memimpin sekelompok pengawal Tanah Perdikan, “Berhati-hatilah. Sebenarnyalah Kiai Gringsing sudah terlalu tua, dan percayalah kepadaku, Kiai Gringsing dalam keadaan sakit. Tetapi jangan sedih, karena ia telah menempuh kehidupan wajar sebagai kebanyakan orang, yang pada saatnya lahir, besar dan akhirnya kembali kepada Yang Maha Agung.” Terasa sesuatu bergejolak di dalam jantung Agung Sedayu. Tetapi ia melihat Ki Patih Mandaraka itu tersenyum. Katanya, “Kau harus bertanya kepada dirimu sendiri. Tanggapan apakah yang harus kau berikan kepada Kiai Gringsing?“ Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Sementara Ki Patih Mandaraka telah menepuk bahunya sambil berdesis, “Kau adalah harapan bagi masa depan. Gurumu adalah bagian dari masa yang lewat. Tetapi masa ke masa itu tidak terputus, karena kau telah mewarisi ilmunya. Jangan terlalu berbangga jika gurumu pernah berkata kepadaku, bahwa kau telah memenuhi harapannya. Meskipun gurumu masih sedikit berprihatin tentang adik seperguruanmu.“ Ki Patih itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku percaya bahwa kau tidak saja sekedar ingin memenuhi harapan gurumu. Tetapi juga harapan banyak orang di Tanah Perdikan Menoreh khususnya, dan Mataram pada umumnya.“ Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Patih berkata, “Sudahlah. Aku akan melanjutkan perjalanan. Bawa pasukanmu kembali ke Tanah perdikan dengan dada tengadah. Pasukan Khusus di Tanah Perdikan tidak menjadi masalah lagi bagi Ki Gede.” “Terima kasih Ki Patih,“ hanya kata-kata itu yang terlontar dari bibir Agung Sedayu. Sedangkan Ki Patih berkata, “Banyak pihak di istana yang memberikan pendapatnya, agar Mataram memberikan semacam pertanda bahwa kau sudah banyak memberikan pengorbanan dan pengabdian kepada Mataram. Sudah sepantasnya jika kau mendapat kedudukan yang tinggi di bidang keprajuritan. Tetapi sepanjang pengenalanku atas sifat-sifatmu, maka diperlukan satu penghargaan lain kepadamu.“ “Ah,“ desah Agung Sedayu, “tidak ada yang pantas mendapat penghargaan.“ “Aku tahu. Itu adalah sikapmu,“ jawab Ki Patih. “Jika kau mempunyai jiwa seperti kakakmu Untara, maka persoalannya akan berbeda. Kau dan kakakmu akan bersama-sama menerima anugrah pangkat Tumenggung.“ “Tempatku ada di antara anak-anak muda yang membangun bendungan, Ki Patih. Atau di antara mereka yang membuat jalan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain,“ jawab Agung Sedayu. Ki Patih tertawa. Katanya, “Baiklah, untuk sementara hal itu dapat kau lakukan Agung Sedayu. Kau dapat berada di lapangan. Tetapi sebenarnya kau dapat melakukan lebih dari itu. Membuat bendungan, jalan-jalan raya dan barangkali juga membuka tanah garapan baru. Tidak sekedar untuk satu daerah yang sempit. Tetapi kau dapat melakukannya untuk satu daerah yang jauh lebih luas. Sudah tentu tidak perlu harus kau lakukan sendiri.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia tidak dapat dengan cepat menangkap maksud Ki Patih Mandaraka. Namun kemudian Ki Patih berkata, “Agung Sedayu. Pada suatu saat, kau akan melakukan kerja yang jauh lebih besar. Bukan orang yang langsung berada di dalam lumpur untuk membuat tanggul. Tetapi kau akan dapat menjadi seorang yang mempergunakan nalar budimu untuk merencanakan dan melaksanakan kerja yang besar. Bukan hanya sebuah bendungan yang akan mengairi tiga atau empat bulak persawahan. Tetapi kau dapat merencanakan lima atau enam buah bendungan. Membuat susukan yang membelah daerah yang luas, serta merencanakan membuat jalan bukan dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, tetapi dari satu kota ke kota yang lain.“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Patih sekali lagi menepuk bahunya sambil berkata, “Kau akan dapat mengisi masa depan. Sudahlah. Kau dapat bekerja lebih keras. Juga kau masih akan dapat meningkatkan ilmumu pada tataran yang setidak-tidaknya sama dengan gurumu, karena pada dasarnya kau mempunyai bekal lebih banyak dari gurumu.“ “Aku mohon restu,“ berkata Agung Sedayu. Ki Patih tersenyum. Namun kemudian sebuah rakit telah bergerak dibarengi dua rakit yang lain. Ki Patih telah menyeberangi Kali Praga, disusul oleh para prajurit yang masih tersisa di tepian. Namun, demikian Ki Patih mencapai sisi yang lain sambil melambaikan tangannya, maka Agung Sedayu pun telah melambaikan tangannya pula. Tetapi ia berkata di dalam hati, “Agaknya tempatku bukan di lingkungan yang lebih luas dari sebuah Tanah Perdikan.“ Ternyata semakin lama Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia merasa semakin terikat dengan Tanah Perdikan itu. Namun ketika kemudian pasukan Mataram yang mengikuti Ki Patih Mandaraka itu kemudian meninggalkan tepian Kali Praga, serta Agung Sedayu pun telah berkuda bersama sekelompok pengawal kembali ke Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah digelitik oleh kegelisahannya sendiri. Ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak mempunyai hak apapun atas Tanah Perdikan itu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu, karena Sekar Mirah adalah adik Swandaru yang menjadi suami Pandan Wangi. “Satu belitan hubungan yang panjang,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Sementara itu, ia masih juga dibayangi oleh hak yang ada pada adik Ki Gede Menoreh, yang meskipun seakan-akan telah mengasingkan diri, tetapi Ki Argajaya adalah orang kedua di Tanah Perdikan. Sedangkan Ki Argajaya adalah ayah Prastawa, yang kini menjadi salah seorang di antara para pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang akan dilaluinya nampak berkabut tebal. Namun Agung Sedayu tidak dapat dengan segera memecahkan kabut tebal itu. Ia memerlukan waktu, perkembangan keadaan dan perkembangan penalarannya sendiri. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah membawa sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan induk. Swandaru dan gurunya masih menunggunya di rumah Ki Gede. Sekar Mirah pun masih juga berada di rumah Ki Gede untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya yang masih tinggal. Untuk beberapa lama Agung Sedayu dan Swandaru masih berada di rumah Ki Gede. Tetapi ternyata bahwa Swandaru merasa lebih bebas untuk berada di rumah Agung Sedayu. Karena itu, maka Swandaru pun kemudian telah mohon agar Kiai Gringsing bersedia untuk pergi ke rumah Agung Sedayu pula. Tetapi Kiai Gringsing sambil tersenyum menjawab, “Pergilah dahulu. Aku masih akan berada di sini bersama orang-orang tua yang sudah terlalu lama tidak bertemu. Tentu saja kita mengharap agar Ki Waskita berada di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari lagi. Nanti aku akan segera menyusul.“ “Tetapi bukankah seharusnya Guru sudah meninggalkan rumah ini pula?“ bertanya Swandaru. “Tetapi bukankah aku belum meninggalkan rumah ini? Sementara di sini masih ada tamu yang lain? Aku-lah yang telah memohon Ki Waskita untuk hadir. Kakakmu Agung Sedayu telah menyusulnya dan mohon agar Ki Waskita bersedia datang. Bukankah sudah seharusnya aku ikut menemui sementara Ki Waskita berada di Tanah Perdikan?“ jawab Kiai Gringsing. Tetapi Ki Waskita tertawa. Katanya, “Kerinduan seorang murid kepada gurunya. Silahkan Kiai. Biarlah aku berada di sini bersama Ki Gede dan Ki Jayaraga. Bukankah nanti Kiai akan datang lagi kemari? Aku tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Apalagi karena Kiai juga menunda keberangkatan Kiai.“ Namun Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Swandaru perlu beristirahat barang sejenak, seperti juga Agung Sedayu sendiri. Karena itu, biarlah mereka mendahului kembali ke rumah Agung Sedayu.“ Swandaru ternyata tidak dapat memaksa gurunya untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi seperti kata gurunya, ia memang ingin beristirahat. Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Swandarupun telah meninggalkan rumah Ki Gede dan menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun sementara itu. Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede, sebagaimana Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru sampai ke rumah Agung Sedayu, ternyata para pengawal Swandaru pun telah mendapat kiriman minum dan makanan dari rumah Ki Gede. Namun masih ada di antara mereka yang masih tertidur di gandok. Namun begitu mereka mengetahui bahwa Swandaru telah datang bersama Agung Sedayu, maka kawan-kawan mereka pun dengan cepat telah membangunkan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun membenahi diri dan siap melakukan tugas jika perintah itu datang. Tetapi Swandaru justru mendekati mereka sambil berkata, “Kita mendapat kesempatan beristirahat sekarang. Aku pun akan beristirahat. Tetapi kalian jangan lengah. Tanah Perdikan ini baru saja dilanda oleh malapetaka.“ Para pengawalnya tidak menjawab. Sementara Swandaru pun telah dipersilahkan untuk masuk ke ruang dalam. “Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu yang rumahnya terasa lengang. Namun ia dapat minta pembantu rumahnya untuk menyediakan minuman bagi tamunya. “Kau sedang apa?“ bertanya Agung Sedayu kepada pembantunya itu. “Membersihkan ikan,“ jawab anak itu. “O, kau dapat begitu banyak?“ bertanya Agung Sedayu sambil memuji. “Dua kali aku turun ke sungai semalam,“ jawab anak itu dengan bangga. “Kau sendiri atau dengan Glagah Putih?“ bertanya Agung Sedayu pula. “Glagah Putih menjadi semakin malas sekarang ini,“ jawab anak itu, “ada-ada saja alasannya.“ Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tetapi ternyata kau dapat menangkap ikan sebanyak itu sendiri dengan menutup pliridan dua kali semalam. Tentu hari ini Nyi Sekar Mirah tidak usah berbelanja lagi. Kendo udang dan rempeyek wader pari akan menjadi lauk yang nikmat sekali.“ Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tolong, kau buat minuman panas buat kami berdua. Aku dan tamuku.“ Namun ternyata anak itu berdesis, “Kita akan mendapat makan yang dikirim dari rumah Ki Gede, atau dari banjar seperti para pengawal di gandok itu.“ “Mungkin siang ini.“ jawab Agung Sedayu, “nanti sore kita sempat menikmati hasil buruanmu itu.“ “Tetapi siapakah yang akan membuat kendo dan rempeyek, jika Nyi Sekar Mirah berada di rumah Ki Gede?“ bertanya anak itu lagi. Sambil menepuk bahu anak itu Agung Sedayu menjawab, “Nanti aku akan memanggilnya. Sediakan dahulu dua butir kelapa yang masih agak muda.“ “Dua?“ anak itu menjadi heran. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi berapa? Tiga atau berapa saja diperlukan.“ Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Satu saja tentu sudah cukup.“ Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian sekali lagi ia berkata, “Tolong, kau sediakan minuman hangat. Wedang sere. Gula kelapa yang kuning.“ Sementara itu, selagi pembantu di rumah Agung Sedayu itu menyiapkan minuman hangat, Swandaru sempat berbenah diri setelah pergi ke pakiwan. Demikian ia mandi, terasa tubuhnya menjadi segar. Pikirannya pun terasa bertambah bening. Apalagi setelah minum minuman hangat. Maka rasa-rasanya keletihannya selama perjalanan di malam hari telah pulih kembali. Ketika Swandaru melihat-lihat halaman dan kebun rumah Agung Sedayu yang tidak begitu luas, tiba-tiba saja ia tertarik pada sebuah bangunan tertutup yang agak besar di kebun belakang. Swandaru mengerti bahwa bangunan itu adalah sanggar tertutup yang dipergunakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, barangkali juga Glagah Putih untuk berlatih. Karena itu, maka rasa-rasanya ia tertarik untuk memasukinya lagi, sebagaimana pernah dilakukannya. “Apakah aku diperbolehkan untuk melihat-lihat?“ bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu yang menemaninya. “Tentu saja. Bukankah kau pernah melihat?“ sahut Agung Sedayu. Swandaru mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah melangkah ke pintu sanggar. Membukanya dan kemudian melangkah masuk. Sanggar itu tidak terasa gelap, karena ada bagian yang terbuka di atasnya, sehingga sorot matahari pun telah menyuruk masuk. Sanggar itu masih belum banyak berubah sebagaimana pernah dilihatnya. Tidak jauh berbeda dengan sanggarnya di Sangkal Putung. Bahkan sanggarnya di Sangkal Putung agak lebih luas dari sanggar Agung Sedayu itu, dengan perlengkapan yang juga hampir sama. Tetapi Swandaru tidak memasang beberapa benda kecil yang dianggapnya tidak banyak berarti. Namun dari Agung Sedayu ia mendengar bahwa benda-benda kecil itu adalah alat untuk melatih dan mempertahankan kemampuan bidiknya. “Kau satu-satunya orang yang pernah mengalahkan Sidanti,“ berkata Swandaru. “Ah. Itu sudah terjadi bertahun-tahun lampau. Dan kini Sidanti sudah tidak ada lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Kemampuan bidikmu tentu semakin tinggi,“ berkata Swandaru. Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Aku mencoba untuk mempertahankannya.“ Swandaru termangu-mangu. Ia melihat seikat kecil jerami yang dibalut dengan kain sepanjang dua jengkal. Kemudian segenggam yang lain, yang dibentuk bulat, tergantung di bawah jerami yang memanjang itu. Tetapi di sebelahnya terdapat semacam kitiran dengan daun yang berlainan warna. Namun kemudian Swandaru tertarik pada sebongkah batu hitam yang besar. Di atasnya terdapat batu padas yang mengeras, meskipun tidak sekeras batu hitam itu. Sambil meraba batu padas itu Swandaru bertanya, “Kau berlatih memecahkan batu-batu padas dengan cambukmu?“ Namun ternyata hampir di luar sadarnya Agung Sedayu menjawab, “Glagah Putih yang melakukan latihan dengan batu-batu padas yang mengeras ini.“ “Apakah Glagah Putih juga mempergunakan cambuk sekarang?“ bertanya Swandaru. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata selanjutnya, “Kakang, apakah Guru sudah mengijinkan orang lain mempergunakan ciri-ciri perguruan menurut aliran Orang Bercambuk itu? Bukankah Kakang menuntun Glagah Putih dalam keturunan ilmu menurut aliran Ki Sadewa? Aliran yang tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tidak. Glagah Putih tidak mempergunakan ciri senjata cambuk.“ “O,“ Swandaru mengangguk-angguk, “dengan apa ia memecahkan batu-batu padas seperti ini?“ Agung Sedayu termangu-mangu. Di pinggir sanggar itu memang terdapat banyak batu padas berbongkah-bongkah. Glagah Putih memang mengumpulkan batu-batu padas itu untuk mempertajam kemampuannya memukul dari jarak jauh sebagaimana diajarkan oleh Ki Jayaraga, dengan sasaran yang berbeda-beda, karena Ki Jayaraga mengajarinya menyadap inti kekuatan dari sumber yang berbeda. Api, udara, air dan bumi. Di samping laku lain yang harus dijalani di luar sanggar. Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Swandaru telah bertanya pula, “Nampaknya inti kekuatan aliran Ki Sadewa benar-benar luar biasa. Glagah Putih tentu sudah memasuki puncak kemampuan itu, sehingga mampu memecahkan batu-batu padas dengan tangannya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak itu sudah berlatih dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan ia berhasil.“ “Apakah kau yang mengajarinya menurut aliran Ki Sadewa, sudah mampu melakukannya dengan tanganmu?“ tiba-tiba saja Swandaru bertanya. Agung Sedayu memang menjadi semakin bingung. Ia memang mengajari Glagah Putih sejak semula menurut jalur aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi ia sendiri adalah murid Kiai Gringsing yang menganut ciri tersendiri. Tetapi di dalam dirinya kedua aliran ilmu itu, bahkan dengan beberapa jenis ilmu yang dikuasainya dari sumber yang berbeda, telah luluh menyatu. Bahkan gurunya sama sekali tidak menganggap bahwa ia telah melakukan kesalahan. Gurunya justru berbangga karena Agung Sedayu telah memperkaya aliran ilmu yang diwarisinya dari gurunya itu, asal bukan jenis ilmu yang wataknya berlawanan. Namun karena Agung Sedayu harus menjawab pertanyaan Swandaru, maka iapun kemudian berkata, “Aku memang menuntun Glagah Putih menurut bekal yang sedikit diwarisi dari ayahnya. Ilmu yang bersumber sama dengan aliran ilmu Ki Sadewa. Tetapi sebagaimana kau ketahui, aku dimatangkan oleh ilmu dari aliran Orang Bercambuk itu, sehingga sudah tentu bahwa aku bukan Ki Sadewa, meskipun aku adalah anak Ki Sadewa. Tetapi aku belum sempat menerima warisan ilmu dari Ayah. Memang agak berbeda dengan Kakang Untara.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kakang. Sebaiknya kau memilih salah satu jalur dari beberapa jenis ilmu yang kau pelajari. Tetapi harus benar-benar kau tekuni sampai matang dari tingkat ke tingkat. “ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi bukankah di dalam kitab Guru itu, pada tingkat-tingkat berikutnya terdapat juga beberapa jenis ilmu, meskipun dengan landasan yang sama?“ “Kau harus memilih Kakang,“ jawab Swandaru, “kita tidak boleh serakah sehingga ingin menguasai dua atau tiga jenis sebagaimana Guru. Mungkin menjelang usia tua kita dapat melakukannya sebagaimana dilakukan oleh Guru. Tetapi sudah tentu memerlukan waktu dan kematangan penguasaan ilmu. Mungkin saja sekarang kita dapat mempelajari dua atau tiga jenis ilmu. Tetapi justru semuanya akan tetap masih saja mentah dan tidak menyentuh inti kekuatan ilmu dari Guru kita.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak tahu, jawaban apa yang harus dikatakannya. Setiap kali mereka berbicara tentang ilmu, maka Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun Agung Sedayu itu harus mengakui kesalahannya, bahwa hatinya tidak terbuka sebagaimana Swandaru. Jika sejak semula ia terbuka, maka tidak akan terjadi kesalahan penilaian seperti itu, sehingga ia mengalami kesulitan untuk memperbaikinya. Selagi Agung Sedayu termangu-mangu, maka Swandaru telah mengurai cambuknya. Sambil tersenyum ia berkata, “Ilmu dari Orang Bercambuk itu tidak akan kalah dari aliran ilmu yang manapun. Sebenarnya aku ingin melihat Glagah Putih berlatih. Bagaimana ia memecahkan batu-batu padas itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Namaun sementara itu Swandaru telah memutar cambuknya. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Ia tahu, bahwa Swandaru ingin menunjukkan kemampuan ilmunya kepadanya. Bahkan kepada Agung Sedayu iapun berniat baik untuk mendorong agar ia berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Namun terasa juga sikap ingin tahu dan kemudian melampaui kemampuan Glagah Putih, yang menilik dari alat-alat latihannya telah menjadi semakin meningkat ilmunya. Sejenak Swandaru masih memutar cambuknya. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan ilmunya maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya ke arah batu padas yang berada di atas batu hitam, sebagai bahan latihan Glagah Putih itu. Satu ledakan yang keras telah menggetarkan sanggar yang tidak terlalu besar itu. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, maka batu padas yang mengeras itu telah pecah berhamburan. Bahkan Agung Sedayu telah melihat bahwa batu hitam itu pun telah terluka. Sebaris goresan menjelujur pada batu hitam itu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah melihat Swandaru mencambuk tanah tempatnya berpijak sehingga seakan-akan terbelah. Agung Sedayu percaya akan kekuatan yang sangat besar pada adik seperguruannya itu, yang berpijak pada ilmu yang sama dengan landasan ilmu yang diwarisi dari Orang Bercambuk itu. Dengan kekuatan ilmu yang sangat besar itu, Agung Sedayu memang berpendapat, bahwa cambuk Swandaru agaknya mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya, maka sisa kekuatan cambuk yang menembus ilmu kebalnya tidak akan menyakitinya, karena kekuatan Swandaru yang diungkapkannya itu adalah sekedar ungkapan kewadagan. Ternyata Swandaru masih belum menggapai inti kekuatan ilmu Orang Bercambuk itu, dimana tenaga, kekuatan dan nilai dari ungkapan ilmunya itu justru tidak lagi menimbulkan bunyi ledakan yang sangat keras, karena semua tenaga telah terserap pada hentakan itu sendiri tanpa mengalir sedikitpun untuk mendorong getaran bunyi yang berlebihan. Sebenarnyalah Agung Sedayu pun merasa prihatin atas kelambatan perkembangan ilmu Swandaru, yang memang waktunya lebih banyak dirampas bagi kademangannya. Swandaru memang telah bekerja keras untuk menjadikan kademangannya satu kademangan yang besar dalam arti yang sebenarnya. Kesejahteraan hidup rakyatnya meningkat dengan pesat, sehingga Sangkal Putung banyak menjadi kiblat usaha perbaikan dari beberapa kademangan yang lain. Namun kademangan-kademangan yang lain tidak mempunyai Swandaru. Tidak mempunyai seorang penggerak yang berpegang keras pada paugeran yang sudah disusun bersama oleh seisi kademangan. Apalagi kademangan yang tidak pernah ditempa oleh kerasnya kehidupan dalam pusaran pergeseran pemerintahan seperti Sangkal Putung. Sebagai seorang pengawal, ilmu Swandaru memang sudah melambung tinggi. Seandainya ia harus bertempur melawan orang-orang berilmu, maka Swandaru memang tidak mudah dikalahkan. Tetapi jika ia harus menghadapi orang-orang seperti Sabungsari, bahkan Glagah Putih, apalagi Bango Lamatan, maka Swandaru masih harus melengkapi ilmunya. Ia masih harus mencapai inti kekuatan ilmu orang bercambuk, khususnya dalam ilmu cambuk itu sendiri, serta ilmu pelengkap lainnya yang tidak usah dicarinya kemana-mana, tetapi dapat dicari di dalam kitab yang diberikan gurunya kepada mereka. Tetapi sudah barang tentu memerlukan laku yang berat dan memerlukan waktu khusus, yang akan dapat mengurangi waktunya yang diperuntukkan bagi kademangannya. “Seharusnya Swandaru menyusun tenaga anak-anak muda yang akan dapat mengisi kekurangannya jika ia sendiri harus menjalani laku bagi dirinya sendiri,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, yang melihat Swandaru seakan-akan telah memegang segala kepemimpinan di Kademangan Sangkal Putung atas nama ayahnya. Namun demikian, Agung Sedayu tidak dapat berkata apa-apa. Ia menyadari, bahwa Swandaru tidak melihat perbandingan ilmu yang sebenarnya di antara kedua orang murid Kiai Gringsing itu. Sementara itu Agung Sedayu masih saja tertutup hatinya. Justru ia bimbang, bahwa ia akan dianggap terlalu sombong, tidak tahu diri dan membuat Swandaru marah, sehingga ia tidak dapat mengatakan apa-apa, meskipun ia sadar bahwa dengan demikian ia sudah menyembunyikan kebenaran. Bahwa Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Swandaru telah keliru menilai pula. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu memang menjadi kagum akan kekuatannya. Ujung cambuknya bukan saja memecahkan batu-batu padas yang mengeras, tetapi batu padas hitam yang menjadi alas batu padas itu pun telah tergores oleh luka karena ujung cambuknya. Agung Sedayu memang seperti terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar Swandaru bertanya, “Bagaimana cara Glagah Putih memecahkan batu-batu padas itu?“ Agung Sedayu memang menjadi bingung. Namun kemudian iapun menjawab, “Ia sedang melatih diri. Ia mempergunakan senjata yang merupakan hadiah terbesarnya dari Ki Patih Mandaraka. Sebuah ikat pinggang.“ “Ia memecahkan batu-batu padas dengan ikat pinggang?“ bertanya Swandaru. “Ya. Tetapi sudah tentu tidak sebagaimana kau lakukan. Glagah Putih memecahkan batu-batu padas sedikit demi sedikit seperti seorang mengupas buah-buahan,“ jawab Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran. Tetapi suara lain di dalam hatinya membentaknya, “Kenapa kau tidak berkata berterus-terang?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika ia berterus-terang, maka ia menjadi cemas bahwa Swandaru ingin menguji langsung kemampuan Glagah Putih, sementara Glagah Putih yang masih sangat muda dan sedikit terpengaruh oleh kenakalan Raden Rangga itu akan menanggapinya. Meskipun Agung Sedayu tidak mengatakan yang sebenarnya, ternyata Swandaru telah menyahut, “Luar biasa. Masih semuda itu ia telah mempunyai kekuatan yang sangat tinggi. Tetapi sebagian besar dari kemampuannya tentu disebabkan oleh kekuatan yang tersimpan pada pusaka yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka. Glagah Putih tentu tidak akan dapat mempergunakan senjata lain untuk melakukannya, karena dalam senjata itu tidak tersimpan kekuatan yang sangat besar.“ Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ia berusaha sedikit menjelaskan, “Tetapi sebagaimana cambuk kita, yang membuat Adi Swandaru mampu memecahkan batu itu, bukannya cambuk itu. Tetapi kekuatan dan kemampuan Adi Swandaru. Dengan pedang pun aku kira Adi Swandaru akan dapat melakukannya, asal dibuat dari baja yang terpilih dan tidak justru patah.“ “Tentu agak lain,“ jawab Swandaru, “Guru memberikan cambuk kepada kita dengan perhitungan kekuatan bahan dan buatannya. Sama sekali bukan senjata yang memiliki kekuatan dukungan tersendiri, sebagaimana ikat pinggang itu.“ Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Apapun ujud senjata itu, namun yang berperan akhirnya juga pemiliknya.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun ia menjawab, “Kakang tentu pernah mendengar berjenis-jenis senjata pusaka. Bahkan yang tersimpan di keraton pun terdapat beberapa macam benda pusaka, yang mempunyai pengaruh langsung kepada orang-orang yang memilikinya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagaimana pernah dikatakan oleh beberapa orang tua, bahwa orang-orang yang menguasai senjata itulah yang menentukan. Tentu saja orang-orang yang berpribadi kuat, sehingga teguh kepada pegangan serta sumber hidupnya. Keseimbangan antara senjata dan para pemiliknya merupakan unsur yang menentukan. Dan Agung Sedayu sendiri ternyata dengan penuh keyakinan telah mempergunakan senjata yang tidak termasuk pusaka yang bertuah. Namun dengan kemampuan ilmunya, kepribadiannya yang tegak berpegang kepada sumber hidupnya, maka ia telah mampu melawan orang-orang yang merasa dirinya menggenggam pusaka di tangannya. Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Ia mengangguk-angguk kecil. Namun Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja Swandaru berkata, “Nah, aku ingin melihat Kakang mempergunakan cambuk yang Kakang terima dari Orang Bercambuk itu. Tentu Kakang tidak boleh kalah dari Glagah Putih yang menjadi murid Kakang itu.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Lain kali kita bermain-main di dalam sanggar ini, jika waktu kita terluang banyak. Sekarang, barangkali kita mempunyai pekerjaan lain. Aku belum melihat Sekar Mirah pulang. Aku kira tugasnya di rumah Ki Gede sudah selesai.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, “Kakang selalu mengelak. Tetapi Kakang telah menunjukkan justru kemampuan Glagah Putih, anak ingusan yang berguru kepada Kakang.“ “Glagah Putih tidak hanya mewarisi ilmu dari aliran Ki Sadewa. Tetapi ia juga murid Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu. “Sebenarnya Kakang tidak perlu menyembunyikan kenyataan di hadapanku. Kita adalah saudara seperguruan. Kekuranganku adalah kekurangan Kakang. Sebaliknya, kelebihanku adalah kelebihan Kakang. Demikian pula sebaliknya.“ Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Tetapi kelemahannya tidak memungkinkannya untuk menyatakan kenyataan tentang dirinya dan tentang adik seperguruannya itu. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Kita perlu beristirahat sekarang. Kita akan mendapatkan kesempatan lain untuk melihatnya kelak.“ Swandaru memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu. Ia tidak ingin membuat kakak seperguruannya itu kemudian merasa rendah diri, justru saat-saat tenaganya diperlukan bagi Tanah Perdikan Menoreh. “Ia harus yakin akan dirinya,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Jika ia tidak menyadari kekurangannya pada saat seperti ini, bukan saja Kakang Agung Sedayu yang akan mengalami kesulitan, tetapi juga anak-anak muda di seluruh Tanah Perdikan.“ Karena itu, maka Swandaru pun kemudian menggulung cambuknya kembali sambil berkata, “Pada kesempatan lain kita akan membuat perbandingan ilmu. Aku kira sudah waktunya, apalagi Guru sudah menjadi semakin tua, sementara kita masih jauh dari cukup memahami ilmu yang tertulis di dalam kitab yang diberikan oleh Guru kepada kita.“ “Jangankan memahami,“ berkata Agung Sedayu, “satu bab pun kita belum sempat mencapai intinya. Tentu memerlukan waktu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menurut pendapatnya, Agung Sedayu tentu tidak dengan sengaja menyindirnya, karena Swandaru sendiri sebenarnya merasa bahwa ilmu cambuknya masih harus dikembangkan dan disempurnakan untuk memasuki inti ilmunya itu. “Kakang Agung Sedayu akan dapat menyebut ilmuku jika ilmunya sendiri mampu melampauiku,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. “Yang dikatakan itu memang mirip sebuah keluhan. Nampaknya lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri.“ Tetapi Swandaru tidak menjawab lagi. Ketika kemudian Agung Sedayu mempersilahkannya untuk pergi ke pendapa, maka mereka pun telah keluar dari sanggar, sementara Swandaru sempat meraba sejenis senjata yang jarang dipergunakan. Sebuah kapak bermata dua, berujung tombak dan bertangkai agak panjang. Juga sebuah pedang yang lengkung dan tajamnya luar biasa, tergantung di dinding tanpa sarung. Tetapi Swandaru berdesis sambil mengamati pedang itu, “Apakah pedang ini tidak mudah patah?“ Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Tetapi tentu membutuhkan satu cara penggunaan yang khusus, yang perlu dipelajari tersendiri. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan harus disesuaikan dengan watak senjata itu sendiri, sebagaimana kapak bermata dua dan berujung tombak itu. Di sudut itu ada pula sejenis senjata yang jarang dipergunakan di sini. Dua batang tongkat pendek yang dihubungkan dengan rantai.“ Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Ki Jayaraga-lah yang telah mempelajarinya dengan modal pengetahuan kecil yang diperolehnya dari seorang sahabatnya yang pernah mengembara. Ia mencoba mengembangkannya. Namun ternyata ia tidak mendapatkan banyak kemajuan, sehingga akhirnya minatnya telah hilang. Senjata itu seperti senjata-senjata asing yang lain, yang sekedar menjadi kumpulan senjata di sini. Ki Jayaraga masih sanggup untuk mengambil lagi beberapa jenis senjata yang disembunyikan di tempat yang tidak mudah ditemukan oleh siapapun.“ “Siapakah sebenarnya orang itu?“ bertanya Swandaru, “Nampaknya ia tidak banyak diketahui asal-usulnya.“ “Ya. Tetapi aku percaya kepadanya. Sikapnya, tingkah lakunya selama ia berada di sini, menunjukkan bahwa ia bukan seorang yang pantas di curigai. Ia hampir tidak pernah meninggalkan Tanah Perdikan ini sejak ia berada di sini. Ia memang pernah pergi satu dua hari. Lalu kembali. Paling lama sepekan. Antara lain untuk mengambil jenis-jenis senjata yang disimpannya,“ berkata Agung Sedayu. Lalu berkata pula, “Guru juga mempercayainya.“ Swandaru mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Sejenak kemudian mereka berada di pendapa. Ternyata di pendapa telah tersedia makanan yang agaknya dikirim oleh Sekar Mirah bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Agaknya Sekar Mirah tidak dapat segera kembali karena masih ada yang harus dikerjakan di rumah Ki Gede. Karena itu, maka pembantu di rumah Agung Sedayu itu harus masak sendiri hasil buruannya semalam di pliridan. Tetapi ia sudah sering melakukannya. Tetapi ternyata dugaan Agung Sedayu bahwa Sekar Mirah tidak segera kembali itu keliru. Baru saja mereka mulai menghiruip minuman dan mencicipi makanan, maka mereka telah melihat Sekar Mirah memasuki halaman, rumah justru bersama Kiai Gringsing. Karena itu. maka dengan tergesa-gesa kedua orang muridnya telah menyongsongnya dan mempersilahkannya untuk naik ke pendapa. “Kami sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede,“ berkata Swandaru. “Aku kira kalian justru tidur nyenyak,“ desis Kiai Gringsing sambil tersenyum, “bukankah kalian semalam suntuk tidak tidur? Apalagi Swandaru yang menempuh perjalanan jauh, sehingga tentu menjadi letih dan kantuk.“ “Kami tidak merasa apa-apa Guru,“ jawab Swandaru, “apalagi setelah kami mandi. Rasa-rasanya tubuh kami telah menjadi segar kembali.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil naik ke pendapa dan kemudian duduk bersama Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, “Kalian memang memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa.“ “Kami adalah murid Guru,“ jawab Swandaru. Tetapi Swandaru menjadi agak kecewa ketika Kiai Gringsing berkata, “Tetapi anak-anakku. Sebenarnya kalian tidak perlu menghambur-hamburkan tenaga seperti ini. Aku percaya bahwa kalian mempunyai daya tahan yang tinggi. Tetapi dalam keadaan yang tidak memaksa, kalian tidak perlu melakukannya, karena pada suatu saat kalian sangat memerlukannya. Tetapi jika terasa tidak mengganggu, maka hal itu pun tidak berpengaruh apa-apa.“ “Aku tidak merasa terganggu sama sekali, Guru,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata, “Namun bagaimanapun juga, jika kalian memerlukan istirahat, serta ada waktu untuk melakukannya, sebaiknya kalian lakukan.“ “Kami pun telah beristirahat sebaik-baiknya Guru,“ jawab Swandaru. “Syukurlah,“ berkata’Kiai Gringsing. Namun sementara itu Sekar Mirah telah pula keluar ke pendapa dan duduk bersama mereka setelah menjenguk ke dapur. “Apakah pekerjaanmu sudah selesai?“ bertanya Agung Sedayu. “Belum. Tetapi makan pagi telah terbagi ke seluruh pasukan yang bertugas. Perempuan-perempuan yang ada di rumah Ki Gede dan di Banjar sedang masak untuk makan siang. Sementara itu telah dibagi tugas. Para pengawal di padukuhan-padukuhan akan mendapat makan dari padukuhan mereka masing-masing. Di setiap banjar padukuhan, perempuan-perempuan dari padukuhan itu sendiri akan masak bagi anak-anak muda mereka, sehingga dengan demikian tugas di banjar dan rumah Ki Gede bagi perempuan-perempuan di padukuhan induk ini menjadi lebih ringan. Namun bagi para pengawal khusus yang bertugas bagi Tanah Perdikan ini dan sekitarnya, memang dikirim dari padukuhan induk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Satu cara yang baik. Dimana Glagah Putih?“ “Masih di rumah Ki Gede. Ki Waskita dan Ki Jayaraga yang berada di rumah Ki Gede sedang berjalan-jalan. Mungkin nanti mereka akan singgah pula kemari, karena mereka tahu Kiai Gringsing ada di sini,“ jawab Sekar Mirah. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ya. Dan aku sudah berjanji bahwa aku akan menunggu mereka di sini.“ “Ki Waskita nampaknya sudah begitu rindu kepada Tanah Perdikan ini. Sawahnya, ladangnya dan parit-paritnya yang tidak pernah kering. Karena itu Ki Waskita tidak bersama-sama dengan Kiai Gringsing datang kemari. Tetapi kami berpisah di luar regol padukuhan induk,“ berkata Sekar Mirah pula. “Mereka memberi kesempatan kepadaku, jika ada pembicaraan yang penting di antara aku dan murid-muridku,“ berkata Kiai Gringsing. “Meskipun aku mengatakan bahwa tidak ada yang penting, tetapi sebaiknya aku membiarkan mereka berjalan-jalan lebih dahulu.“ “Memang tidak ada yang penting,“ berkata Swandaru, “tetapi kesempatan seperti ini jarang terjadi. Aku dan Kakang Agung Sedayu berada di tempat yang terpisah. Demikian pula Guru. Ternyata dalam kesempatan ini kita dapat bertemu.“ “Kau mempunyai tanggung jawab sendiri di Sangkal Putung, Swandaru, sementara Agung Sedayu mempunyai tugas dan kewajiban di sini. Karena itu, kalian memang tidak dapat berkumpul sebagaimana dua orang saudara sekandung. Di masa kanak-kanak mereka selalu bermain bersama. Kadang-kadang bertengkar, namun kemudian menjadi berbaik kembali. Namun setelah dewasa, maka mereka pun akan berpisah. Mereka akan pergi ke tempat tugas dan kewajiban mereka masing-masing,“ berkata Kiai Gringsing. “Bukankah dengan demikian justru pertemuan seperti ini menjadi penting?“ desis Swandaru. “Ya, ya. Aku mengerti maksudmu. Tetapi bukankah kita mempunyai waktu? Aku memang ingin berbicara dengan kalian berdua. Tetapi sebentar lagi, Ki Waskita dan Ki Jayaraga akan datang. Mereka tentu tidak akan dapat memperhitungkan dengan tepat, seberapa lama kita membutuhkan waktu untuk berbicara. Apalagi aku memang sudah terlalu tua. Apapun yang aku lakukan, namun jalanku sudah pasti.“ Agung Sedayu dan Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu pun berkata, “Kami memang masih mempunyai waktu, Guru. Bukankah Guru sudah memutuskan untuk tinggal barang satu dua hari?“ Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, “Bukan maksudku menunda-nunda pekerjaan yang dapat diselesaikan hari ini, karena hal yang demikian dapat berakibat kurang baik. Tetapi mungkin karena ketuaanku, dalam setiap langkah rasa-rasanya aku harus benar-benar mempersiapkan diri.“ Swandaru menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin segalanya berjalan cepat. Yang dapat dilakukan saat itu, sebaiknya dilakukan. Yang ternyata tidak, barulah dipersiapkan kemudian. “Kakang Agung Sedayu memang akan banyak kehilangan waktu dengan cara yang demikian,“ berkata Swandaru di dalam hatinya, “Tetapi itu sudah sifatnya. Karena itu pula maka ia tidak dengan cepat meningkatkan ilmunya, meskipun aku sudah membiarkan kitab dari Guru itu ada di sini. Agaknya ia lebih mengagumi kemampuan bidiknya daripada menyempurnakan ilmu cambuknya. Sementara itu ilmu bidiknya itu hampir tidak banyak berarti dalam benturan kekerasan di dunia olah kanuragan. Kecuali jika Kakang Agung Sedayu sudah puas menjadi seorang pemburu yang baik, sehingga akan mampu memanah burung pipit di puncak pohon yang tinggi sekalipun.“ Namun ia tidak dapat memaksa gurunya untuk berbuat lain. Apalagi setelah gurunya mulai berbicara tentang perkembangan Tanah Perdikan yang dinilainya memang agak lamban dibandingkan dengan Sangkal Putung. “Mungkin karena Tanah Perdikan ini tidak memiliki tanah sesubur Kademangan Sangkal Putung,“ berkata Kiai Gringsing. “Di beberapa bagian dari ngarai tanahnya memang baik. Sawah terbentang luas dan selalu basah. Tetapi ada bagian lain yang memang tandus dan kurang memberikan kemungkinan untuk dikembangkan.“ “Penanganannya memang harus lain,“ berkata Swandaru, “cara di Kademangan Sangkal Putung belum tentu dapat ditrapkan di sini, yang mempunyai beberapa bagian tanah pegunungan. Agaknya Tanah Perdikan ini sebaiknya berpikir untuk memperluas tanah garapan bagi para petani.“ “Kami sudah mencoba melakukannya,“ berkata Agung Sedayu, “memperluas tanah garapan. Tetapi kami harus memperhitungkan luas hutan yang harus tersisa. Sementara itu, kami pun telah mencoba untuk menanami lereng-lereng pegunungan gundul dengan jenis-jenis tanaman yang kami anggap sesuai.“ “Aku melihat hasilnya,“ berkata Kiai Gringsing, “memang tidak akan dapat dilihat dengan cepat. Tetapi perkembangannya sudah nampak.“ “Terima kasih Guru,“ jawab Agung Sedayu, “kami di sini akan berusaha lebih baik lagi.“ “Tetapi memang ada bedanya, bukan saja sasaran garapan,“ berkata Swandaru, “tetapi sumber penggerak itu sendiri. Aku tentu merasa bertanggung jawab mutlak atas perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Agak berbeda dengan Kakang Agung Sedayu di sini.“ Terasa telinga Agung Sedayu memang menjadi panas. Tetapi seperti biasanya ia selalu mencoba untuk mengendalikan dirinya. Namun ternyata Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Apakah Kakang Swandaru mengira bahwa Kakang Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh?“ “Bukan begitu,“ jawab Swandaru, “tetapi perbedaan kedudukan antara aku dan Kakang Agung Sedayu tentu berpengaruh. Aku dapat bertindak langsung sesuai dengan penalaranku tanpa harus berbicara dengan siapapun, karena Ayah sudah memberikan wewenang itu. Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak.“ Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi sebelum ia menjawab, Kiai Gringsing telah menengahi, “Yang dikatakan oleh Swandaru adalah sekedar tentang wewenang yang ada di tangan Swandaru dan Agung Sedayu. Namun tanggung jawab dan kemauan bekerja memang harus dibedakan. Tetapi sudahlah, kita dapat berbicara tentang banyak hal yang lebih berarti daripada wewenang. Nanti malam aku akan tidur di rumah ini. Dengan demikian kita akan sempat berbicara seberapa panjang kita akan berbicara, tentang sebuah perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa di dunia olah kanuragan ini.“ Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa setiap kali gurunya telah membantu Agung Sedayu, justru pada saat-saat ia ingin mendorong agar kakak seperguruannya itu menyadari kelemahannya sendiri. Namun Swandaru kemudian tidak memaksakan pembicaraan apapun lagi. Yang kemudian ditanyakan oleh Kiai Gringsing adalah justru kapan mereka akan kembali. “Bukankah kita akan kembali tidak lebih dari besok?“ jawab Swandaru yang masih merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya, “Meskipun seandainya besok siang sekalipun, karena kita tidak terikat untuk berangkat pagi hari.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Besok kita akan berangkat setelah matahari turun. Kita tidak akan menjadi silau karena kita akan membelakangi matahari.“ Dalam pada itu, maka seperti yang telah dijanjikan, telah memasuki halaman rumah itu Ki Waskita dan Ki Jayaraga. Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu telah menyongsongnya dan mempersilahkan mereka duduk di pendapa. Sementara Sekar Mirah mohon diri untuk pergi ke dapur. Untuk beberapa saat lamanya mereka berbincang-bincang. Mereka sempat mengenang masa muda mereka masing-masing. Kiai Gringsing dan Ki Waskita menjelang hari-hari tuanya banyak berhubungan dan bekerja bersama, sehingga mereka sempat bercerita tantang masa-masa itu. Ki Jayaraga yang hadir terakhir di Tanah Perdikan itu hanya dapat mendengarkan. Sekali-sekali ikut tertawa jika terjadi hal-hal yang lucu. Namun kadang-kadang keningnya ikut berkerut jika kedua orang tua itu bercerita tentang ketegangan-ketegangan yang terjadi. Namun sejenak kemudian Sekar Mirah telah menghidangkan minuman dan makanan bagi tamu-tamunya. Tetapi orang-orang tua yang ada di pendapa itu menghindar ketika mereka dipersilahkan untuk makan, karena mereka tahu, Sekar Mirah sudah menyediakan makan bagi mereka di rumah Ki Gede. “Aku ada di sini sekarang,“ berkata Sekar Mirah. Tetapi Ki Waskita menyahut, “Meskipun kau di sini, tetapi kau tentu sudah meninggalkan pesan. Nanti Ki Gede kecewa jika kami tidak bersedia menemaninya makan. Bahkan dengan Ki Jayaraga.“ Karena itulah, maka lewat tengah hari, Ki Waskita telah minta diri untuk kembali ke rumah Ki Gede. Bahkan bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Yang tinggal di rumah Agung Sedayu adalah Swandaru, sehingga yang kemudian mendapat suguhan makan dengan kendo udang adalah Swandaru. Sementara itu para pengawalnya telah mendapat kiriman makan satu jodang dari rumah Ki Gede. Tetapi Sekar Mirah sendiri tetap berada di rumahnya untuk mengawani suami dan kakaknya makan siang. Setelah makan, Swandaru memang benar-benar ingin beristirahat. Tetapi ia tidak mau beristirahat di ruang dalam. Ia memilih di gandok bersama dengan para pengawalnya. “Silahkan beristirahat Kakang,“ berkata Sekar Mirah, “aku akan kembali ke rumah Ki Gede. Sekedar menunggui perempuan-perempuan yang masih sibuk. Kakang Agung Sedayu akan berada di rumah sampai sore. Kecuali jika Ki Gede memanggilnya.“ “Silahkan,“ berkata Swandaru, “juga Kakang Agung Sedayu jika mempunyai tugas, tinggalkan saja aku di sini. Aku memang ingin beristirahat di antara orang-orangku.“ Tetapi Agung Sedayu pun berkata, “Aku juga akan beristirahat di rumah.“ Dengan demikian, maka hanya Sekar Mirah sajalah yang pergi ke rumah Ki Gede untuk melakukan tugasnya. Bersama-sama dengan perempuan-perempuan di padukuhan induk menyiapkan makan bagi para pengawal yang bertugas tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Dalam pada itu, kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh telah mulai menjadi tenang. Anak-anak telah bermain kembali di halaman, sementara yang telah mengungsi dari satu padukuhan ke padukuhan lain pun telah kembali. Meskipun pasar masih tetap sepi, namun di jalan-jalan mulai nampak orang berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Namun demikian, di bulak-bulak panjang, para pengawal masih saja hilir mudik mengamati keadaan. Bukan saja para pengawal berkuda, tetapi para petugas sandi pun berkeliaran di daerah perbatasan. Beberapa kademangan di sekitar Tanah Perdikan yang ikut terguncang karena peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu pun telah menjadi tenang pula. Ki Gede telah mengirimkan beberapa orang bebahu untuk menghubungi kademangan-kademangan itu, memberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan. Kepada kademangan yang mengalami kerugian karena peristiwa itu, Ki Gede bersedia untuk memberikan bantuan sekedarnya. Tetapi kademangan-kademangan itu menolak. Mereka menganggap bahwa Tanah Perdikan sama sekali tidak bersalah. “Tanah Perdikan sendiri mengalami kerugian yang besar. Sawah yang terinjak-injak, bangunan yang rusak dan kehidupan yang terguncang. Yang sulit dinilai adalah jatuhnya beberapa orang korban di antara anak-anak terbaik dari Tanah Perdikan itu,“ berkata para pemimpin kademangan itu. Bahkan bagi mereka, Tanah Perdikan itu akan dapat menjadi tempat untuk bernaung jika terjadi sesuatu di kademangan mereka masing-masing. Di sore hari, ketika matahari telah menjadi rendah, Swandaru telah mengajak Agung Sedayu untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu. Berkuda keduanya berkunjung dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Ternyata masih banyak yang dapat langsung mengenali Swandaru, meskipun di antara mereka sudah lama tidak bertemu. Dalam kesempatan itu Swandaru telah melihat-lihat pula usaha Tanah Perdikan untuk menghutankan tanah yang semula gundul di lereng-lereng pegunungan. Usaha untuk mengatasi lereng yang sering longsor, turun menimpa padukuhan-padukuhan di musim hujan. Usaha Agung Sedayu dan anak-anak muda Tanah Perdikan untuk membuat sawah bertingkat di tanah miring, namun yang dapat diairi dari daerah perbukitan, serta daerah rumput yang tersebar untuk memberikan tempat para gembala menggembalakan ternak mereka. Meskipun tidak dikatakan, ternyata Swandaru telah melihat langsung kemajuan di Tanah Perdikan yang dianggapnya lamban itu. Menjelang senja, maka keduanya telah kembali ke rumah Agung Sedayu. Ternyata beberapa saat kemudian, ketika langit mulai gelap, Kiai Gringsing pun telah datang pula bersama Ki Jayaraga. “Apakah Ki Waskita tidak datang pula?“ bertanya Agung Sedayu. “Ki Waskita mengawani Ki Gede berbincang,“ jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Seperti yang direncanakan oleh Kiai Gringsing, maka setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Marilah, kita pergunakan kesempatan ini untuk berbincang-bincang. Khusus tentang perguruan kecil kita. Sudah tentu jika kita menyebut perguruan kecil kita, bukan berarti sebuah padepokan kecil di Jati Anom. Itu hanya ujud lahiriah dari sebuah perguruan.“ Ki Jayaraga yang menyadari kedudukannya telah berkata, “Silahkan. Nampaknya kalian memerlukan tempat tersendiri. Mungkin kalian dapat berbicara di sanggar, sehingga tidak akan diganggu oleh orang lain.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Jayaraga. Aku kira tempat itu cukup baik untuk berbicara secara khusus.“ “Marilah Guru,“ berkata Agung Sedayu, “kita pergi ke sanggar. Biarlah Glagah Putih mempersiapkan tempat, dan barangkali perlu lampu yang lebih terang.“ “Untuk apa?“ Kiai Gringsing justru bertanya, “Jika sudah ada lampunya, meskipun tidak terlalu terang, aku kira tidak menjadi soal.“ Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih selain membersihkan sanggar, khususnya yang akan dipergunakan untuk duduk berbincang, juga telah menyalakan lagi lampu yang lebih terang dari yang sudah terpasang. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan kedua orang muridnya telah berada di dalam sanggar. Mereka memang ingin berbicara secara khusus, karena kesempatan untuk bertemu semakin lama ternyata menjadi semakin jarang. “Kita hanya memanfaatkan waktu,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada bahan pembicaraan khusus yang ingin aku sampaikan kepada kalian.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang menyahut, “aku justru ingin mengusulkan, dalam kesempatan ini sebaiknya kami, murid-murid Guru, mengadakan perbandingan ilmu. Dengan demikian Guru masih mempunyai kesempatan untuk memberikan petunjuk dan arah kepada kami untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kami perbuat.“ Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia memasuki sebuah pembicaraan tentang ilmu, maka ia telah menjadi gelisah. Namun Kiai Gringsing yang telah menjawab, “Aku tidak akan dengan tergesa-gesa sampai ke sana. Sebenarnya, sebagai Guru, aku telah mengetahui tataran ilmu kalian masing-masing. Aku tahu pasti perbandingan ilmu di antara kalian, meskipun kalian tidak menunjukkan kepadaku dengan cara apapun juga. Karena perbandingan ilmu dengan cara yang dapat kita lakukan di sini tentu bukan batas kemampuan ilmu yang sebenarnya, karena masing-masing masih harus menahan diri dan menjaga agar yang lain tidak mengalami cedera. Namun berbeda dengan aku, aku telah melihat bagaimana Agung Sedayu bertempur di medan perang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Aku pun pernah melihat Swandaru memperagakan kemampuannya dengan menunjukkan batas-batas tingkat ilmunya.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Kiai Gringsing telah berkata, “Yang ingin aku katakan kepada kalian pada kesempatan ini adalah justru hasil pengamatanku itu.“ Agung Sedayu memang menjadi semakin berdebar-debar. Namun Swandaru telah mendesak, “Kami memang sangat menunggu Guru.“ “Aku melihat kalian berada di simpang jalan,“ berkata Kiai Gringsing, “kalian telah menempuh pilihan yang berbeda dalam meningkatkan ilmu kalian. Agung Sedayu ternyata tidak mengikuti satu jenis ilmu. Tetapi ia merambah ke berbagai jenis ilmu, sehingga dengan demikian Agung Sedayu menguasai beberapa jenis ilmu yang ujud pengungkapannya berbeda-beda. Tetapi Swandaru telah menekuni satu jenis ilmu. Ilmu yang memang menjadi ciri perguruan yang menganut aliran Orang Bercambuk. Karena itu, maka Swandaru mampu menunjukkan kemampuan ilmu cambuk dengan sangat mengagumkan.“ “Guru,“ Swandaru memotong, “manakah yang lebih baik menurut Guru?“ “Aku tidak dapat mengatakan mana yang lebih baik, karena ternyata masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya,“ berkata Kiai Gringsing, “namun satu kenyataan, bahwa di dunia olah kanuragan telah terdapat berbagai macam ilmu yang berbeda-beda menurut aliran masing-masing. Bermacam-macam ilmu itu harus mendapat tanggapan dengan cara yang berbeda-beda pula.“ “Jadi menurut Guru, cara yang ditempuh Kakang Agung Sedayu itu lebih baik, meskipun hanya sepotong-sepotong dari berbagai jenis ilmu?“ bertanya Swandaru. “Bukan begitu,“ berkata Kiai Gringsing, “aku ingin menganjurkan kepada kalian berdua. Dengar. Kewajiban kalian hanya mendengar. Aku adalah guru kalian.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ternyata dalam usianya yang tua itu, ia masih dapat bersikap mantap. Kedua murid Kiai Gringsing itu saling berpandangan sejenak. Namun seperti yang dikatakan oleh gurunya, mereka hanya dapat mendengarkan. Sejenak Kiai Gringsing terdiam. Dipandanginya kedua orang muridnya berganti-ganti, sehingga keduanya pun kemudian telah menundukkan kepalanya. “Anak-anakku,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku tidak mengatakan bahwa cara yang kalian tempuh yang satu lebih baik dari yang lain. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa kedua-duanya mempunyai kelemahan. Swandaru yang hanya mengenal satu jenis ilmu betapapun tinggi pemahamannya, bahkan seandainya sudah sampai ke inti ilmu cambuk itu, namun masih terdapat kelemahan. Tanpa mengenal jenis ilmu yang lain, maka Swandaru kurang memiliki bekal apabila ia benar-benar terjun ke dunia olah kanuragan. Untuk menanggapi berbagai jenis ilmu, maka Swandaru pun harus memiliki berbagai jenis bekal yang cukup. Kemudian dengan puncak ilmu cambuknya maka Swandaru akan mendapat kesempatan mengakhiri perlawanan lawan-lawannya. Tetapi tanpa mengenal ilmu yang lain, maka kau akan menjadi sangat miskin menghadapi dunia dalam segala bantuknya. Kau akan tampil dengan bekal yang itu-itu juga, sehingga setiap orang akan mengenalinya, dan dengan mudah membaca kelemahan-kelemahanmu. Sebaliknya, dengan mempelajari seribu jenis ilmu sekalipun, jika semuanya hanya mengambang tanpa kedalaman, maka hal itu pun tidak berarti sama sekali. Dalam benturan ilmu, maka betapapun banyaknya ilmu yang ditampilkan, namun semuanya akan dapat ditembus lawan dengan mudah. Bahkan dalam saat-saat yang menentukan, ia tidak akan memiliki alat pemukul yang mematikan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, “Karena itu, aku ingin mengatakan kepadamu Swandaru, jangan terlalu yakin akan ilmu cambukmu. Kau harus berusaha untuk melengkapinya dengan jenis-jenis ilmu yang lain, yang dapat kau pelajari dari kitab yang pernah aku berikan kepada kalian berdua. Jangan hanya melihat ke permukaan dari setiap persoalan yang dikemukakan di dalam kitab itu. Tetapi kau harus menyusup ke kedalamannya. Apalagi ilmu cambuk yang kau jadikan puncak ilmu yang kau miliki. Terus terang, bahwa kau masih saja terbatas pada unsur kewadagan. Kau memang sudah memasuki laku untuk menyusup ke kedalaman, tetapi baru pada mulanya. Kau harus mempelajarinya lagi, kau harus menjalani laku yang barangkali cukup berat untuk mencapai inti ilmu cambukmu. Di samping itu, kau harus mengenali jenis-jenis ilmu yang lain, untuk menanggapi keanekaan dunia olah kanuragan.“ Sekali lagi Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu katanya lagi, “Dan kau Agung Sedayu. Kau tidak boleh sekedar bergerak mendatar. Menjelajahi jenis-jenis ilmu yang luas, tetapi tanpa memilih satu di antaranya. Akan lebih baik jika kau dalami ciri perguruan kita, ilmu cambuk. Kau pun harus menjalani laku, sehingga kau akan memperoleh kedalaman ilmu yang sangat kau perlukan. Bahkan sekaligus ciri dari sebuah perguruan.“ Ketika kemudian Kiai Gringsing berhenti lagi berbicara, maka Agung Sedayu dan Swandaru menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka belum berani mengatakan sesuatu. Mereka masih menunggu Kiai Gringsing meneruskan. Sebenarnyalah Kiai Gringsing berkata, “Aku masih mempunyai waktu sedikit. Seandainya aku tidak dapat melihat kalian sampai batas sebagaimana yang aku katakan, tetapi aku ingin melihat kalian mulai menjalani laku itu. Apapun alasan kalian, tetapi aku minta kalian melakukannya. Kecuali jika kalian tidak lagi menganggap aku sebagai seorang guru. Aku tidak dapat membiarkan kalian seperti sekarang ini, menuruti pilihan kalian sendiri. Tetapi pada saat-saat terakhir dari hidupku, aku dibebani kewajiban untuk memberikan penilaian atas kalian.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara Swandaru menjadi gelisah. “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “sekarang, siapa di antara kalian yang akan bertanya, bertanyalah.“ “Guru,“ Swandaru-lah yang bertanya untuk pertama kali, “apakah menurut Guru, ilmu cambukku masih terlampau dangkal?“ “Ya,“ jawab Kiai Gringsing tegas. “Seandainya tidak terlalu dangkal, maka ilmumu masih terbatas pada permukaan. Pada ujud dan kekuatan kewadagan. Kau akan tahu itu jika kau berulang kali mempelajari kitab itu. Kau terlalu puas dengan pencapaianmu, sehingga nampaknya kitab itu tidak berarti bagimu.“ Wajah Swandaru menjadi merah. Tetapi ia berhadapan dengan gurunya, sehingga bagaimanapun juga ia harus menahan diri. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Aku minta kau memasuki tingkat berikutnya, khusus dalam ilmu cambuk. Kemudian jenis-jenis ilmu yang lain yang barangkali penting kau pelajari. Kau tidak usah mendalami jenis ilmu yang lain sebagaimana ilmu cambuk. Tetapi kau perlu mengenali kekuatan alam yang dapat kau sadap. Sudah tentu bukan lewat kekuatan kewadagan. Tetapi getaran dari inti kekuatan itulah yang kau serap di dalam dirimu.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Sejak semula ia tidak tertarik kepada persoalan-persoalan yang rumit seperti itu. Namun ternyata gurunya bukan saja menyarankan, tetapi rasa-rasanya yang dikatakan itu adalah perintah. Apalagi ketika Kiai Gringsing berkata, “Lakukanlah sebaik-baiknya. Jika kau gagal, maka kau adalah muridku yang gagal pula.“ Swandaru tidak mengira bahwa gurunya akan berkata sekeras itu. Selama ini ia sudah sangat berbangga dengan ilmunya. Namun ternyata gurunya merasa sangat kecewa. Tetapi kemudian Kiai Gringsing berkata pula, “Dan kau Agung Sedayu. Banyak hal yang harus kau perhatikan.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Kau tidak perlu merambah puluhan jenis-jenis ilmu. Tetapi kau harus mempunyai satu kekuatan yang akan dapat diandalkan untuk menyelesaikan persoalan. Seperti aku katakan, kau harus meletakkan ciri perguruanmu di atas segala macam ilmu yang kau kuasai. Seperti Swandaru, maka kau harus mempelajari tingkat-tingkat selanjutnya, sesuai dengan tataran yang tertulis di dalam kitab yang aku tinggalkan bagi kalian berdua.“ Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih berkata selanjutnya, “Dalam waktu dekat kalian tidak perlu mengadakan perbandingan ilmu. Dunia kanuragan akan mengatakan kepada kalian, sampai di tingkat yang manakah kalian berdiri pada suatu saat. Tetapi aku tidak bermaksud memerintahkan kalian menjadi pengembara, apalagi petualang, untuk mencoba-coba kemampuan ilmu kalian. Justru kalian harus menjauhi kemungkinan benturan kekerasan. Hanya dalam keadaan terpaksa kalian mempergunakan kekerasan. Karena sebenarnyalah kekerasan bukan alat yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Tetapi dalam keadaan terpaksa, kemampuan ilmu yang kalian miliki akan dapat kalian pergunakan untuk melawan segala bentuk kejahatan serta sikap yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.“ Kiai Gringsing’berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Nah, dalam langkah-langkah yang akan kalian tempuh, kalian harus selalu mendekatkan diri kepada Sumber Hidup kalian. Mohon petunjuk-Nya, serta dengan tulus percaya bahwa hanya kehendak-Nya sajalah yang akan terjadi, karena sebenarnyalah apa yang datang dari pada-Nya adalah baik adanya.“ Kedua orang murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk kecil. Betapapun sakit hati Swandaru, tetapi ia merasa bahwa peringatan gurunya tidak semata-mata ditujukan kepadanya, tetapi juga kepada Agung Sedayu. Gurunya memang cukup bersikap keras terhadapnya dan terhadap Agung Sedayu. Ternyata Kiai Gringsing itu masih berkata pula, “Anak-anakku. Kau harus menyadari, bahwa umurku tentu tidak akan panjang lagi. Bahkan berarti aku mendahului kepastian Yang Maha Agung, tetapi justru aku menyadari. bahwa tidak ada arah lain dari setiap kehidupan daripada dipanggil kembali oleh Penciptanya. Karena itu, dalam kesempatan yang sempit ini, aku akan selalu melihat perkembangan kalian. Apakah kalian melakukan perintahku atau tidak. Aku tidak akan memberikan hukuman apapun bagi kalian jika kalian mengingkari perintahku. Tetapi kalian tentu akan menyesali langkah kalian itu.“ Agung Sedayu dan Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya tidak ada lagi yang dapat mereka kemukakan kepada guru mereka, apalagi menilik kata-kata-nya, guru mereka itu sedang bersikap agak lain dari sikapnya sehari-hari. Kiai Gringsing nampak sebagai seorang guru yang kecewa melihat perkembangan ilmu murid-muridnya. Justru pada saat umurnya yang sudah terlalu tua. Namun sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Agaknya tidak ada lagi yang akan aku katakan. Tidak ada pula persoalan yang dapat kalian kemukakan. Aku hanya minta kalian lakukan perintahku kali ini, menjelang hari-hariku terakhir.“ Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak dapat mengatakan sesuatu selain menundukkan kepalanya. Namun dalam pada itu, Swandaru berkata kepada dirinya sendiri, “Aku hanya tinggal melangkah satu langkah lagi. Aku harus mempelajari dan menempuh laku tingkat berikutnya ilmu cambuk yang tertulis dalam kitab Guru. Tetapi kakang Agung Sedayu tentu masih harus mempelajarinya lebih banyak. Dua atau tiga tataran, khususnya ilmu cambuk. Nampaknya perintah guru kali ini akan benar-benar dijalani oleh Kakang Agung Sedayu.“ Tetapi sementara itu dahi Swandaru pun telah berkerut ketika ia teringat pesan gurunya untuk mempelajari pula, meskipun hanya pada tingkat permulaan, beberapa jenis ilmu yang lain, untuk menghadapi seribu macam jenis dan bentuk ilmu kanuragan yang mungkin akan dijumpainya. “Tetapi itu pun perintah.“ Namun katanya kepada diri sendiri, “Tetapi tidak terlalu mengikat seperti perintah Guru, ciri ilmu perguruan ini.“ Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Aku kira pertemuan kita sudah cukup. Namun marilah, kita mencoba untuk menyatukan diri dalam ungkapan pernafasan sesuai dengan landasan ilmu dari perguruan kita. Apakah kita masih tetap satu, atau ternyata kita sudah menempuh jalan kita masing-masing.“ Kedua murid Kiai Gringsing itu tidak menjawab. Namun mereka pun kemudian telah bangkit berdiri. Kiai Gringsing-lah yang kemudian melangkah lebih dahulu ke tengah-tengah sanggar itu. Kemudian duduk bersila. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru telah melakukan hal yang sama di belakangnya. Perlahan-lahan tangan ketiga orang itu bergerak. Kedua tangan mereka telah terjulur lurus sejajar ke depan dengan telapak tangan menghadap ke dalam. Kemudian perlahan-lahan pula tangan itu bergerak. Telapak tangan mereka kemudian menelungkup menghadap ke bawah. Kemudian dengan cepat gerakan-gerakan mereka bertumpu pada siku mereka. Kedua tangan mereka telah melakukan unsur-unsur gerak sesuai dengan ajaran aliran ilmu mereka, sehingga akhirnya kedua tangan mereka terangkat di muka dada. Kedua telapak tangannya berada dalam satu susun yang berhadapan. Satu menghadap ke atas dan yang lain ke bawah. Kemudian perlahan-lahan sekali tangan itu bergerak. Tangan kiri melekat di lambung kanan, sedang tangan kanan terletak di pundak sebelah kiri. Ketiga orang itu terdiam beberapa saat. Nafas mereka berjalan teratur melalui lubang hidung mereka. Baru beberapa saat kemudian, tangan mereka telah terurai. Kemudian kedua telapak tangan mereka menelakup di depan dada. Menurun ke bawah, kemudian terlepas. Ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya tubuh mereka menjadi semakin segar. Darah di urat-urat nadi mereka rasa-rasanya berjalan semakin lancar. “Kita sudah selesai,“ berkata Kiai Gringsing, “kita akan kembali ke pendapa. Namun aku masih akan sedikit berpesan. Lihat berkali-kali cara mengatur pernafasan ini. Lihat pula serba sedikit tentang usaha pengobatan dengan getaran ilmu yang pernah kita pelajari, dan lihat pula ilmu pengobatan dengan berbagai macam cara, dalam hubungannya dengan pengetahuan simpul-simpul syaraf dan jalur-jalur urat nadi. Membekukan kerja simpul-simpul syaraf dan melepaskannya kembali, serta cara pengobatan dengan wajar. Maksudnya dengan obat-obatan yang dapat kalian pelajari pula pada kitab itu. Nah, dengan demikian kalian dapat mengetahui, bahwa kitab yang aku berikan kepadamu berisi berbagai macam hal yang sangat berarti bagi kalian. Kitab itu adalah satu rangkaian dari beberapa macam ilmu yang saling berhubungan dan bersusun dengan alas ilmu yang sama. Karena itu, maka kitab itu sangat berharga. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak, karena dengan demikian mereka akan dapat menyalah-gunakannya.“ Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Mereka mengerti nilai dari kitab itu, karena sejak semula mereka telah mengerti isinya. Tidak sekedar sejenis ilmu sebagaimana tercantum dalam beberapa macam kitab yang lain. Tetapi kitab yang mereka terima dari Kiai Gringsing adalah ujud lengkap dari perguruan mereka seutuhnya. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, tidak akan ada orang yang mampu menguasai semua jenis ilmu yang tercantum di dalam kitab itu. Tetapi murid-murid Kiai Gringsing diperintahkan untuk menyadap isi kitab itu sebanyak-banyaknya, dan yang terpenting sedalam-dalamnya. Bukan sekedar mendatar, sebagaimana telah dikatakannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun telah melangkah keluar. Sementara itu, Swandaru yang berjalan di sebelah Agung Sedayu berkata, “Besok kitab itu akan aku bawa. Kitab itu sudah terlalu lama ada di sini.“ Agung Sedayu memang sudah mengira bahwa setelah mereka mendengarkan pesan gurunya, maka Swandaru akan dengan segera memerlukan kitab itu. Tetapi Agung Sedayu tidak keberatan. Ada atau tidak ada kitab itu di rumahnya, maka ia akan dapat mempelajarinya, sebagaimana dipesankan oleh gurunya. Namun demikian, sebelum menyerahkan kepada Swandaru. Agung Sedayu masih berniat untuk membacanya sekali lagi, agar isi kitab itu terpahat semakin dalam di dinding jantungnya, serta untuk menyegarkan kembali ingatannya atas isi kitab itu. Terutama pada bab-bab yang memang menarik baginya atau memang sudah mulai dirambahnya. Dan seperti pesan gurunya, tingkat-tingkat terakhir dari ilmu cambuknya. Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah berada di pendapa kembali. Ternyata mereka memerlukan waktu cukup lama. Malam sudah menjadi semakin malam. Tetapi Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah masih menunggu dan kemudian menemani mereka duduk di pendapa. Namun mereka sama sekali tidak mempertanyakan tentang pertemuan khusus antara guru dan kedua muridnya itu. Bahkan setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayu pun mempersilahkan gurunya untuk beristirahat. Demikian Kiai Gringsing masuk ke dalam bilik yang disediakan untuknya, maka Swandaru pun telah pergi ke gandok pula. Ia sengaja berada di antara para pengawalnya. Rasa-rasanya Swandaru berada di kademangannya, di antara para pengawal kademangan yang sedang meronda. Ketika Glagah Putih sempat pergi ke belakang, dilihatnya pembantu rumahnya tidak berada di dalam biliknya, di sebelah dapur. Tetapi anak itu tidur di serambi berkerudung kain panjang. Di sebelahnya terletak kepis yang sudah dipersiapkan untuk turun ke sungai, serta cangkul dan parang. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu tertidur ketika ia menunggu tengah malam. Nampaknya anak itu hanya akan turun ke sungai sekali saja. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menjadi iba kepada anak itu. Anak yang menurut pendapatnya sangat tekun. Nampaknya ia masih belum jemu dengan pliridannya. Sementara itu kawan-kawannya yang lain sudah berganti orang. Mungkin adiknya, mungkin sepupunya, atau mungkin orang lain lagi yang meneruskan memelihara pliridan itu. Karena itu, maka Glagah Putih telah mengambil alat-alat itu dan pergi ke sungai tanpa membangunkannya. Ketika ia turun ke sungai dan memasang icir serta menutup pliridannya, ternyata seorang yang sebaya dengan umurnya masih juga turun ke sungai bersama dua orang adiknya. “Kau masih sempat juga menutup pliridan?“ bertanya anak muda itu, “Dimana anak yang sering melakukannya itu?“ “Tertidur. Nampaknya ia letih sekali,“ jawab Glagah Putih. Namun Glagah Putih pun bertanya pula, “Dan kalian juga memerlukan turun ke sungai?“ “Untuk melepaskan ketegangan,“ jawab anak muda itu, “selama ini urat-urat di kepalaku serasa menjadi kencang. Dengan turun ke sungai, berendam di air yang dingin sambil menutup pliridan, rasa-rasanya semuanya menjadi kendor kembali.“ Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Terasa bukan saja tubuh. Tetapi perasaan pun menjadi sejuk.“ Namun ketika anak-anak muda itu meninggalkannya, Glagah Putih terkejut. Anak yang tertidur itu agaknya telah terbangun. Karena ia kehilangan alat-alatnya, maka ia telah melihat ke sungai. “Kau akan menutup pliridanku sendirian tanpa aku?“ bertanya anak itu. “Kau tertidur,“ jawab Glagah Putih. “Aku yang membuka pliridan ini. Seenaknya kau menutupnya tanpa minta ijin kepadaku,“ geram anak itu. “Aku kasihan melihatmu tertidur. Nampaknya nyenyak sekali. Barangkali kau sangat letih, sehingga aku mencoba membantumu,“ jawab Glagah Putih. “Kau bohong. Besok kau tentu bercerita, bahwa kau-lah yang telah mendapat ikan dari pliridan ini,“ sahut anak itu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata sambil tersenyum, “Tidak. Besok aku akan bercerita kepada semua orang bahwa bukan aku yang mendapatkan ikan dari pliridan ini.“ Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah melihat cara Glagah Putih memasang icir. Sambil bersungut ia berkata, “Kau pasang icir terlalu tinggi. Tentu banyak ikan yang tidak masuk ke dalamnya.“ Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Sementara itu, di dalam biliknya, Agung Sedayu menekuni kitab yang diberikan oleh gurunya. Besok kitab itu akan dibawa oleh Swandaru ke Sangkal Putung. “Sudah jauh lewat tengah malam Kakang,“ Sekar Mirah memperingatkan. Namun Agung Sedayu menjawab, “Aku ingin menyegarkan kembali ingatanku tentang isi kitab ini Mirah. Jika besok kitab ini dibawa ke Sangkal Putung. aku tidak akan merasa kehilangan sumber ilmu yang dikehendaki oleh Guru. Perintah Guru sudah tegas, bahwa baik ilmuku maupun ilmu Adi Swandaru harus ditingkatkan.“ Sekar Mirah yang telah berbaring di pembaringan itu pun telah bangkit dan mendekati Agung Sedayu. Ia telah mendengar serba sedikit dari Agung Sedayu apa yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Kakang. Aku kira sebagian besar dari kata-kata Kiai Gringsing itu ditujukan kepada Kakang Swandaru. Sebagaimana kau ketahui bahwa Kakang Swandaru masih jauh ketinggalan dari Kakang Agung Sedayu. Agaknya Kiai Gringsing pun kurang terbuka. Kakang Agung Sedayu sejak semula sudah mempunyai sifat tertutup. Kebetulan Guru Kakang pun mempunyai sifat yang mirip dengan sifat Kakang, sehingga rasa-rasanya Kakang pun menjadi semakin tertutup pula. Aku yang mencoba untuk mengatakan apa yang sebenarnya, Kakang Swandaru tidak pernah mempercayaiku, karena aku adalah istrimu, yang dianggap terlalu mengagumi suaminya. Tetapi dengan demikian anggapan Kakang Swandaru terhadap Kakang Agung Sedayu tidak berubah.“ “Sebenarnya aku sendiri tidak berkeberatan,“ berkata Agung Sedayu. “Mungkin Kakang tidak berkeberatan. Tetapi bukankah hal itu telah menyesatkan Kakang Swandaru? Sehingga jika pada suatu saat ia berhadapan dengan satu kenyataan, maka dapat terjadi dua kemungkinan. Ia akan menutup kekurangannya, atau hatinya menjadi patah sama sekali.“ “Jika Adi Swandaru menjalani perintah Guru kali ini, maka persoalannya akan lain. Adi Swandaru akan benar-benar mampu meningkatkan ilmunya. Sebenarnya ia masih mempunyai peluang yang sangat luas. Ia masih muda dan bekalnya pun telah cukup. Ia menguasai ilmu dasar dengan sangat baik. Khususnya ilmu cambuk,“ jawab Agung Sedayu. “Dan sekarang Kakang yang semalam suntuk tidak tidur. Jika Kakang meningkat semakin pesat, bagaimana Kakang Swandaru akan dapat menyusul Kakang? Tetapi bukan maksudku menghambat Kakang Agung Sedayu. Aku akan lebih senang jika kemampuan Kakang Agung Sedayu meningkat sampai ke tataran tidak terbatas. Yang penting bukan memaksa Kakang Swandaru untuk mengejar ketinggalannya, yang sulit untuk dilakukan. Tetapi menyadarkan dimana sebenarnya ia berada, dibandingkan dengan Kakang Agung Sedayu.“ sahut Sekar Mirah. “Bukankah kau tahu sifat kakakmu itu?“ bertanya Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Aku mengakui bahwa aku kurang terbuka. Tetapi aku memang terlalu memperhitungkan sifat Swandaru. Agaknya demikian pula Guru, sehingga ia telah menempuh satu cara yang lain.“ “Dan sekarang Kakang-lah yang menekuni kitab itu. Kakang perlu beristirahat,“ berkata Sekar Mirah. Agung Sedayu tersenyum. Katanya kepada istrinya, “Tidurlah dahulu Mirah. Aku kurang sebentar.“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun suaminya mengerti maksud gurunya, tetapi ternyata bahwa iapun merasa telah dicambuk untuk meningkatkan ilmunya, khususnya ciri dari perguruannya, ilmu cambuk. Meskipun ilmu cambuknya sudah jauh lebih baik dari Swandaru yang terlalu membatasi diri pada kekuatan kewadagan. Sekar Mirah pun tahu benar sifat suaminya. Karena itu, maka iapun telah kembali ke pembaringan. Namun sudah barang tentu ia tidak dapat tertidur. Sekali-sekali ia masih saja memandangi Agung Sedayu yang duduk menekuni kitab Kiai Gringsing, yang esok pagi akan dibawa oleh Swandaru kembali ke Sangkal Putung. Namun Sekar Mirah pun berharap sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, bahwa Swandaru akan mengadakan waktu khusus untuk meningkatkan ilmunya, merambah ke tingkat berikutnya, sehingga ia tidak membatasi diri kepada unsur kewadagan semata-mata. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membaca kembali bagian-bagian terpenting dari isi kitab itu. Terutama bagian-bagian yang harus didalami sebagai bagian tertinggi dari ilmu cambuknya. Ciri dari kekuatan raksasa dari perguruannya, perguruan Orang Bercambuk. Tetapi sebagaimana telah diketahui oleh gurunya, ternyata Agung Sedayu telah mendapatkan beberapa bagian ilmu yang tidak diwarisinya dari perguruannya. Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan sama sekali. Justru ilmu yang didapatnya semasa Agung Sedayu masih sering mengembara dan berkeliaran bersama Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa menyusuri tempat-tempat yang dapat dipergunakannya untuk menjalani laku serta latihan-latihan yang berat. Namun Agung Sedayu pun percaya, jika seseorang mampu menguasai beberapa jenis ilmu dari kitab Kiai Gringsing dengan landasan ilmu dasar perguruan Orang Bercambuk itu, maka ia akan menjadi orang yang pilih tanding. Tetapi sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertanya-tanya di dalam hatinya. Kenapa gurunya belum pernah memperlihatkan penguasaannya ilmu cambuk pada tataran tertinggi. Gurunya pernah bertempur dengan orang-orang berilmu sangat tinggi sehingga terluka. Namun ilmu yang dipergunakannya belum sampai pada tataran puncak ilmu cambuk, sebagaimana dapat dilihat dalam kitab itu. Padahal menurut perhitungan Agung Sedayu, gurunya tentu sudah menguasai kemampuan puncak dari ilmu cambuk itu sampai ke intinya. Namun Agung Sedayu pun menyadari, bahwa pada tingkat itu, ilmu cambuk itu akan sangat dahsyat. Dalam pada itu Agung Sedayu yang tenggelam dalam isi kitab Kiai Gringsing benar-benar tidak mengingat waktu. Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengar ayam jantan yang berkokok sekali dan dua kali, la baru menyadari bahwa fajar hampir menyingsing ketika ayam jantan berkokok untuk yang ketiga kalinya. Agung Sedayu menggeliat. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah ternyata telah tertidur. Perlahan-lahan Agung Sedayu beringsut sambil menutup kitabnya. Diletakkannya kitabnya di sebelah bantalnya. Kemudian iapun telah berbaring pula, untuk memberikan kesan kepada Sekar Mirah bahwa iapun telah tidur pula. Namun sebenarnyalah bahwa sekejap pun Agung Sedayu tidak dapat tidur sampai menjelang matahari terbit. Ketika Sekar Mirah terbangun, maka iapun dengan serta merta telah bangkit. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Agung Sedayu telah berbaring pula di sampingnya. Sekar Mirah sama sekali tidak mengganggu Agung Sedayu yang disangkanya baru saja tertidur. Ia sendiri kemudian bangkit dan keluar dari dalam biliknya, menuju ke dapur. Sekar Mirah tidak membangunkan ketika ia melihat anak yang membantu di rumahnya masih saja tidur di serambi. Agaknya ketika ia kembali dari sungai bersama Glagah Putih, ia kembali tidur di serambi, berkerudung kain panjang. Tetapi tidak berselisih lama, maka Agung Sedayu pun telah bangun pula. Demikian pula Glagah Putih seperti biasanya. Sesaat kemudian Ki Jayaraga pun telah bangun pula. Sejenak kemudian, maka telah terdengar suara sapu lidi di halaman, serta derit senggot timba di sumur. Tetapi bukan saja di rumah Agung Sedayu. Seisi padukuhan itu seakan-akan telah terbangun. Sesaat kemudian, Kiai Gringsing pun telah berada di pendapa pula. Swandaru yang sudah terbangun masih duduk di antara para pengawalnya, yang telah terbangun dan duduk-duduk di serambi gandok. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu terkejut ketika Kiai Gringsing pagi-pagi memanggilnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Tolong, kawani aku setelah kau mandi, ke rumah Ki Gede.“ “Baik Guru,“ jawab Agung Sedayu. “Mumpung masih sangat pagi. Aku ingin berjalan-jalan pula menghirup segarnya udara pagi di Tanah Perdikan ini,“ berkata Kiai Gringsing pula. “Bagaimana dengan Adi Swandaru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kita bertanya saja kepadanya, apakah ia akan ikut atau tidak. Atau nanti saja, sekaligus mohon diri di saat kita kembali ke Jati Anom,“ jawab gurunya. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia tidak bertanya langsung kepada Swandaru. Tetapi dipanggilnya Swandaru naik ke pendapa. “Apakah kau mau ikut?“ bertanya Kiai Gringsing. “Kemana Guru?“ bertanya Swandaru. “Aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Ada sesuatu yang ingin aku katakan kepada Ki Gede dan Ki Waskita. Nanti aku datang lagi kemari dan bersiap-siap untuk pulang ke padepokan. Siang nanti kita akan singgah lagi ke rumah Ki Gede,“ jawab Kiai Gringsing. “Kenapa tidak nanti saja sama sekali Guru?“ bertanya Swandaru. Lalu, “Bukankah lebih baik nanti saja sama sekali, di saat kita berangkat, singgah dan minta diri?“ “Nanti kita terlalu tergesa-gesa,“ jawab Kiai Gringsing, “aku masih ingin berbicara sekali dengan Ki Waskita.“ “Guru masih kembali lagi kemari sebelum sekali lagi singgah di rumah Ki Gede?“ bertanya Swandaru. “Ya,“ jawab gurunya. “Kita hanya akan mondar mandir saja kesana-kemari. Bukankah sebaiknya sekali saja singgah dan langsung menuju ke Jati Anom?“ bertanya Swandaru. “Sudah aku katakan, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Ki Waskita dan Ki Gede. Tidak penting sekali. Tetapi rasa-rasanya ada yang terhutang,“ jawab Kiai Gringsing. “Jika demikian, aku menunggu Guru di sini,“ jawab Swandaru. Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Aku akan bersiap-siap selama Guru berada di rumah Ki Gede.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya selain pergi ke rumah Ki Gede untuk bertemu Ki Waskita dan Ki Gede, aku juga ingin berjalan-jalan untuk melihat matahari memanjat naik.“ Tetapi Swandaru merasa segan untuk pergi. Di rumah Ki Gede ia akan menjadi patung saja. Ia tentu tidak akan banyak dapat berbicara. Apalagi bersama orang-orang tua seperti gurunya, Ki Waskita dan Ki Gede. Karena itu, maka ia benar-benar tidak mengikutinya ketika gurunya kemudian meninggalkan halaman rumah itu, meskipun orang tua itu belum mandi. “Aku akan mandi di rumah Ki Gede, setelah berjalan-jalan,“ berkata Kiai Gringsing. Namun keseganan Swandaru itu sejalan dengan keinginan Kiai Gringsing. Karena Kiai Gringsing ingin berbicara sendiri dengan Agung Sedayu. Sebenarnya Sekar Mirah pun telah mencoba menahan dan minta agar Kiai Gringsing minum dan makan lebih dahulu. Namun Kiai Gringsing hanya sempat minum beberapa teguk minuman hangat saja. “Nanti saja aku makan,“ jawab Kiai Gringsing, “masih terlalu pagi.“ Demikianlah, maka Kiai Gringsing diikuti oleh Agung Sedayu telah meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Ki Gede. Tetapi ternyata jarak yang pendek itu telah ditempuh untuk waktu yang lama, karena seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing bahwa ia telah membawa Agung Sedayu untuk berjalan-jalan. Ketika mereka melewati sebuah lorong kecil yang berbelok ke kiri, maka keduanya telah mengikuti lorong itu dan keluar dari padukuhan induk. “Bawa aku ke tempat yang jarang dikunjungi orang,“ berkata Kiai Gringsing. Agung Sedayu terkejut. Tetapi kata-kata gurunya itu tegas. Bahkan katanya kemudian, “Aku perlu menunjukkan sesuatu kepadamu, tanpa orang lain.“ Agung Sedayu telah mengenali Tanah Perdikan itu sebagaimana ia mengenal halaman rumahnya sendiri. Karena itu, maka iapun segera mengetahui, kemana ia harus pergi. Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di lereng sebuah bukit kecil yang jarang didatangi orang. Sebuah gumuk kecil di pinggir sebuah hutan yang masih lebat. “Tempat ini memang jarang di kunjungi orang, Guru. Selain jalan yang sulit, di daerah ini masih terdapat binatang buas yang sering berkeliaran,“ berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu. Mungkin aku memang bukan seorang guru yang baik, karena aku telah membawamu tanpa adik seperguruanmu. Tetapi selain seorang guru, maka aku pun seorang yang tidak dapat mengingkari kenyataan tentang muridku yang hanya dua orang itu.“ “Apakah maksud Guru?“ bertanya Agung Sedayu. “Kau adalah muridku yang tua. Aku berharap bahwa kau akan dapat menggantikan kedudukanku jika aku sudah tidak ada. Kecuali mengendalikan dirimu sendiri, maka kau pun wajib mengendalikan adik seperguruanmu, jika sekali-sekali ia menyimpang dari jalan kebenaran,“ berkata Kiai Gringsing. “Apakah Guru melihat gejala seperti itu?“ bertanya Agung Sedayu. Tetapi justru gurunya itu bertanya kepadanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Bagiku Adi Swandaru adalah orang yang baik. Ia telah berusaha menegakkan satu keyakinan hidup, terutama dalam tugas dan kewajibannya sebagai anak seorang Demang. Ia telah berbuat apa saja bagi kesejahteraan kademangannya.“ “Secara pribadi, apakah kau tidak melihat sesuatu yang dapat membahayakan kelurusan tingkah lakunya?“ bertanya Kiai Gringsing. Agung Sedayu termangu-mangu. Adik seperguruannya itu memang mempunyai sikap yang agak garang. Cepat mengambil keputusan, dan di atas semuanya itu, ia mempunyai harga diri yang terlalu tinggi. Ia menilai dirinya sendiri lebih dari orang lain, sehingga karena itu, maka ia telah salah membuat perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu sendiri. Karena itu, dalam keadaan yang khusus maka Swandaru akan dapat mengambil sikap yang tergesa-gesa, dan karena itu kurang dapat dipertanggung-jawabkan. Agung Sedayu itu memang sedikit tergetar ketika gurunya berkata, “Dengarlah. Aku sudah minta kedua muridku untuk meningkatkan ilmunya. Itu memang perlu sekali. Kita pun kadang-kadang mempunyai harga diri, sehingga kepada orang lain kita harus menunjukkan bahwa perguruan kita termasuk perguruan yang harus diperhitungkan.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tetapi untuk itu kita tidak boleh lepas kendali. Kita harus tetap menempatkan diri kita sebagai seorang yang terikat oleh paugeran hidup di antara sesama dan bertanggung jawab kepada sumber hidup kita.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia masih menunggu gurunya melanjutkan. “Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “aku sudah menganjurkan kalian mempelajari sampai tingkat yang terakhir dari ilmu cambuk sebagai satu ciri dari perguruan kita. Kau tentu sudah tahu, bahwa selama ini kalian meninggalkan tingkat terakhir dari ilmu itu. Bahkan Swandaru masih harus meningkat dua tataran lagi. Namun seandainya kalian benar-benar menekuninya dan melakukan laku yang berat itu, maka kalian akan sampai pada satu tingkat yang sulit untuk diatasi. Aku masih yakin, bahwa seandainya kau memiliki kemampuan itu, kau masih akan selalu mengendalikan dirimu sehingga kau tidak akan mempergunakannya. Agaknya berbeda dengan Swandaru. Jika ia sampai juga pada puncak ilmu itu dengan menjalani laku yang tertulis di dalam kitab itu, maka aku tidak yakin, bahwa Swandaru akan dapat mengendalikan dirinya sebagaimana kau. Meskipun sebenarnya aku memperhitungkan bahwa Swandaru tidak akan sampai pada tingkat terakhir itu. Tetapi siapa tahu, bahwa tingkat itu akan dicapainya pula.“ Agung Sedayu termangu-mangu. Ia mulai dapat meraba arah pembicaraan Kiai Gringsing. Sebenarnyalah maka Kiai Gringsing itu berkata, “Karena itu Agung Sedayu, Swandaru tidak boleh menjadi orang tertinggi dalam ilmu cambuk ini. Dengan demikian maka kau mempunyai beban ganda. Mempelajari ilmu itu tanpa niat mempergunakannya, sekaligus mengawasi Swandaru, apalagi jika iapun mencapai tataran tertinggi itu. Namun aku yakin bahwa kau akan lebih matang dari padanya.“ Jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat. Ia dapat mengerti pesan gurunya itu. Tetapi ia tidak mengira bahwa gurunya menjadi sangat berhati-hati terhadap adik seperguruannya. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata. “Aku sependapat dengan kau, bahwa Swandaru adalah anak muda yang baik. Ia mencintai kampung halamannya di atas segala-galanya. Tetapi ia juga sangat mencintai dirinya sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Memang bukan satu kesalahan, tetapi akibatnya dapat menjadi kurang baik. Jika dalam hubungan ini ia memiliki ilmu tertinggi dari cabang ilmu cambuk itu, maka tanpa orang lain yang melampaui kemampuannya, ia akan dapat berbahaya, tanpa maksud-maksud buruk.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “kau memang harus mempunyai gambaran, seberapa jauh kemampuan tertinggi dari ilmu cambuk itu. Jika kau meningkat satu tataran lagi, maka kau akan sampai pada puncak kemampuan ini.“ Agung Sedayu menjadi tegang ketika ia melihat gurunya mengurai cambuknya. Dengan nada datar ia berkata, “Lihat, aku akan menunjukkan kepadamu, sampai tingkat yang manakah ilmu cambuk Swandaru sekarang ini.“ Dengan tegang Agung Sedayu memperhatikan Kiai Gringsing memutar cambuknya. Kemudian menghentakkan cambuk sendal pancing. Suaranya meledak keras sekali, sebagaimana pernah dilakukan oleh Swandaru. Jika hentakan ujung cambuk itu mengenai batu padas, maka batu padas itu tentu akan pecah. Namun kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Sekarang kau lihat, seberapa jauh kau mampu mencapai tingkat ilmu cambukmu itu.“ Sejenak kemudian. maka Kiai Gringsing itupun telah sekali lagi menghentakkan cambuknya pula. Suaranya hampir tidak terdengar. Namun getarannya terasa menghentak sampai ke jantung. Dalam tataran itu, ujung cambuk Kiai Gringsing itu telah dapat melumatkan batu padas menjadi debu. Namun kemudian Kiai Gringsing itu berkata, “Sekarang, lihat. Bagaimana jika ilmu itu meningkat satu tataran lagi dan bila sudah mencapai puncak kematangannya.“ Jantung Agung Sedayu menjadi benar-benar berdebar-debar. Ia melihat gurunya memutar cambuknya. Semakin lama semakin cepat sehingga suara desingnya telah menerpa isi dada. Rasa-rasanya desingnya saja telah mampu menahan lawan, jika hal itu dilakukan dalam satu pertempuran. Agung Sedayu yang pernah membaca untuk menangkap dan memahatkan isi kitab guruya pada bagian tetakhir itu, memang mengetahui bahwa bagian tetakhir itu memuat laku yang sangat berat, namun akan menghasilkan kekuatan yang sangat tinggi. Namun kini gurunya telah memperlihatkannya, bagaimana ilmu cambuk itu pada tataran akhir. Demikianlah, setelah membuat ancang-ancang sejenak, maka Kiai Gringsing pun telah melepaskan serangan dengan ilmu cambuknya pada tataran tertinggi dari puncak ilmu cambuk, yang dikenal sebagai ciri dari perguruan Orang Bercambuk itu. Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun ia seperti orang bingung melihat gurunya melepaskan ilmu cambuk pada tataran tertinggi itu. Dari hentakan cambuknya yang hampir tidak berbunyi sama sekali telah meluncur seleret cahaya kebiru-biruan. Cahaya yang meluncur dengan kecepatan tatit kecil di pinggir hutan itu. Memang tidak terdengar ledakan dahsyat. Tetapi ledakan itu telah terjadi. Gumuk itu benar-benar bagaikan telah meledak, sehingga batu-batu padas pun telah berguguran, meskipun tidak melontarkan bunyi yang terlalu keras. Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Ia mempunyai kemampuan ilmu untuk menyerang dari jarak jauh dengan mempergunakan sorot matanya. Tetapi dibandingkan dengan serangan ilmu cambuk itu, maka kekuatannya masih berada di bawah. Agaknya seseorang sulit untuk menghindari serangan yang demikian menggetarkan jantung itu, betapapun seseorang memiliki ilmu tinggi. Sedangkan jika seseorang terkena serangan itu, meskipun orang itu dibalut dengan ilmu kebal rangkap, namun ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup. Bahkan agaknya serangan itu dapat ditujukan bukan hanya kepada seseorang, tetapi kepada sekelompok orang. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun tiba-tiba menyadari, kenapa gurunya telah memerintahkannya untuk menguasai ilmu sampai ke tataran tertinggi meskipun ia tidak berniat mempergunakannya, karena kitab itu juga akan berada di tangan Swandaru. Yang meskipun butuh waktu yang lama, tetapi jika dikehendaki akan dapat mencapai tingkat itu pula. Sementara itu Agung Sedayu pun seakan-akan telah menjadi saksi, bahwa sepanjang ia menjadi murid Orang Bercambuk itu, ia belum pernah melihat gurunya mempergunakan puncak ilmu cambuknya itu, meskipun ia pernah menyaksikan dalam satu pertempuran gurunya telah terluka. “Ilmu itu terlalu dahsyat,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Nah, Agung Sedayu,“ berkata Kiai Gringsing, “kau sudah melihat kedahsyatan ilmu itu. Kuasailah, tetapi dengan tekad untuk tidak mempergunakannya sama sekali.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Segalanya sudah jelas baginya, apa yang harus dilakukan. Tetapi Agung Sedayu masih bertanya kepada gurunya, “Guru. Kenapa Guru tidak memerintahkan saja agar Adi Swandaru tidak perlu mempelajari ilmu cambuk itu sampai tataran yang terakhir? Ia cukup meningkatkan ilmu cambuknya satu tataran saja lagi, sehingga ilmunya akan berada pada tataran yang sama dengan ilmuku. Namun jika Guru sependapat, ilmuku mudah-mudahan lebih matang dari ilmunya.” Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Jika aku mencoba melarangnya, maka pada suatu saat. dimana aku tidak lagi mampu melarangnya, maka ia justru akan berusaha dengan diam-diam mempelajarinya. Aku pun tidak mungkin menutup bagian tertinggi dari ilmu itu, atau menghapusnya dari kitab itu, karena dengan demikian aku sudah menyusut ilmu itu. Karena itu, satu-satunya jalan bagiku adalah memaksamu untuk selalu berada di tingkat tertinggi dari segala macam ilmu yang dapat dipelajari dari kitab itu. Tetapi aku pun tidak akan menutup kenyataan bahwa kau sebagai manusia biasa tentu dibatasi oleh keterbatasanmu. Sebenarnyalah, aku lebih percaya kepadamu daripada Swandaru. Mungkin sekali lagi aku harus mengaku bahwa aku bukan seorang guru yang baik, karena ternyata aku tidak adil berbuat terhadap murid-muridku. Tetapi aku mempunyai landasan yang aku anggap dapat dipertanggung-jawabkan.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sangat berterima kasih kepada Guru, bahwa Guru masih mempercayaiku sebagai murid, betapapun mungkin aku kurang memenuhi keinginan Guru.“ “Sebenarnya bagiku kau sudah lebih dari cukup. Apalagi kau mampu menyerap ilmu dari luar dinding perguruan kita, serta membuatnya luluh menyatu dengan ilmu kita. Itu satu keuntungan yang dapat memperkaya perguruan kita, karena jika kau sempat menurunkan ilmu kepada orang lain, maka ilmu itu tingkatnya tentu lebih tinggi dari apa yang dapat aku berikan kepadamu. Atas dasar itu pula maka aku percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat menjaga nama perguruan kita dengan sebaik-baiknya.“ Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Marilah. Kita pergi ke rumah Ki Gede.“ “Mari Guru,“ jawab Agung Sedayu, yang tiba-tiba saja merasa bebannya menjadi semakin berat. Sambil berjalan ke padukuhan induk Kiai Gringsing masih sempat bertanya, “Bukankah kitab itu ada padamu sekarang?“ “Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi Adi Swandaru telah mengatakan bahwa kitab itu akan dibawanya ke Sangkal Putung nanti, jika ia kembali bersama Guru.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bukankah kau tidak memerlukannya?“ “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Maksudku, bukankah kau telah mampu memahatkan pengertian, bahkan kata demi kata yang tertulis pada kitab itu, pada ingatanmu?“ bertanya gurunya. “Ya Guru,“ Jawab Agung Sedayu. “Bailah. Jika demikian, biarlah kitab itu ada pada Swandaru selagi ia berniat untuk meningkatkan ilmunya yang ketinggalan,“ berkata Kiai Gringsing. “Menurut perhitunganku, maka ia akan terhenti pada tataran berikutnya. Tetapi sekali lagi aku pesan kepadamu, kau harus mencapai puncak kemampuan ilmu cambuk itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sambil melangkah, kepalanya justru telah menunduk. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berada di rumah Ki Gede. Dengan singkat, Kiai Gringsing menyatakan bahwa siang nanti setelah matahari turun, ia akan kembali ke Jati Anom. “Aku mohon maaf Ki Waskita, bahwa aku tidak dapat tinggal di sini lebih lama lagi. Sebenarnya kita masih dapat bersama-sama mengawani Ki Gede beberapa saat lagi. Tetapi Swandaru tidak dapat tinggal terlalu lama di sini,“ berkata Kiai Gringsing. Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Rumahku tidak sejauh rumah Kiai Gringsing. Setiap saat aku dapat datang dan pergi, hilir mudik dari rumahku ke rumah ini. Tetapi aku pun telah merencanakan untuk mohon diri besok.“ “Begitu tergesa-gesa?“ Kiai Gringsing-lah yang kemudian bertanya. “Seperti yang aku katakan. Aku dapat hilir mudik kapan saja aku ingini,“ jawab Ki Waskita. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Bukankah aku juga dapat berbuat seperti itu? Asal saja Ki Gede memberikan bekal untuk upah menyeberangi Kali Praga.“ Ki Gede pun tertawa. Sementara itu, mereka masih berbincang beberapa saat, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah itu pula. Sekar Mirah pula-lah yang kemudian telah menyediakan hidangan bagi Kiai Gringsing serta tamu-tamu yang lain. Sekar Mirah pula-lah yang telah menyiapkan dan kemudian mengirimkan makan bagi para pengawal Swandaru yang ada di rumahnya. Dalam pada itu, setelah makan dan minum, serta matahari menjadi semakin tinggi, Kiai Gringsing telah minta diri untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. “Nanti pada saatnya, kami, maksudku aku dan Swandaru, akan singgah lagi kemari untuk minta diri,“ berkata Kiai Gringsing. “Kenapa Kiai tidak menunggu di sini saja?“ bertanya Ki Gede. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun menjawab, “Biarlah aku meninggalkan Tanah Perdikan ini dari rumah muridku.“ Ki Gede tersenyum. Katanya, “Jika demikian silahkan. Agaknya memang ada alasannya, kenapa Kiai Gringsing harus mondar mandir.“ Kiai Gringsing pun tertawa. Ia memang merasakan sikapnya sendiri yang agak gelisah. Tetapi iapun menyadari, bahwa hal itu disebabkan oleh tanggung jawabnya terhadap kedua muridnya. Tanggung jawab atas sikap lahir dan batin mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah Ki Gede untuk kembali ke rumah Agung Sedayu. Di rumah Agung Sedayu, Kiai Gringsing berbenah sebentar. Demikian pula Swandaru dan para pengawalnya. Dalam waktu yang singkat itu, Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan kepada muridnya selagi mereka ada bersama-sama. Seperti yang direncanakan oleh Swandaru, maka kitab Gurunya itu pun telah disimpan di dalam sebuah kantong kain dan dibawa ke Sangkal Putung. Dengan sangat-sangat gurunya berpesan, agar kitab perguruan dari Orang Bercambuk itu disimpan baik-baik. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan siapapun juga selain para murid dari perguruan Orang Bercambuk. “Aku akan menjaganya dengan baik. Guru,“ janji Swandaru. “Kalian juga harus merahasiakan bahwa kalian telah menyimpan kitab tentang ilmu yang termasuk dalam tataran yang tinggi. Karena jika ada orang yang berniat buruk, tentu akan berusaha untuk mengambilnya. Meskipun di dunia ini ada beberapa kitab yang tidak kalah pentingnya dari kitab perguruan Orang Bercambuk, termasuk kitab yang disimpan oleh Ki Waskita, yang memuat antara lain ilmu yang dapat menumbuhkan bayangan di dalam angan-angan orang lain sehingga seakan-akan telah hadir satu ujud yang disebut ujud semu, tetapi ada kekhususan yang terdapat di dalam kitab kita itu. Yaitu ilmu pengobatan yang jarang sekali ada duanya. Penguasaan terhadap berbagai macam racun dan bisa beserta penangkalnya, serta jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi obat dari berbagai macam penyakit dan luka,“ berkata Kiai Gringsing. Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari, betapa pentingnya kitab itu, sehingga karena itu, maka apapun yang terjadi kitab itu tidak boleh terlepas dari tangan mereka. “Guru,“ berkata Swandaru, “untuk beberapa lama kitab ini akan berada di Sangkal Putung. Aku berjanji bahwa kitab itu akan terlindung dengan baik di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayupun akan dapat berbuat demikian pula.“ Kiai Gringsing pun berpaling kepada Agung Sedayu dan bertanya, “Bukankah kau juga berjanji?“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku berjanji, Guru.“ “Nah,“ berkata Kiai Gringsing, “aku merasa tenang. Agaknya segala sesuatunya telah siap. Matahari telah hampir mencapai puncak. Kita akan segera berangkat. Jika kita singgah barang sebentar di rumah Ki Gede, maka pada saat matahari turun, kita akan berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah sinar matahari.“ Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing pun telah meninggalkan rumah itu. Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengantar mereka sampai ke rumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede pula. Ternyata Kiai Gringsing tidak dapat menolak ketika Sekar Mirah kemudian menghidangkan makan dan minum untuk mereka yang akan berangkat menempuh perjalanan ke Jati Anom. Ketika Swandaru sempat berbincang dengan Ki Gede, maka Ki Gede mendengarkan dengan gembira tentang Pandan Wangi yang sudah hampir melahirkan. Dengan demikian Ki Gede akan segera mempunyai cucu. “Bukankah Pandan Wangi mengerti, bahwa ia harus menghentikan segala kegiatannya dalam olah kanuragan?“ bertanya Ki Gede. “Ya Ki Gede,“ jawab Swandaru. ”Pandan Wangi berusaha untuk menjaga dirinya sendiri dan anaknya yang bakal lahir itu.“ “Syukurlah. Apakah anak itu laki-laki atau perempuan, mudah-mudahan ia akan menjadi anak yang baik,“ berkata Ki Gede. Demikianlah, mereka sempat berbincang-bincang sejenak. Setelah makan dan minum, serta matahari mulai nampak condong, maka Kiai Gringsing pun telah minta diri untuk kembali ke Jati Anom. “Apakah Kiai tidak akan kemalaman di perjalanan?“ bertanya Ki Gede. “Justru perjalanan kami akan menjadi sejuk,“ sahut Kiai Gringsing. Namun kemudian katanya, “Mudah-mudahan kami sampai di tujuan sebelum malam.“ Demikianlah, sejenak kemudian Kiai Gringsing telah benar-benar meninggalkan rumah Ki Gede. Beberapa orang telah mengantarnya sampai ke regol. Demikian pula Sekar Mirah yang berdesis, “Hati-hati Kakang. Sungkemku kepada Ayah dan seluruh keluarga di Sangkal Putung. Mudah-mudahan Mbokayu Pandan Wangi akan melahirkan dengan selamat. Jika saja kami tahu sebelumnya, kami akan berusaha untuk dapat mengunjunginya saat ia melahirkan.“ “Jaraknya terlalu jauh Mirah,“ jawab Swandaru, “tetapi aku akan berusaha.“ Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing, Swandaru dan beberapa orang pengawalnya telah meninggalkan padukuhan induk. Mereka menyusuri jalan menuju ke Kali Praga. Swandaru telah minta kepada Kiai Gringsing, agar mereka menempuh jalan yang jauh dari Mataram. “Mataram sedang dalam kesiagaan penuh, Guru. Kita lebih baik menjauhi kemungkinan bertemu dengan pasukan peronda yang barangkali belum kita kenal, sehingga dapat terjadi salah paham,“ desis Swandaru. Kiai Gringsing dapat mengerti alasan Swandaru. Meskipun sebenarnya ia ingin bertemu dan berbicara dengan Panembahan Senapati setelah terjadi usaha untuk membunuh Ki Patih Mandaraka. Tetapi niat itu pun telah ditundanya. Karena itu, maka mereka pun telah memilih jalan utara. Mereka menyeberang di penyeberangan sebelah utara pula. Penyeberangan yang tidak sebesar penyeberangan yang berada di tengah. Bahkan masih lebih sepi dibandingkan dengan penyeberangan di sebelah selatan. Meskipun demikian, ketika mereka sampai ke tepi Kali Praga, mereka masih harus menunggu, karena rakit penyeberangan yang sedang membawa orang baru saja berangkat, sementara rakit yang lain, yang menuju ke sisi barat, masih berada di tengah. Beberapa saat mereka menunggu. Namun kemudian rakit itu pun telah menepi. Tetapi rakit yang tidak begitu besar itu tidak dapat membawa Kiai Gringsing, Swandaru dan para pengawalnya sekaligus, sehingga karena itu, maka mereka memerlukan dua buah rakit untuk membawa mereka beserta kuda mereka. Namun bagaimanapun juga, sekelompok orang-orang berkuda itu memang menarik perhatian. Beberapa orang bahkan telah menduga-duga. Dua orang yang mengaku pedagang dengan pedang di lambung telah mendekati Kiai Gringsing yang sedang menunggu rakit yang sebuah lagi, sambil bertanya, “Ki Sanak? Darimana Ki Sanak datang atau kemana Ki Sanak akan pergi, dengan pengawalan yang kuat itu? Apakah Ki Sanak Saudagar yang membawa dagangan yang mahal, atau sedang dalam perjalanan untuk menyampaikan peningset pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan yang bernilai sangat tinggi, atau karena perang yang terjadi di Tanah Perdikan baru-baru ini?“ Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku memang penakut. Pengawal itu memberikan ketenangan di hatiku dalam perjalananku, meskipun aku tidak membawa apa-apa. Perang di Tanah Perdikan itu merupakan desakan utama agar aku melindungi diriku dengan para pengawal itu.“ Orang yang mengaku pedagang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Kiai Gringsing telah melanjutkan perjalanannya langsung ke Jati Anom. Orang tua itu tidak singgah di Sangkal Putung. Swandaru-lah yang mengantarnya ke Jati Anom, baru kemudian kembali ke Sangkal Putung. Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan panjang. Apalagi mereka tidak melalui jalan yang biasa dilalui iring-iringan para pedagang dan orang-orang yang menempuh perjalanan jauh. Mereka telah menempuh jalan yang lebih sepi. Tetapi jalan itu lebih banyak melalui lereng Gunung Merapi, sehingga kadang-kadang mereka harus sedikit naik turun. Ternyata perjalanan mereka tidak secepat yang mereka perhitungkan. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing yang tua itu harus mengingat kekuatan dan ketahanan kuda-kuda mereka. Mereka memasuki Jati Anom setelah hari menjadi gelap. Sekelompok prajurit peronda yang melihat iring-iringan lewat di bulak panjang telah bergegas menyusulnya. Tetapi Kiai Gringsing dan Swandaru mengerti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah prajurit Pajang di Jati Anom yang sebagian besar telah mengenal mereka. Karena itu, maka kuda-kuda mereka berderap dengan tenang tanpa merubah kecepatan. Sebenarnyalah ketika para prajurit itu menyusul iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu, pimpinannya yang telah mengenal Kiai Gringsing segera menemuinya dan bertanya, “Darimana Kiai?“ “Kami dari Tanah Perdikan,“ jawab Kiai Gringsing. “O. Demikian Kiai mendengar berita tentang keributan yang terjadi di Tanah Perdikan, Kiai langsung menengok murid Kiai,“ desis pemimpin prajurit itu. “Tidak. Ketika terjadi keributan justru aku sedang berada di sana. Swandaru-lah yang kemudian menyusul untuk melihat keadaanku dan keadaan kakak seperguruannya. Karena itu, ia membawa pengawal,“ jawab Kiai Gringsing. “O,“ pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk, “lalu bagaimana keadaan Tanah Perdikan sekarang?“ “Semuanya sudah dapat diatasi. Prajurit Mataram datang tepat pada waktunya,“ jawab Kiai Gringsing. “Kami sudah mendengar laporannya di sini. Syukurlan bahwa semuanya selamat,“ berkata pemimpin prajurit itu. Namun kemudian pemimpin prajurit itu berkata, “Nah, selamat jalan Kiai. Jaraknya tinggal sejengkal lagi. Kami akan melanjutkan tugas kami.“ Kemudian sambil berpaling kepada Swandaru ia berkata, “Apakah kau akan singgah menemui Ki Untara?“ Swandaru menggeleng sambil menjawab, “Tidak sekarang. Besok lain kali aku akan menemuninya.“ Demikianlah, maka iring-iringan prajurit yang sedang meronda itu telah memisahkan diri. Kemudian melanjutkan tugas mereka mengelilingi daerah yang bukan saja termasuk Kademangan Jati Anom, tetapi jangkauan prajurit-prajurit itu jauh lebih luas lagi. Sebenarnyalah jarak yang harus ditempuh oleh Kiai Gringsing tinggal beberapa bulak lagi. Mereka telah melampaui Tanah Cengkar yang sering disebut-sebut ditunggui oleh seekor harimau putih. Kemudian menuju ke sebuah padepokan kecil. Di padukuhan terakhir, mereka lewat di sebuah barak kecil di sudut padukuhan. Di barak itu Untara telah meletakkan sekelompok prajuritnya yang bertugas mengawasi keadaan, dan dalam keadaan memaksa dapat dengan cepat mendekati padepokan kecil yang dititipkan oleh adiknya kepadanya. Meskipun di padepokan itu ada Kiai Gringsing, namun jika Kiai Gringsing itu sedang pergi, maka padepokan itu memang memerlukan sandaran kekuatan. Apalagi jika sekelompok orang datang dan berniat buruk di padepokan kecil itu, sementara para pemimpinnya tidak ada. Ketika Kiai Gringsing lewat di muka barak itu, maka ia telah menghentikan kudanya. Berbincang sejenak dengan prajurit yang bertugas jaga di regol. Kemudian melanjutkan perjalanan. bersambung
Read415 from the story Terusan Api Di Bukit Menoreh by AbdulQadir2016 (Abdul Qadir) with 10,719 reads. fiksisejarah. RADEN MAS RANGSANG benar-benar sedang te Jelajahi . Jelajahi; Paid Stories Terusan Api Di Bukit Menoreh. Terakhir diperbarui: Aug 29, 2016. Tambahkan. Daftar Bacaan Baru.
♦ 15 Juli 2010 “Jika demikian, Ki Gede Menoreh memang harus menjadi sangat berhati-hati,” berkata Ki Patih, “Menoreh harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ki Lurah pun harus menyiapkan prajurit dari Pasukan Khusus. Mungkin pasukan itu dengan tiba-tiba saja harus dipergunakan.” “Ya, Ki Patih. Kami di Tanah Perdikan Menoreh akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dari pembicaraan kami dengan orang-orang yang sudah tertangkap itu, kami dapat menduga bahwa sasaran antara mereka adalah Tanah Perdikan Menoreh.” Dengan nada rendah Ki Patih itu pun berkata, “Tetapi para petugas sandi yang lain tentu akan segera mengirimkan laporannya berturut-turut.” “Kami akan selalu menunggu perintah.” “Datanglah setiap kali, Ki Lurah. Kita akan membuat pertimbangan bersama. Kecuali jika keadaan mendesak, kau dapat datang kapan pun juga. Jika kau berhalangan karena sesuatu hal, kau dapat memerintahkan kepercayaanmu. Tetapi orang itu harus lebih dahulu kau perkenalkan kepadaku. Aku tidak ingin berhubungan dengan orang yang salah. Jika aku belum mengenal kepercayaanmu, maka dapat saja terjadi orang yang tidak kita inginkan datang untuk menyadap keteranganku, yang seharusnya hanya dapat kau dengar.” “Baik, Ki Patih. Pada kesempatan lain, aku akan datang bersama seseorang yang dapat mewakili aku berhubungan dengan Ki Patih.” Pembicaraan antara Ki Patih dan Agung Sedayu masih berlangsung beberapa lama. Namun kemudian Ki Lurah itu pun minta diri. “Salamku bagi Ki Gede,” berkata Ki Patih, ketika Agung Sedayu meninggalkan serambi Kepatihan. Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun sudah berpacu kembali ke Tanah Perdikan. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, Agung Sedayu dan pengiringnya harus menunggu rakit yang akan membawa mereka menyeberang. “Hati-hatilah,” bisik Agung Sedayu kepada kedua pengawalnya. “Ada apa Ki Lurah?” “Dua orang berkuda itu mengikuti kita, demikian kita keluar pintu gerbang Mataram.” Kedua orang pengiringnya itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Lurah itu pun berdesis pula, “Jangan berpaling. Mereka berada hanya beberapa langkah di belakang kalian.” Kedua orang pengawal Agung Sedayu itu tidak berpaling. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Jika rakit yang menepi itu nanti merapat, kita jangan tergesa-gesa naik. Kita akan menunggu rakit yang baru bertolak dari tepian sebelah barat itu.” Kedua pengawalnya pun mengangguk. Karena itulah, maka ketika rakit yang pertama merapat ke tepian, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya justru tidak bergerak ke arah rakit itu. Tetapi justru ke arah lain. Kedua orang berkuda yang disebut oleh Agung Sedayu itu memang terkejut. Mereka juga sudah bergerak menuju ke rakit yang menepi. Namun agaknya keduanya tidak menunda keberangkatan mereka. Jika mereka juga tidak naik ke rakit itu, maka Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya tentu segera mengetahui bahwa kedua orang itu memang sedang mengikuti mereka. Bahwa Agung Sedayu dan kedua pengawalnya urung naik ke rakit itu pun merupakan pertanda bahwa mereka telah mengetahui, bahwa kedua orang itu sedang mengikuti mereka. Sambil mengumpat, kedua orang itu pun kemudian naik ke rakit sambil membawa kuda mereka. Beberapa orang yang lain pun segera naik pula, sehingga rakit itu pun menjadi penuh. Sementara itu, Agung Sedayu dan kedua pengawalnya masih berada di tepian. Sambil tersenyum Agung Sedayu memandang kedua orang yang sudah berada di atas rakit, yang bahkan rakit itu pun mulai bergerak melintasi Kali Praga. Meskipun demikian Agung Sedayu pun berpesan kepada kedua orang pengawalnya, “Berhati-hatilah. Mungkin kedua orang itu masih akan menunggu kita di seberang sungai.” Kedua orang pengawalnya mengangguk. Sejenak kemudian, ketika rakit berikutnya merapat di tepian, barulah Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya naik ke atas rakit sambil membawa kuda-kuda mereka. Beberapa saat kemudian, ketiganya telah memacu kuda mereka menyusuri jalan bulak yang luas di atas tanah di Tanah Perdikan Menoreh. “Ternyata kedua orang itu tidak menunggu kita,” desis Agung Sedayu. Sebenarnyalah kedua orang yang mengikuti Agung Sedayu dan kedua pengawalnya ini tidak mereka lihat lagi. “Siapakah kira-kira mereka?” bertanya Agung Sedayu. Tetapi kedua pengawalnya menggeleng. Seorang di antaranya menjawab, “Kami sama sekali tidak mempunyai petunjuk apapun tentang mereka, Ki Lurah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Beberapa saat kemudian mereka telah memasuki pintu gerbang barak mereka. Agung Sedayu sempat beristirahat beberapa lama di baraknya. Setelah berbicara dengan orang-orang yang dipercaya untuk memimpin barak itu selama ia tidak ada di barak, maka Agung Sedayu pun kemudian telah meninggalkan baraknya, pulang ke padukuhan induk. Agung Sedayu memang agak terlambat pulang. Meskipun Sekar Mirah tahu bahwa Agung Sedayu pergi ke Mataram, namun ia masih juga merasa resah. Demikian pula para penghuni rumah itu yang lain. Meskipun Agung Sedayu berilmu sangat tinggi, tetapi jika ia dihadapkan kepada lima atau enam orang berilmu, maka pada satu tataran tertentu Agung Sedayu akan dapat dikalahkan. Tetapi jantung Sekar Mirah berdentang dengan irama yang wajar kembali, ketika Agung Sedayu kemudian datang memasuki halaman rumahnya. Hanya kepada Sekar Mirah, Agung Sedayu bercerita tentang pembicaraannya dengan Ki Patih. “Setiap kali aku harus menghadap untuk saling bertukar keterangan,” berkata Agung Sedayu malam itu kepada Sekar Mirah. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah persoalan di Tanah Perdikan ini timbul, bahkan mungkin akan terjadi benturan kekuatan yang besar, karena aku memiliki tongkat baja putih?” “Tidak, Mirah. Bukan itu. Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah menjadi sasaran antara. Tanah ini akan dijadikan landasan untuk meloncat ke Mataram, serta lumbung bahan pangan bagi sebuah kekuatan yang akan menghancurkan Mataram.” “Tetapi bukankah Mataram bukan sebuah padukuhan kecil yang hanya mempunyai dua puluh lima orang pengawal?” “Kekuatan Mataram berada di berbagai tempat, Mirah. Jika Mataram pernah menyatukan wilayah yang luas, karena Mataram menghimpun kekuatan yang tersebar itu.” “Bukankah dalam keadaan yang khusus, Mataram dapat melakukannya?” “Tentu Mirah. Tetapi Mataram memerlukan waktu untuk itu.” “Bukankah Mataram dapat melakukannya sejak sekarang?” “Mirah. Persoalan yang dihadapi oleh Mataram bukan hanya sekelompok orang yang akan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan. Di wilayah-wilayah lain juga perlu mendapat pengawasan, agar tatanan pemerintahan dapat berlangsung tertib.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh harus lebih bertumpu pada kekuatan sendiri, yang harus dipersiapkan dengan baik. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, akan dapat menjadi bagian dari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Di hari-hari berikutnya, Tanah Perdikan Menoreh memang mulai mempersiapkan diri dengan baik, meskipun dengan hati-hati agar tak menimbulkah keresahan. Kerja sama dengan para prajurit di barak pun berlangsung semakin baik, karena prajurit dari Pasukan Khusus itu selain dipimpin Agung Sedayu, juga merasa tinggal di Tanah Perdikan itu. Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dalam kesibukannya sehari-hari di sawah, ladang dan bahkan dimana-mana, telah mengamati keadaan dengan seksama. Ada di antara mereka yang melihat bahwa ada orang-orang tertentu yang rasa-rasanya selalu mengawasi Tanah Perdikan ini. “Awasi mereka,” perintah Agung Sedayu. Para prajurit dalam tugas sandi yang bertugas di Tanah Perdikan dan tinggal di padukuhan-padukuhan membenarkan penglihatan para pengawal itu, karena mereka pun telah pernah melihat pula. Bahkan mereka sedang mengamati secara khusus beberapa orang yang mereka curigai. Dengan demikian, maka para petugas sandi dari Tanah Perdikan Menoreh dan petugas sandi dari barak Pasukan Khusus telah bekerja keras untuk mengamati seluruh daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka pun sadar, bahwa petugas sandi dari gerombolan yang ingin menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan perjuangan mereka untuk menggapai Mataram, juga sudah lewat. Mungkin mereka menyamar sebagai pedagang dan berada di pasar-pasar yang tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Mungkin mereka merayap dengan diam-diam di sela-sela perbukitan dan di hutan-hutan lereng pegunungan. Karena itu, mereka harus berhati-hati menjalankan tugas mereka Sedangkan para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan pun menyadari pula, bahwa barak mereka tentu juga mendapat pengawasan khusus dari orang-orang yang mengaku keluarga perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun kembali. Karena itulah, maka kadang-kadang memang terjadi benturan-benturan kecil antara para petugas sandi dari kedua belah pihak. Seakan-akan mereka saling merunduk. Yang lengah akan menjadi korban kecerdikan dan bahkan kadang-kadang kelicikan lawannya. Dalam keadaan yang semakin gawat, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin hati-hati. Mereka sadar bahwa niat para pengikut Ki Saba Lintang untuk menculik Rara Wulan tidak akan pernah padam. Rara Wulan akan dapat dipergunakan untuk memaksa Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu untuk menyerahkan tongkat baja putihnya. Dengan sepasang tongkat baja putih, maka keinginan Ki Saba Lintang untuk memimpin perguruan Kedung Jati yang baru itu akan dapat tercapai. Di rumah Ki Lurah, Empu Wisanata tidak henti-henti menasihati anak perempuannya, agar ia benar-benar melupakan impian-impiannya untuk bersama-sama dengan Ki Saba Lintang menguasai satu himpunan kekuatan yang sangat besar. “Mimpi itu akan dapat menyesatkan jalan hidupmu,” Empu Wisanata menekankan. Dari hari ke hari memang nampak perubahan pada diri Nyi Dwani. Ia tidak lagi terlalu banyak merenung. Nyi Dwani itu selalu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Dengan keluarga Ki Lurah dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kecurigaan Ki Lurah dan Nyi Lurah kepada Nyi Dwani pun menjadi semakin menyusut. Apalagi Empu Wisanata tidak jemu-jemunya selalu memberi petunjuk kepada anak perempuannya itu, agar ia benar-benar mengubah jalan hidupnya. Di samping kesiagaan di Tanah Perdikan, maka seperti pesan Ki Patih Mandaraka, setiap kali Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke Mataram untuk menghadap. Dengan demikian maka kedua belah pihak dapat saling bertukar keterangan. Kedua belah pihak juga dapat menyesuaikan langkah-langkah yang akan diambil. Namun Agung Sedayu terkejut juga ketika pada suatu kali, Ki Patih Mandaraka itu berkata, “Ki Lurah. Agaknya orang-orang dari Pati, Demak dan Jipang tidak hanya mengamati Tanah Perdikan saja. Tetapi Ki Tumenggung Untara telah berhasil menangkap dua orang petugas sandi yang mempunyai hubungan dengan rencana untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati.” “Apakah mereka juga akan menyusup lewat timur?” “Mungkin tidak. Tetapi agaknya mereka ingin mengetahui apakah ada kekuatan dari Jati Anom atau Sangkal Putung yang dikirim ke Tanah Perdikan.” “Apakah petugas sandi itu tidak dapat memberikan keterangan tentang tugas-tugas mereka?” “Mereka adalah orang-orang yang keras hati. Sampai saat ini mereka masih belum mau mengatakan apa-apa. Tetapi para prajurit di Jati Anom masih bersabar. Mungkin besok atau lusa orang itu mau mengatakan sesuatu tentang tugas-tugas mereka” “Selain dari Jati Anom, apakah pernah ada laporan dari Sangkal Putung?” “Belum, Ki Lurah. Tetapi menurut dugaanku, tentu juga ada petugas sandi yang berkeliaran di Sangkal Putung, karena mereka tahu bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu berasal dari Sangkal Putung. Mereka pun tahu bahwa di Kademangan Sangkal Putung juga tersimpan kekuatan yang cukup besar. Bahkan sejak Sangkal Putung menjadi sasaran kekuatan Jipang yang dipimpin oleh Macan Kepatihan, yang juga salah seorang pemimpin perguruan Kedung Jati.” Agung Sedayu mengangguk sambil berkata, “Apakah Adi Swandaru perlu mendapat peringatan khusus tentang hal ini, Ki Patih?” “Aku kira masih belum perlu, Ki Lurah. Jika hal itu diperlukan, biarlah Ki Tumenggung Untara mengambil langkah-langkah seperlunya, agar ada kesatuan sikap antara para prajurit di Jati Anom dengan para pengawal Kademangan Sangkal Putung.” “Jadi apakah itu berarti bahwa Kakang Untara-lah yang akan mendapat perintah untuk tugas itu?” “Ya. Biarlah aku berbicara dengan Ki Tumenggung pada kesempatan lain.” Dengan demikian maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran, bahwa jaringan sandi dari orang-orang yang berniat untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati itu sangat luas. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun yakin bahwa Ki Saba Lintang bukanlah orang yang mampu mengendalikan kekuatan yang besar itu. Seandainya pada suatu saat Ki Saba Lintang berhasil mendapatkan sepasang tongkat baja putih, sehingga bersama dengan Nyi Dwani menjadi pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang akan mereka bangun, maka keduanya tentu akan kecewa. Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani harus melihat kenyataan, bahwa mereka hanyalah sebagian kecil saja dari gerakan yang sedang berputar, yang justru berada di luar kemampuannya untuk mengendalikannya. Ketika kemudian Agung Sedayu kembali ke baraknya, maka ia pun telah memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menjadi semakin berhati-hati. “Ternyata kita berhadapan dengan kekuatan yang besar, yang telah membuka jaringan pengawasan yang luas,” berkata Agung Sedayu kepada beberapa orang pemimpin baraknya. Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan bahwa para prajurit di Jati Anom juga sudah menangkap petugas sandi dari kekuatan yang masih belum menampakkan dirinya dengan jelas itu. Dengan demikian berarti bahwa pengamatan mereka terhadap Mataram telah mereka lakukan dari banyak sisi. Bahkan mungkin mereka sedang membuat perhitungan, manakah yang lebih menguntungkan, apakah mereka akan meloncat ke Mataram dari barat atau dari timur. “Tetapi agaknya mereka akan tetap memilih untuk membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Jati Anom dan sekitarnya, serta Sangkal Putung dan kademangan-kademangan di sebelah-menyebelahnya adalah daerah yang subur, namun mereka akan memperhitungkan bahwa pasukan Untara dan pengawal Kademangan Sangkal Putung terlalu kuat untuk mereka hadapi.” “Mereka menganggap kita di sini lebih lemah?” bertanya salah seorang pembantu Agung Sedayu. “Agaknya memang demikian. Dasar perhitungan mereka adalah bahwa jumlah prajurit di Jati Anom berlipat ganda dari jumlah kita di sini.” “Tetapi itu bukan ukuran,” jawab yang lain. “Aku tahu. Bahkan kemampuan para prajurit secara pribadi juga harus diperhitungkan. Tetapi apakah orang-orang, katakanlah semuanya yang menyatu dalam lingkaran perguruan Kedung Jati itu, sempat membuat perhitungan sampai sekian jauh? Mereka tentu hanya memperhitungkan jumlah. Kita tahu bahwa kesatuan yang berada di Jati Anom adalah kesatuan yang besar. Sedangkan jumlah para pengawal Kademangan Sangkal Putung juga cukup besar.” “Jika demikian, maka bahaya yang membayangi Tanah Perdikan Menoreh adalah benar-benar bahaya yang diperhitungkan dengan sungguh-sungguh.” “Ya. Itulah sebabnya maka kita akan terlibat langsung, jika rencana itu benar-benar mereka laksanakan.” “Bukankah Ki Patih tetap tidak berkeberatan?” “Berkeberatan untuk kita langsung terjun ke arena?” “Ya.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Tentu saja Ki Patih tidak akan berkeberatan. Ancaman ini akhirnya akan tertuju ke Mataram. Bahkan Ki Patih akan memberikan bantuan sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukan.” Para pemimpin dari barak Pasukan Khusus itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami sudah siap, kapanpun kami harus terjun.” “Mulai besok, perkuat kelompok prajurit yang meronda berkeliling. Demikian pula gelombang perondaannya pun harus ditambah.” Hari itu Agung Sedayu pun terlambat pulang. Tetapi Sekar Mirah tahu, bahwa Agung Sedayu hari itu telah pergi ke Mataram. Malam itu Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede bersama Sekar Mirah. Agung Sedayu telah memberitahukan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Ki Patih. Sambil mendengarkan laporan Agung Sedayu, Ki Gede mengangguk-angguk. Ia pun membayangkan, bahwa kekuatan dari orang-orang yang akan menjadikan Tanah Perdikan Menoreh sebagai landasan untuk bergerak ke Mataram adalah kekuatan yang besar. Mereka terdiri dari para prajurit Pati yang dapat dihimpun dan dikelabui oleh para perwira yang mendendam kepada Mataram. Kemudian kekuatan yang tersisih dari Pajang dan harus kembali ke Demak, sedangkan yang lain adalah sisa-sisa kekuatan Jipang, atau keturunan mereka yang merasa wajib membalas dendam. Mereka telah bergabung dengan Ki Saba Lintang yang ingin membangun kembali perguruan Kedung Jati, bekerja bersama dengan orang-orang yang mempunyai pamrihnya masing-masing. Karena itulah, maka Ki Gede pun telah memerintahkan kepada Prastawa untuk menghimpun semua kekuatan. Bukan hanya para pengawal, tetapi setiap orang mempunyai kewajiban untuk membela dan mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh menurut kemampuan masing-masing. “Jika laki-laki harus menghadapi lawan di medan perang, maka biarlah perempuan-perempuan menyiapkan makan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain. Latihan-latihan perlu diselenggarakan di semua padukuhan. Jika terpaksa sedikit menimbulkan keresahan, hal itu tidak dapat kita hindari.” Ketika kemudian malam menjadi semakin malam, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun mohon diri untuk pulang. Ketika mereka memasuki regol halaman rumah mereka, terasa suasana yang berbeda. Mereka merasakan getar yang aneh di dalam jantung mereka. “Agaknya sesuatu telah terjadi Mirah,” desis Agung Sedayu. “Ya,” sahut Sekar Mirah. Dengan hati-hati mereka memasuki halaman rumah. Ketika mereka pergi ke rumah Ki Gede, penghuni rumah itu lengkap ada di rumah. Mungkin Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi. Seandainya demikian, Ki Wijil, Nyi Wijil, Ki Jayaraga dan Rara Wulan ada di rumah. Ternyata bagian depan rumah itu menjadi lengang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kemudian melingkari rumah mereka dan langsung pergi ke halaman belakang. Sebelum mereka sampai di halaman belakang, mereka justru terhenti, Mereka mendengar pertengkaran di halaman belakang. “Suara Nyi Dwani,” desis Sekar Mirah. Mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Di sudut rumah yang gelap mereka bergeser ke halaman belakang. “Kakang,” desis Sekar Mirah. Sekar Mirah itu pun melihat Nyi Dwani di bawah cahaya oncor di sebelah pintu dapur, berdiri tegak sambil menggenggam tongkat baja putih Sekar Mirah. Di sekitarnya berdiri Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil, Glagah Putih, Sabungsari, Sayoga dan Empu Wisanata. Yang membuat darah Sekar Mirah seakan-akan berhenti mengalir adalah, bahwa Nyi Dwani sudah menguasai Rara Wulan. Tongkat baja putih itu menekan leher Rara Wulan, sementara dengan tangannya yang kuat, Nyi Dwani menggenggam tongkat itu hampir di ujung dan pangkalnya. “Bagaimana mungkin ia dapat menemukan tongkatku,” desis Sekar Mirah. “Ternyata Nyi Dwani adalah seorang yang sangat pandai berpura-pura. Selama ini seakan-akan ia sudah menjadi baik. Beberapa kali kejujurannya nampaknya teruji. Ayahnya pun selalu memberikan petunjuk-petunjuk dan didengarkannya dengan patuh.” “Salahku, Kakang. Aku selalu mudah percaya kepadanya.” “Ternyata ayahnya pun seorang yang licik. Kepura-puraan selalu menasihatinya dan Nyi Dwani pun berpura-pura mendengarkannya dengan patuh. Tetapi inilah akhirnya.” “Aku akan berbicara dengan Nyi Dwani. Aku sudah tidak mungkin mengampuninya lagi,” geram Sekar Mirah. Keduanya pun kemudian telah mendekat dengan hati-hati. Demikian Nyi Dwani melihat keduanya, maka tongkat baja putih itu semakin menekan leher Rara Wulan. Dengan garang Nyi Dwani itu pun berkata, “Jangan mendekat. Jika kalian mencoba mendekat, anak ini akan mati.” “Inikah akhir dari ketulusan yang nampak pada dirimu itu, Nyi Dwani?” bertanya Sekar Mirah. “Aku tidak peduli. Aku memerlukan tongkat baja putih ini. Karena itu, minggirlah, atau Rara Wulan akan mati.” Sekar Mirah justru melangkah maju. Sementara Nyi Dwani berteriak, “Jangan maju lagi! Atau aku membunuh anak ini!” “Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah dengan suara bergetar, “sudah dua kali kita bertempur. Aku tidak benar-benar berusaha membunuhmu. Tetapi sekali ini, aku tantang kau bertempur. Pergunakan tongkat baja putih. Kita akan mengetahui, siapakah yang akan memenangkan perang tanding ini. Jika kau berhasil membunuhku, kau dapat membawa tongkat baja putih itu tanpa diganggu. Tetapi jika kau kalah, maka kali ini kau akan mati.” “Persetan dengan perang tanding!” jawab Nyi Dwani lantang, “Aku tahu bahwa kau mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmuku. Karena itu, aku tidak terlalu bodoh untuk menerima tantanganmu.” “Kau licik sekali.” “Aku tidak berkeberatan kau anggap licik. Tetapi aku memerlukan tongkat baja putihmu ini.” “Nyi Dwani,” Sekar Mirah menjadi semakin marah, “kau kira kau mampu meloloskan dirimu? Tanah Perdikan Menoreh tidak hanya selembar daun jati. Mungkin kau dapat keluar dari halaman ini. Tetapi bagaimana mungkin kau dapat keluar dari Tanah Perdikan ini.” “Agung Sedayu,” geram Nyi Dwani, “sediakan aku seekor kuda. Aku memerlukan kuda Glagah Putih yang tegar. Aku akan pergi sambil membawa Rara Wulan. Jika kalian tidak menurut perintahku, maka yang akan kalian temui hanyalah mayatnya saja.” Semuanya jadi terdiam. Tidak seorang pun tahu, apa yang sebaiknya harus mereka lakukan. Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari tanpa berjanji telah berdiri di sisi yang saling berseberangan. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Salah seorang dari mereka yang berdiri di belakang punggung Nyi Dwani harus melakukannya. Menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan sangat berhati-hati, agar serangan itu tidak justru melukai Rara Wulan sendiri. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Empu Wisanata melangkah maju. Wajahnya merah membara. Giginya gemeretak. Matanya bagaikan memancarkan api kemarahan di dalam dadanya. “Dwani,” Empu Wisanata itu menggeram, “jadi selama ini semua kata-kataku, semua nasihatku dan semua petunjuk ke jalan kebaikan itu kau anggap desir angin saja?” “Aku bukan anak-anak lagi, Ayah. Ayah tidak usah mengajari aku lagi. Aku sudah tahu mana yang terbaik bagiku. Selama ini Ayah selalu menyalahkan aku. mencela, melarang, marah dan menganggap aku masih saja kanak-kanak. Sekarang sebaiknya Ayah terbangun. Pandanglah aku, Ayah. Aku ternyata sudah lebih dari dewasa. Aku bukan lagi gadis remaja yang cengeng.” Orang-orang yang berdiri di seputar tempat itu mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih saja curiga. Bahkan mereka bertanya di dalam hati mereka masing-masing, “Permainan apalagi yang akan dilakukan oleh ayah dan anak perempuannya itu?” Sementara itu Nyi Dwani pun berteriak sekali lagi, “Agung Sedayu! Sediakan kuda Glagah Putih! Beri aku jalan sampai ke halaman depan. Biarkan aku naik ke punggung kuda dengan gadis ini dan meninggalkan kalian. Jika kalian tidak mengganggu aku, maka kalian akan menemukan Rara Wulan. dalam keadaan hidup. Tetapi jika ada di antara kalian atau orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berbuat macam-macam, maka Rara Wulan akan mati. Tongkat baja putih ini akan mencekiknya dan mematahkan batang lehernya.” Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu berteriak, “Jangan hiraukan aku! Ambil tongkat baja Mbokayu Sekar Mirah!” Suara Rara Wulan terputus. Ketika Nyi Dwani menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu, maka rasa-rasanya leher Rara Wulan benar-benar telah tersumbat. Ia bukan saja tidak dapat berteriak, tetapi jalur pernafasannya pun seakan-akan telah terputus, sehingga Rara Wulan itu kemudian telah terbatuk-batuk dan bahkan hampir saja ia muntah. “Jangan cengeng atau berpura-pura!” bentak Nyi Dwani, “Jika kau mencoba berbuat sesuatu, maka kau akan benar-benar mati.” Orang-orang yang berdiri mengitari Nyi Dwani itu memang menjadi bingung. Namun Empu Wisanata pun kemudian berkata, “Dwani. Meskipun kau sudah lewat dewasa, meskipun kau sudah cukup berpengalaman, tetapi aku adalah ayahmu. Sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun aku adalah ayahmu. Karena itu, dengarlah nasehatku.” “Dahulu aku anak Ayah. Sekarang aku sudah mampu tegak di atas kaki sendiri. Karena itu, aku bukan lagi anak Ayah yang masih harus mendengarkan nasihat-nasihat, larangan-larangan, ancaman dan segala macam peraturan yang memuakkan. Itulah sebabnya saudara-saudaraku telah melarikan diri dari sisi Ayah.” “Dwani. Jadi kau menganggap dirimu sudah bukan anakku lagi, sehingga hubungan keluarga di antara kita sudah terputus?” “Ya,” jawab Nyi Dwani singkat. “Bagus. Jika demikian kita sekarang adalah orang lain. Kau bukan anakku lagi. Karena itu, maka aku akan mengambil sikap.” Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Sementara itu Empu Wisanata melangkah mendekatinya sambil berkata, “Serahkan tongkat baja putih itu kepadaku. Kau tidak berhak memilikinya. Aku akan mengembalikannya kepada pemiliknya.” Dengan nada tinggi Nyi Dwani pun kemudian menyahut, “Aku memerlukannya! Tongkat baja putih ini akan menjadi milikku!” “Tidak!” suara Empu Wisanata pun meninggi pula, “Serahkan kepadaku!” “Tidak!” “Kau tahu, aku akan dapat membunuhmu. Seberapa pun tinggi ilmumu, namun ilmumu masih belum sehitamnya kuku dibanding dengan ilmuku. Kau tahu itu.” “Jangan maju lagi.” “Kau sendiri yang telah memutuskan hubungan di antara kita. Karena itu, maka aku tidak akan pernah menyesal jika aku membunuhmu, karena aku tidak membunuh anakku.” “Jika kau maju lagi, Rara Wulan akan mati.” “Aku tidak peduli dengan Rara Wulan. Ia bukan sanak dan bukan kandangku. Yang penting bagiku, aku harus dapat membunuhmu. Membunuh mimpi-mimpi burukmu. Membunuh orang yang telah menghinaku dan mencampakkan aku ke dalam kesendirian di dunia ini.” Suara Empu Wisanata menggelepar bagaikan mengguncang langit. Dedaunan pun telah bergoyang-goyang seperti diputar oleh angin pusaran. Bumi tempat berpijak pun rasa-rasanya bagaikan bergetar. “Ayah,” Nyi Dwani menjadi cemas. Ternyata Empu Wisanata benar-benar menjadi sangat marah. Sementara itu Empu Wisanata berkata, “Nah, bersiaplah Dwani. Apapun yang akan kau lakukan terhadap gadis itu, aku tidak peduli. Aku memang merasa lebih baik bahwa kau benar-benar tidak ada lagi di muka bumi, daripada kau masih hidup tetapi aku sudah tidak lagi mempunyai anak seorangpun. Pada kesempatan lain, aku bersumpah untuk memburu dan membunuh Ki Saba Lintang sampai di ujung bumi sekali pun. Kau tahu bahwa aku mampu melakukannya.” Nyi Dwani benar-benar menjadi gemetar. Ia tidak pernah melihat ayahnya marah seperti itu. Ia tahu bahwa ayahnya memang seorang yang keras. Tetapi ayahnya jarang sekali marah, apalagi marah sampai ke puncak. Sementara itu, Nyi Dwani pun tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Sejak ayahnya terlibat dalam pertempuran melawan Ki Jayaraga di Tanah Perdikan itu, ia merasa bahwa ayahnya memang belum sampai ke puncak ilmunya. Namun sekarang untuk menghadapinya, agaknya ayahnya benar-benar akan melumatkannya menjadi debu. Dalam kebingungan itu, Nyi Dwani tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berdiri saja termangu-mangu. Namun terasa bahwa jantungnya berdegup semakin cepat dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menjadi semakin berhati-hati menghadapi Empu Wisanata yang tidak dimengertinya itu. Jika Empu Wisanata itu justru sedang berada dalam puncak permainannya, maka ia akan menjadi sangat berbahaya. Dengan tiba-tiba saja ia dapat menyerang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga dalam sekejap ia akan dapat membinasakan dua atau tiga orang sekaligus, sementara orang-orang itu masih belum siap. Perhatian orang-orang yang berdiri mengitari tempat itu lebih banyak ditujukan kepada Nyi Dwani daripada kepada Empu Wisanata yang marah. Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu pun tidak akan menduga, seandainya tiba-tiba saja Empu Wisanata itu menebarkan ilmu pamungkasnya. Namun Agung Sedayu itu pun sadar, bahwa jika hal itu terjadi, sasaran pertama adalah dirinya. Jika Empu Wisanata itu berniat buruk dan mampu membinasakan Agung Sedayu, maka pengaruh jiwani terhadap yang lain pun tentu akan sangat besar sekali. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Jika serangan itu tiba-tiba datang, maka Agung Sedayu pun siap melawan dengan puncak ilmunya. Justru karena itu, maka Agung Sedayu sengaja tidak mendekati Sekar Mirah. Ia justru berdiri terpisah, sehingga jika Empu Wisanata itu menyerangnya, serangan itu tidak akan menyentuh orang lain. Namun dalam pada itu, selagi Nyi Dwani dicengkam oleh kebimbangan untuk menentukan sikap, tiba-tiba saja Rara Wulan berusaha memanfaatkan kesempatan itu. Dengan sekuat tenaganya, Rara Wulan menyerang ulu hati Nyi Dwani dengan sikunya. Nyi Dwani yang berdiri di belakang Rara Wulan sambil menekan leher Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu terkejut. Ulu hatinya yang menjadi sasaran serangan Rara Wulan itu bagaikan dihentak dengan ujung penumbuk padi. Nyi Dwani itu mengaduh perlahan. Ia tidak siap mengalami serangan itu. Karena itu, perhatiannya atas tongkat baja putihnya yang menekan leher Rara Wulan itu mengendur sesaat. Dengan tangkasnya Rara Wulan pun mengangkat tongkat baja putih itu sambil merendah, sehingga lehernya terlepas dari tekanan tongkat baja putih itu. Dengan cepat Rara Wulan meloncat berlari menjauhi Nyi Dwani. Ketika Nyi Dwani menyadari keadaan itu, maka dengan tangkasnya pun ia berusaha memburu Rara Wulan. Bahkan tongkat baja putih di tangannya itu sudah siap diayunkannya. Namun tiba-tiba saja Nyi Dwani itu terkejut. Sebelum ia sempat menyusul Rara Wulan, maka sepercik api seakan-akan telah menyembur dari dalam tanah. Nyi Dwani tidak dapat dengan serta-merta berhenti. Ia terdorong selangkah, lalu tubuhnya pun kemudian terpelanting jatuh terbanting di tanah. Namun tubuh itu pun kemudian berguling-guling beberapa kail. Terdengar jerit Nyi Dwani yang kesakitan. Ternyata bukan saja pakaian Nyi Dwani yang terbakar, tetapi kulitnya pun telah mengalami luka-luka bakar pula. Semua orang terkejut menyaksikan peristiwa itu. Agung Sedayu, Glagah Putih, Sabungsari, Ki Jayaraga, Ki Wijil, Nyi Wijil dan anak laki-lakinya tidak merasa menyerang Nyi Dwani dari jarak jauh. Semula mereka memang menduga bahwa serangan itu dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Namun ternyata Nyi Dwani itu pun mengaduh kesakitan, “Ampuh Ayah. Kenapa Ayah sampai hati membunuhku?” Empu Wisanata berdiri termangu-mangu. Namun ia pun segera berlari mendekati anak perempuannya yang mengalami luka-luka parah di seluruh tubuhnya. “Dwani, Dwani.” Terdengar Nyi Dwani mengerang kesakitan. “Maafkan aku, Dwani. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat melihat kau berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Aku mencoba untuk mencegahmu. Tetapi inilah yang terjadi.” “Sakit, Ayah. Panas sekali.” Beberapa orang telah berloncatan mendekat. Sementara itu Rara Wulan telah berada di dalam dekapan Sekar Mirah. “Air. Aku memerlukan air.” Glagah Putih dan Sabungsari-lah yang kemudian berlari ke sumur, disusul oleh Sayoga. Sesaat kemudian, Glagah Putih telah berlari-lari membawa sekelenting air. Empu Wisanata pun kemudian menaburkan serbuk dari sebuah bumbung kecil yang nampaknya selalu dibawanya, ke dalam air itu. Setelah diaduknya, maka air itu pun diguyurkan ke seluruh tubuh Nyi Dwani yang mengalami luka-luka bakar itu. Air yang sudah diaduk dengan serbuk obat itu nampaknya dapat mengurangi rasa sakit. Karena itu, Nyi Dwani itu pun tidak berteriak-teriak lagi. Meskipun demikian, ketika ia diangkat dan dibawa masuk ke ruang dalam, terdengar Nyi Dwani itu masih merintih. Nyi Dwani pun kemudian telah dibaringkan di pembaringan, di dalam bilik yang diperuntukkan baginya. Hampir semua benang pada pakaiannya telah terbakar. Karena itu, maka Nyi Dwani itu pun kemudian diselimuti dengan kain panjang, karena ia tidak dapat mengenakan pakaian. Api yang memercik karena ilmu Empu Wisanata itu telah melukai hampir seluruh tubuh Nyi Dwani. “Sakit, Ayah,” rintih Nyi Dwani. “Kau akan segera menjadi baik, Dwani,” desis ayahnya dengan suara yang bergetar. Malam itu semua orang yang berada di rumah Agung Sedayu itu hampir tidak dapat tidur sama sekali. Mereka seakan-akan ikut merasakan betapa panasnya tubuh Nyi Dwani yang dipenuhi dengan luka-luka bakar. Dengan tekun Empu Wisanata menunggui, dengan setiap kali mengusapkan air yang telah dibubuhi serbuk obat. Namun obat Empu Wisanata itu adalah obat yang ternyata sesuai bagi luka-luka di tubuh Nyi Dwani. Di keesokan harinya Nyi Dwani sudah mau ditinggalkan oleh ayahnya yang letih lahir dan batinnya. Ia tidak lagi selalu merintih kesakitan. Hanya sekali-kali terdengar Nyi Dwani itu berdesah. Berganti-ganti Sekar Mirah dan Nyi Wijil menungguinya. Rara Wulan masih dibayangi oleh ketakutan mendekati Nyi Dwani, yang telah mencekiknya dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah yang berhasil diambil oleh Nyi Dwani. Di hari berikutnya, keadaan Nyi Dwani menjadi semakin baik, meskipun ia masih belum dapat bangkit dari pembaringan. Nyi Dwani sudah mau minum air putih dan makan bubur tepung beras. “Ayah,” berkata Nyi Dwani dengan suara yang masih sendat. “Ada apa Dwani?” bertanya ayahnya. “Apakah Rara Wulan ada di rumah?” “Ada, Dwani.” “Aku ingin bertemu dengan gadis itu, Ayah.” “Kau telah membuatnya ketakutan, Dwani.” “Aku ingin minta maaf kepadanya.” Empu Wisanata pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menemui Sekar Mirah untuk menyatakan keinginan Nyi Dwani bertemu dengan Rara Wulan.. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menyampaikannya, Empu.” “Terima kasih. Nyi Lurah.” Ketika Sekar Mirah kemudian menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun menyatakan keseganannya. Dengan terus terang Rara Wulan berkata, “Hatiku masih terasa sakit sekali, Mbokayu. Aku memang masih juga dibayangi ketakutan. Tetapi jika aku mendekatinya bersama Mbokayu, aku sama sekali tidak merasa takut. Apalagi Nyi Dwani kini dalam keadaan sakit. Tetapi hatiku masih belum dapat diajak berdamai.” “Kau harus berjiwa besar, Rara,” berkata Sekar Mirah, “ia ingin minta maaf kepadamu.” “Nyi Dwani dapat saja minta maaf kepadaku, kepada Mbokayu dan kepada siapapun, setelah ia gagal. Tetapi jika ia berhasil?” “Ia tidak akan berhasil, Rara. Bukankah ayahnya sendiri tidak setuju dengan perbuatannya?” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan menemuinya bersama Mbokayu.” “Ya. Aku akan menemanimu. Empu Wisanata juga akan berada di dalam bilik itu.” Meskipun demikian, ketika akan memasuki bilik Nyi Dwani, Rara Wulan nampak sangat ragu. Tetapi Sekar Mirah pun kemudian melangkah di depan sambil berdesis, “Empu Wisanata ada di dalam.” Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian berdiri sebelah pembaringan Nyi Dwani bersama Sekar Mirah. Empu Wisanata-lah yang berbisik di telinga Nyi Dwani, “Dwani, Rara Wulan telah berada di sini.” Nyi Dwani membuka matanya. Ketika ia melihat Rara Wulan, maka Nyi Dwani tidak dapat menahan air matanya. Dengan suara yang bergetar serta tertahan-tahan ia pun berkata, “Rara. Maafkan aku. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melakukannya. Bahkan ketika kita pulang dari pasar, aku sudah berniat untuk melibatkan diri ikut melindungi Rara. Tetapi akhir-akhir ini iblis itu datang lagi kepadaku, dan membujukku untuk mengambil tongkat baja putih itu. Tidak ada cara lain yang dapat aku lakukan, kecuali mempergunakan Rara sebagai taruhan. Aku mohon maaf, Rara.” Rara Wulan berdiri bagaikan membeku. Pedih di hatinya rasa-rasanya masih membekas. Apalagi ketika ia mengingat tongkat baja putih itu telah menekan lehernya sehingga ia hampir saja menjadi muntah-muntah. Nafasnya terasa terputus, dan seakan ia sudah berada di ujung hidupnya. “Rara. Kau mau memaafkan aku?” Namun sebelum Rara Wulan menjawab, Empu Wisanata pun bertanya. “Siapakah yang telah datang kepadamu itu, Dwani?” “Ki Saba Lintang.” “Kapan?” “Beberapa kali ia datang, Ayah. Ia menyamar. Kadang-kadang ia berhenti dengan pikulan dawetnya di depan regol rumah ini. Ia berbicara tanpa berpaling dan aku mendengarkannya dari dalam regol. Lain kali ia datang dalam ujud yang lain.” “Ia membujukmu untuk mengambil tongkat baja putih itu?” “Ya, Ayah.” “Dan kau terpengaruh lagi?” “Ya, Ayah,” terdengar Nyi Dwani itu terisak. Katanya kemudian, “Hatiku memang rapuh, Ayah.” “Kau harus mengingatnya Dwani. Kau tidak boleh kehilangan penalaran lagi,” Empu Wisanata berhenti sejenak. Lalu ia pun bertanya pula, “Apakah pada malam kau mengambil tongkat baja putih itu, ia berada di sekitar rumah ini pula?” “Ya, Ayah.” “Kau yakin?” desak Empu Wisanata. “Aku sudah mendengar isyaratnya.” Empu Wisanata mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berkata, “ Jika demikian, apakah kira-kira Ki Saba Lintang tahu apa yang terjadi?” “Agaknya ia mengetahuinya, Ayah.” “Tetapi ada baiknya juga, Dwani. Mereka langsung dapat melihat kegagalanmu.” “Ya, Ayah.” “Kau tidak usah menghiraukannya lagi. Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang, kau tidak usah ikut campur. Kau pun harus melupakan mimpimu tentang tongkat baja putih itu,” berkata Empu Wisanata. Bahkan kemudian katanya, “Dwani. Seandainya kau mencobanya lagi, maka aku pun tidak akan jera untuk memberi peringatan kepadamu. Jika karena itu maka kau benar-benar terbunuh, itu adalah satu akibat yang dapat saja terjadi, meskipun tidak aku inginkan.” “Ya, Ayah,” jawab Nyi Dwani. “Nah, berbicaralah dengan Rara Wulan sekarang.” “Rara,” berkata Nyi Dwani kemudian, “aku telah khilaf. Pada saat-saat aku dalam keragu-raguan, Ki Saba Lintang itu datang. Ia telah memberikan perintah-perintah yang disertai dengan janji dan harapan-harapan, sehingga jantungku telah terguncang lagi.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia pun mengangguk. “Aku ingin mendengar kesediaanmu memaafkan aku, Rara.” Rara Wulan menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun mengangguk kecil. Dengan demikian, maka Rara Wulan itu pun kemudian berkata, “Aku maafkan kau, Nyi Dwani.” Nyi Dwani memandang Rara Wulan dengan mata yang bersinar. Rara Wulan pun melihat wajah Nyi Dwani menjadi cerah. Dengan tangannya yang lemah, Nyi Dwani menggapai tangan Rara Wulan. Kemudian diciumnya sambil berdesis, “Bukan hanya wajahmu saja yang cantik, Rara Wulan. Tetapi hatimu juga cantik.” Rara Wulan justru tersipu-sipu. Katanya, “Terima kasih, Nyi Dwani.” “Aku tidak ingin menyakitimu. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain. Ki Saba Lintang itu pun minta aku melakukan hal itu atasmu.” “Sudahlah. Lupakan saja Nyi Dwani.” Nyi Dwani mengangguk kecil. Tetapi matanya menjadi basah. Beberapa saat Rara Wulan bersama Sekar Mirah berada di bilik Nyi Dwani. Namun kemudian keduanya pun meninggalkan Nyi Dwani yang terbaring lemah. Sambil melangkah keluar Sekar Mirah berdesis, “Beristirahatlah dengan baik.” Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil. Dalam pada itu, setelah Rara Wulan menyatakan kesediaannya memberi maaf, maka terasa beban di dada Nyi Dwani menjadi berkurang. Kepada ayahnya ia berkata, “Apapun yang akan terjadi atas diriku, Ayah, aku tidak akan menyesal lagi. Rara Wulan sudah bersedia memaafkan aku.” “Untuk selanjurnya berhati-hatilah mengambil langkah.” Nyi Dwani mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya, Ayah.” Dari hari ke hari keadaan Nyi Dwani semakin berangsur baik. Luka-luka bakar di tubuhnya mulai menjadi kering. Tidak ada bagian-bagian dari lukanya yang basah dan bernanah. Meskipun demikian, penghuni rumah itu masih tetap berhati-hati. Hati Nyi Dwani memang rapuh, sehingga dapat berubah setiap saat. Tetapi peristiwa terakhir itu agaknya benar-benar telah membuatnya jera. Empu Wisanata sudah mengatakan kepada Nyi Dwani bahwa ia tidak dapat berbuat lain, karena ia tidak mau melihat Nyi Dwani berkhianat terhadap kebenaran dan kebaikan budi. Namun dalam pada itu, di sore hari ketika Empu Wisanata sedang duduk di serambi gandok bersama Ki Jayaraga, dua orang berkuda telah memasuki regol halaman tanpa turun dari kudanya. Empu Wisanata yang melihat kedua orang itu terkejut. Dengan serta-merta ia bangkit dan melangkah turun ke halaman. “Suranata,” desis Empu Wisanata. “Selamat sore, Ayah,” berkata salah seorang dari mereka. “Marilah, naiklah. Mimpi apakah yang membawamu kemari?” “Mimpi buruk, Ayah.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, kedua orang berkuda itu telah duduk di pendapa, setelah mengikat kuda mereka di patok-patok yang memang tersedia di sebelah pendapa. Empu Wisanata telah minta Ki Jayaraga untuk ikut menemui anak laki-lakinya. “Ini adalah anakku laki-laki, Ki Jayaraga,” berkata Empu Wisanata. Namun Empu itu pun bertanya kepada anaknya, “Siapakah kawanmu itu?” “Ia saudara seperguruanku, Ayah. Seorang yang berilmu sangat tinggi.” “Namanya?” “Wira Aran.” “Aku ayah Suranata, Ki Sanak.” “Aku tahu,” jawab Wira Aran sambil mengangkat wajahnya, “Suranata banyak bercerita tentang ayahnya yang tidak disukainya, sehingga ia akhirnya lari.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Dengan ragu ia bertanya kepada anaknya, “Kau bercerita seperti itu, Suranata?” Suranata memandang ayahnya dengan tajamnya Kemudian ia pun menjawab, “Jadi apa yang harus aku katakan kepadanya? Aku memang tidak senang kepada Ayah. Maksudku, cara Ayah memperlakukan aku dan adik-adikku. Ayah selalu memaksakan kehendak Ayah. Kami sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyatakan perasaan kami, sehingga kami merasa bahwa kami tidak lebih dari sekedar benda-benda mati sebagai alat permainan Ayah saja” “Akhirnya kau dan seorang adikmu lari dariku.” “Ya.” “Setelah itu kau mendapatkan kebebasan untuk menentukan pilihan.” “Ya.” “Apa yang kau dapatkan dengan kebebasanmu? Arti dari hidupmu? Nilai-nilai kemanusiaan bagi banyak orang? Atau apa?” Wajah Suranata menjadi tegang. Dipandanginya wajah ayahnya dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Apa yang aku dapatkan tidak penting bagi orang lain. Yang penting bagiku, aku dapat menentukan langkahku sendiri. Aku berkuasa atas diriku, atas kehendakku dan kemauanku sendiri.” “Meskipun yang kau lakukan itu bertentangan dengan kepentingan orang banyak? Meskipun keputusan atas kehendak dan kemauanmu itu merugikan orang lain?” “Aku tidak peduli.” “Jika demikian, bukan hanya aku ayahmu saja-lah yang akan melarangmu. Tetapi orang lain pun akan menentangmu.” “Aku lebih senang berhadapan dengan orang lain daripada dengan Ayah.” “Apakah sikap itu masih berlaku sampai sekarang?” “Ya.” “Kenapa kau sekarang datang kepadaku?” “Ayah sekarang bagiku sudah menjadi orang lain. Dahulu aku memang anak Ayah. Tetapi aku telah melepaskan diri dari ikatan keluarga, sehingga aku tidak lagi harus tunduk kepada kemauan Ayah. Jika aku masih memanggil Ayah, bagiku Ayah sekarang adalah sebuah nama. Tidak ada sangkut paut kekeluargaan sama sekali.” “Yang kau katakan sama seperti apa yang dikatakan oleh Dwani. He, apakah kau datang bersama Saba Lintang saat Dwani mencuri tongkat baja putih? Atau kau dan Saba Lintang pernah menemuinya sebelumnya, dan mempengaruhinya agar Dwani mencuri tongkat baja putih itu?” “Sebaiknya aku tidak ingkar. Aku memang mempengaruhi agar Dwani tidak berhati lumpur. Hatinya harus sekokoh batu karang. Ia tidak boleh bergeser dari tujuan semula, sejak ia mulai bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang.” Empu Wisanata mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jadi selama ini kau berhasil menemui Dwani beberapa kali? Mungkin pada saat-saat rumah ini sepi. Saat Ki Lurah Agung Sedayu pergi ke barak. Saat Angger Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pergi ke banjar. Saat aku, Ki Jayaraga dan Ki Wijil dan Rara Wulan berada di dapur.” “Sebut apa saja untuk menutupi kelengahan seisi rumah ini, atau karena tidak cukup kemampuan untuk menjaga tawanannya” “Dwani tidak dianggap tawanan di sini, sehingga ia mempunyai keleluasaan untuk berbuat sesuatu.” “Omong kosong!” geram Suranata, “Bahkan Ayah sendiri sudah berusaha membunuhnya” “Kau kira aku akan membunuh Dwani?” “Aku datang untuk berbicara dengan Ayah tentang Dwani.” “Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Empu Wisanata. “Ayah. Aku datang untuk mengambil Dwani. Nyawanya di sini terancam. Bahkan Ayah sendiri telah berusaha membunuhnya. Serangan Ayah telah membuatnya luka parah.” “Dwani sudah menjadi berangsur baik.” “Tetapi lain kali Ayah tentu benar-benar akan membunuhnya” “Tidak. Suranata. Aku tidak akan menyerahkan Dwani kepada siapa pun juga. Ia adalah anakku.” “Dahulu, Ayah. Selagi Dwani masih kanak-kanak. Tetapi sekarang ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah bukan anak Ayah. Bukankah Dwani sendiri sudah mengatakannya?” “Tidak. Dwani tetap anakku.” “Itu menurut Ayah.” “Juga menurut Dwani” “Aku tidak percaya.” “Itu urusanmu.” “Jika Ayah jujur, beri kesempatan aku untuk berbicara dengan Dwani, jika benar Dwani tidak mati.” “Dwani tidak mati. Ia masih hidup. Keadaannya kini sudah membaik. Karena itu, kau tidak usah mengganggunya.” “Aku ingin bertemu.” “Untuk apa?” “Jika Ayah yakin, biarlah Dwani sendiri yang menjawab. Apakah ia akan tetap bersama Ayah, atau ia akan pergi bersamaku. Jika ia bukan tawanan di sini, maka ia tentu mempunyai keleluasaan untuk pergi.” “Sejak ia mencuri tongkat baja putih, ia memang menjadi tawanan. Aku adalah salah seorang petugas yang menjaganya agar ia tidak akan lepas.” Wajah Suranata itu pun menjadi merah. Dengan nada tinggi Suranata itu pun berkata, “Ayah. Beri kesempatan aku bertemu dengan Dwani.” “Ia tidak memerlukanmu, Suranata. Perasaannya sudah mulai mengendap. Kau tidak perlu mengaduknya lagi.” “Apakah Ayah takut bahwa aku akan mengetahui perasaan Dwani yang sebenarnya? Atau Ayah takut bahwa aku akan mengetahui bahwa Ayah berbohong?” “Tidak.” “Jadi apa keberatan Ayah jika aku menemui Dwani?” “Dwani seorang tawanan di sini.” “Persetan,” geram Suranata, “aku akan menemuinya.” “Kau menantang aku? Jika kau menganggap aku orang lain sebagaimana pernah dikatakan oleh Dwani, maka aku dapat memperlakukan kau lebih dari Dwani, karena kau-lah yang telah membujuk Dwani.” “Tetapi aku bukan Dwani, Ayah.” “Kau merasa bahwa ilmumu mampu menandingi aku?” Wajah Suranata menjadi tegang. Namun katanya kemudian, “Aku tidak sendiri.” “Kau kira aku sendiri di sini? Telingamu tentu tidak tuli. Matamu tentu tidak buta. Siapa saja yang ada di rumah ini. Jika kau memaksakan kehendakmu di sini, maka kau akan benar-benar hancur.” “Persoalannya adalah persoalanku dengan Ayah.” “Dwani adalah tawanan di sini. Aku salah seorang petugas yang menjaganya. Dengan demikian persoalannya bukan persoalanmu dengan aku, ayahmu yang kau sebut orang lain itu. Tetapi persoalanmu adalah persoalan seseorang yang memaksa diri untuk menemui seorang tawanan.” “Ayah sekarang menjadi sangat licik dan pengecut.” “Apakah kau baru tahu sekarang bahwa aku licik dan pengecut, sebagaimana orang-orang yang tergabung dalam gerombolan Saba Lintang, termasuk kau?” Kemarahan telah membakar ubun-ubun Suranata. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat berbuat banyak. Ia tahu bahwa beberapa orang yang tinggal di rumah itu adalah orang berilmu tinggi sebagaimana ayahnya. Karena itu, maka Suranata itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan pergi. Tetapi aku akan kembali mengambil Dwani. Kasihan anak itu. Ia berada di tangan seorang yang hatinya mengeras seperti batu hitam, tetapi jantungnya berbulu seperti jantung serigala yang sangat licik.” “Katakan apa yang ingin kau katakan,” sahut Empu Wisanata. Namun Suranata tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus meninggalkan tempat itu tanpa dapat menemui adik perempuannya. Karena itu, maka Suranata itu pun kemudian berkata, “Salamku buat Dwani.” Sebelum Suranata beringsut, saudara seperguruannya itu pun sempat berkata, “Aku sekarang percaya atas apa yang kau katakan tentang ayahmu. Aku tahu bahwa kau membenci ayahmu, tetapi aku tidak membayangkan bahwa ia adalah seorang yang sangat licik dan pengecut seperti itu.” Namun tiba-tiba saja orang itu terpelanting jatuh. Hampir saja ia terlempar ke halaman. Wajah orang itu bagaikan tersentuh api. Ketika ia meloncat bangkit, maka Empu Wisanata pun sudah tegak berdiri.. Sementara itu Suranata pun telah berdiri pula. Tetapi Ki Jayaraga pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Dengan marah orang itu menggeram, “Aku tidak akan pernah melupakannya, Empu.” “Datanglah kepadaku pada kesempatan lain, jika kau merasa sudah waktunya untuk mati.” Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Justru pada saat yang demikian, Empu Wisanata itu pun berkata kepada anak laki-lakinya, “Jika masih ingin bertemu dengan Dwani, aku beri kau waktu sebentar.” Suranata menjadi heran. Ia tidak tahu kenapa ayahnya tiba-tiba berubah pikiran. Sementara itu, Empu Wisanata itu pun berkata kepada Ki Jayaraga, “Tolonglah Ki Jayaraga, amati tikus tanah yang satu itu. Jika ia berbuat yang aneh-aneh, jangan segan-segan. Ia akan dapat lumat dengan sekali sentuh ilmu pamungkasmu.” Ki Jayaraga mengangguk. Katanya kepada saudara seperguruan Suranata, “Duduklah, Ki Sanak.” “Tidak,” jawab orang itu. “Duduklah,” ulang Ki Jayaraga. Dengan tajamnya ia memandang langsung ke pusat mata orang itu. Ternyata wibawa Ki Jayaraga yang tua itu masih cukup tinggi. Orang itu pun kemudian telah duduk. Empu Wisanata pun kemudian telah membawa anak laki-lakinya masuk ke ruang dalam. Jantung Suranata bergetar ketika ayahnya berkata kepada orang-orang yang duduk di ruang dalam. “Ini adalah anakku laki-laki,” berkata Empu Wisanata, “tetapi ia sangat membenci ayahnya. Ia menganggap bahwa aku adalah orang lain sekarang, sebagaimana dikatakan oleh Dwani. Tetapi ternyata Dwani telah dipengaruhi oleh orang ini.” Suranata sama sekali tidak menyahut. Sementara Empu Wisanata berkata kepada anaknya, “Mereka adalah Ki Wijil dan Nyi Wijil. Suami istri yang akan sanggup melumatkan gunung.” Ki Wijil dan Nyi Wijil tertawa kecil. Dengan nada tinggi Ki Wijil pun tertawa, “Ayahmu memang senang bergurau, Ngger. Tetapi aku senang mendengar pujian itu, karena jarang ada orang yang memuji kami.” Suranata menggeretakkan giginya. Ia merasa diperlakukan sebagai seorang anak kecil. Tetapi ia sadar dengan siapa ia berhadapan. Suranata itu pun sadar, bahwa kedua orang itu tentu mendengar apa yang dibicarakannya dengan ayahnya di pendapa sebelumnya. Demikianlah, Empu Wisanata itu pun membawa anaknya ke dalam bilik tempat Nyi Dwani berbaring. Di dalam bilik itu Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk menunggui Nyi Dwani yang sudah berangsur baik. Meskipun luka-lukanya masih belum sembuh benar, tetapi Nyi Dwani sudah tidak mengaduh lagi. Nyi Dwani terkejut ketika ia melihat ayahnya dan kakaknya memasuki bilik itu. Hampir saja ia bangkit untuk duduk di pembaringannya. Namun dengan cepat Sekar Mirah mencegahnya. Sambil memegangi bahunya, Sekar Mirah itu pun berkata, “Jangan bangun dahulu Nyi. Berbaring sajalah sampai segala-galanya memungkinkan.” “Berbaring sajalah Dwani,” desis ayahnya. Nyi Dwani berbaring lagi. Tetapi dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip ia memandang kakaknya yang tiba-tiba saja hadir di dalam biliknya. “Dwani,” desis Suranata. Nyi Dwani tidak menyahut. “Bagaimana keadaanmu?” Sambil menarik nafas dalam-dalam Nyi Dwani itu pun baru menyahut, “Aku sudah baik, Kakang.” “Ayah telah sampai hati berusaha membunuhmu.” “Salahku sendiri, Kakang.” “Kau tidak bersalah, Dwani.” “Aku bersalah. Aku tidak mau mendengar nasihat Ayah. Aku justru menganggapnya orang lain, sehingga Ayah pun berhak memperlakukan aku seperti terhadap orang lain.” “Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika kau sembuh, maka aku akan datang lagi untuk mengambilmu. Jika perlu dengan kekerasan. Ayah benar-benar telah menganggap kita sebagai orang lain, sehingga kita pun tidak terikat lagi dengan hubungan apapun.” “Tidak, Kakang. Kita tidak akan dapat menghapus darah yang mengalir di dalam tubuh kita. Titik-titik darah yang ada di dalam pembuluh darah kita adalah tetesan darah Ayah.” “Apa artinya tetesan darah yang mengalir di dalam tubuh kita, jika Ayah sendiri sudah tidak mengakuinya?” “Bukan Ayah yang tidak mengakuinya Kakang. Tetapi aku dan kau. Kita-lah yang telah mencoba untuk ingkar.” “Dwani,” potong Suranata, “apa yang telah terjadi di dalam dirimu? Bukankah kita sudah memutuskan apa yang akan kita lakukan?” “Aku menyesalinya Kakang.” “Apa artinya itu?” “Aku telah memutuskan untuk meninggalkan impian buruk itu. Aku akan kembali kepada ayahku. Di saat aku berbaring dalam keadaan sakit, aku mempunyai banyak kesempatan untuk merenung, sehingga aku telah menemukan diriku sendiri.” “Dwani. Sudah aku katakan. Hatimu jangan lemah seperti batang ilalang yang merunduk ke mana arah angin bertiup.” “Aku mengerti Kakang. Sekarang hatiku akan sekokoh batu karang. Aku tidak lagi akan hanyut dalam mimpi-mimpi buruk itu. Tongkat baja putih, kepemimpinan dari sebuah perguruan yang akan dibangun di atas reruntuhan nama perguruan Kedung Jati.” “Dwani. Kau sudah dipengaruhi oleh sikap orang yang tidak mempunyai pendirian.” “Justru aku sekarang mulai bersikap di atas satu pendirian yang kokoh, Kakang.” “Tidak Dwani. Kau telah terbius oleh bujukan iblis yang licik.” “Kakang, tinggalkan saja aku di sini. Keikutsertaanmu ke dalam rencana Ki Saba Lintang sempat mengguncang pendirianku. Tetapi aku sekarang sudah berkeyakinan, bahwa aku tidak akan dapat menyertai Ki Saba Lintang lagi.” “Dwani,” sahut kakaknya, “jika aku kemudian bergabung dengan Ki Saba Lintang, itu karena aku menaruh harapan kepadamu. Kau akan memimpin perguruan ini bersama-sama dengan Ki Saba Lintang. Tetapi kenapa tiba-tiba kau berpaling hanya karena Ayah juga berpaling?” “Aku menyadari kebenaran sikap Ayah.” “Tidak Dwani. Kau tidak boleh mengkhianati Ki Saba Lintang. Kepada kalian berdua banyak orang menggantungkan harapannya.” “Kakang, aku sudah terlanjur berdiri di tempat yang paling buruk. Apapun yang aku lakukan akan merupakan pengkhianatan. Jika aku meninggalkan Ki Saba Lintang, berarti mengkhianatinya. Tetapi jika aku tetap bersamanya, maka aku telah mengkhianati kebenaran dan budi baik, serta berkhianat pula kepada orang tuaku sendiri.” “Kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng?” “Apakah ini terjadi tiba-tiba? Bukankah di masa kecil Kakang selalu mengatakan bahwa aku adalah anak cengeng yang manja?” Wajah Suranata menjadi panas. Ia memang tidak mengira bahwa adiknya telah menemukan satu sikap yang mapan di dalam hatinya Meskipun demikian, Suranata masih mempunyai pertimbangan, bahwa Dwani tidak dapat berkata lain karena di tempat itu ada ayahnya. Apalagi ada Nyi Lurah Agung Sedayu pula. Karena itu, maka Suranata pun merasa tidak akan ada artinya untuk berbicara lebih panjang. Pada kesempatan lain, ia ingin bertemu dan berbicara dengan adiknya itu. “Baiklah, Dwani,” berkata Suranata kemudian, “aku akan minta diri.” “Maaf Kakang. Aku sudah mengambil sikap. Jika Kakang masih berada bersama Ki Saba Lintang, maka kita akan berdiri berseberangan.” Suranata menggeram. Tetapi ia tidak menyahut. “Apakah kau sudah puas, Suranata?” bertanya Empu Wisanata. Suranata memandang ayahnya dengan sorot mata penuh kebencian. Tetapi ia pun kemudian melangkah keluar dari bilik itu. Namun Suranata sempat memandang Rara Wulan sekilas. Tetapi yang sekilas itu telah membuat jantung Rara Wulan berdebaran. Sejenak kemudian Suranata itu sudah duduk lagi di pendapa bersama ayahnya, Ki Jayaraga dan saudara seperguruannya. Tetapi tidak terlalu lama. Suranata yang nampak sangat gelisah itu pun kemudian telah minta diri kepada ayahnya dan kepada Ki Jayaraga. Bahkan Suranata sempat mengancam ayahnya. “Aku akan kembali Ayah,” berkata Suranata, “apapun yang terjadi, aku akan mengambil Dwani. Ia harus dibebaskan dari tekanan batin. Sikap Ayah tentu sangat menyiksanya.” “Kau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh Dwani, Suranata.” “Dwani tentu saja tidak dapat berbicara dengan bebas. Ayah menunggui pembicaraan kami. Demikian pula kedua orang perempuan itu.” “Jika aku biarkan kau berbicara tanpa ditunggui orang lain, kau akan membunuh adikmu.” “Aku tidak gila, Ayah!” Suranata hampir berteriak, “Aku datang untuk membebaskan adikku. Bukan untuk membunuhnya.” “Jika ia tidak mau menuruti kemauanmu, maka kau tentu akan membunuhnya pula. Jika kau sudah menganggap ayahmu orang lain, apalagi adikmu.” “Aku mengasihinya, Ayah, lebih dari saudaraku yang lain.” “Kau mengasihinya jika ia mau menuruti kemauanmu. Tentu demikian pula terhadap saudaramu yang lain.” Wajah Suranata menjadi tegang. Katanya kemudian, “Apapun yang Ayah katakan, aku tidak peduli. Aku sudah bertekad, untuk berkumpul bersama kedua saudaraku. Terserah Ayah akan berdiri di sisi yang mana. Apakah Ayah akan memusuhi kami, atau Ayah akan berdiri bersama kami.” “Aku-lah yang berhak berkata seperti itu. Aku berdiri di sini sekarang bersama Dwani. Terserah kepadamu, Di sisi mana kau akan berdiri.” Suranata menghentakkan tangannya. Kepada saudara seperguruannya ia berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Jika aku terlalu lama berada di sini, maka aku akan dapat menjadi gila.” “Kau sudah gila, Suranata,” sahut ayahnya. “Tidak!” Suranata berteriak, “Ayah-lah yang sudah gila!” Tetapi Empu Wisanata justru tersenyum. Katanya, “Aku akan berdoa untukmu, semoga kau mendapat terang di hatimu.” “Cukup!” bentak Suranata yang tiba-tiba saja bangkit, dan berkata kepada saudara seperguruannya, “Marilah kita pergi!” Saudara seperguruan Suranata itu pun segera bangkit pula. Tanpa minta diri ia pun kemudian melangkah pergi meninggalkan pendapa rumah Agung Sedayu itu. Empu Wisanata dan Ki Jayaraga mengikuti mereka sampai di pintu regol. Tetapi keduanya sama sekali tidak berpaling. “Ayahmu memang gila,” geram saudara seperguruan Suranata, “jika saja ia bukan ayahmu.” “Tetapi sebaiknya kau memang tidak membalas,” berkata Suranata, “Ayah memang berilmu sangat tinggi. Tetapi aku yakin, Ayah tidak akan dapat mengalahkan kita berdua. Kita hanya memerlukan kesempatan. Aku benar-benar akan mengambil Dwani.” “Tugas yang dibebankan kepada adik perempuanmu itu telah gagal. Jika saja kau dan Ki Saba Lintang malam itu membantunya.” “Ki Saba Lintang mencegahkan. Apalagi setelah Ki Lurah dan Nyi Lurah pulang.” Saudara seperguruan Suranata itu mengangguk-angguk. Ia pun sudah mendengar tentang beberapa orang yang berilmu tinggi yang tinggal di rumah itu. Masih belum terhitung kemungkinan hadirnya para pengawal yang jumlahnya tentu sangat banyak. Meskipun demikian, Suranata masih berpengharapan untuk mengambil adik perempuannya itu. Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga masih berdiri di regol halaman rumah Agung Sedayu. Wajah Empu Wisanata nampak muram. Dengan nada rendah ia berkata, “Ternyata Suranata juga bergabung dengan Saba Lintang.” Katanya selanjutnya, “Agaknya ia juga berharap Dwani mampu memimpin perguruan Kedung jati yang akan disusun kembali itu.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ketika aku melihat Nyi Dwani pertama kali, aku terkejut. Gambaranku tentang Nyi Dwani sangat berbeda dengan kenyataannya.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya, Dipandanginya Ki Jayaraga dengan tajamnya. “Apa yang tidak sesuai.?” “Maaf Empu. Semula aku kira Nyi Dwani itu seorang yang sedikit lebih tua. Namun yang penting, aku mengira bahwa Nyi Dwani adalah seorang perempuan yang sudah matang di dalam sikap dan pendirian. Ternyata Nyi Dwani masih belum menemukan dirinya.” “Ki Jayaraga benar,“ Empu Wisanata mengangguk-angguk, “Dwani memang belum menemukan dirinya. Tetapi mudah-mudahan pengalaman yang keras ini akan dapat membantu mematangkan jiwanya, sehingga Dwani akan merupakan satu pribadi yang masak.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi mungkin justru karena itu, beberapa orang mendukungnya untuk bersama-sama Ki Saba Lintang memegang pimpinan dalam perguruan yang akan disusun kembali itu.” “Kenapa?” “Dengan sikapnya yang masih belum masak itu, maka Nyi Dwani akan dapat dikendalikan oleh beberapa orang untuk kepentingan mereka. Bahkan aku juga menjadi curiga bahwa Ki Saba Lintang juga masih mentah, sehingga ia pun tidak mampu menentukan sikap sendiri.” “Ya aku tahu Saba Lintang adalah orang yang licik. Ia akan dapat menempuh segala cara untuk mencapai tujuannya” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Ya. Agaknya memang demikian. Karena itu maka ia tidak segan-segan menculik Rara Wulan.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku adalah ayah yang malang. Tetapi aku tidak dapat hanya menyalahkan anak-anakku. Mungkin aku memang meletakkan dasar yang salah pada saat anak-anakku mulai tumbuh dan berkembang. Atau bahkan sebaliknya, aku sama sekali tidak mempedulikan anak-anakku. Aku terlalu tekun menempa diri. Aku berhasil menguasai ilmu yang aku inginkan sebagaimana aku miliki sekarang. Tetapi aku justru tidak berhasil memiliki hati anak-anakku. Satu-satu mereka terlepas. Aku hanya berharap mudah-mudahan Dwani masih dapat aku kejar dan aku tangkap kembali.” Ki Jayaraga memandang wajah Empu Wisanata yang menjadi. sayu. “Sudahlah, marilah duduk di pringgitan.” Keduanya kemudian naik ke pendapa. Sementara itu Ki Wijil dan Nyi Wijil keluar pula dari ruang dalam dan duduk bersama mereka di pringgitan. “Aku mendengar derap kaki kuda mereka,” desis Nyi Wijil, “nampaknya mereka tidak turun dari punggung kudanya hingga di halaman rumah ini. Bukankah ketika mereka datang, mereka tidak mau turun dari kudanya sampai ke tangga pendapanya?” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Aku-lah yang harus minta maaf, karena mereka adalah tamuku.” “Bukan itu yang aku maksud, Empu. Tetapi sudah demikian jauhnya kedua orang itu meninggalkan adat kebiasaan kita. Tentu bukan Empu yang mengajarinya. Tetapi sifat seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan rumah dan keluarganya, lingkungan perguruan dan padepokannya, serta lingkungan pergaulannya.” Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, Aku sependapat Nyi Wijil. Anakku itu sudah tidak lagi mau mendengar kata-kataku. Bahkan saudara seperguruannya itu telah menghina aku pula.” “Anak Empu itu sudah direnggut oleh lingkungan pergaulannya dari tangan Empu.” “Dan aku tidak mampu mempertahankannya,“ Empu Wisanata itu menundukkan kepalanya. Suaranya menjadi semakin rendah, “Dwani-lah kini yang tersisa.” Ki Wijil dan Nyi Wijil tidak membicarakan kedua orang itu lebih jauh. Mereka tahu bahwa hati Empu Wisanata telah terluka karena tingkah laku anak-anaknya. Namun ketika seisi rumah itu kemudian duduk di ruang dalam di saat makan malam, mereka telah membicarakan kehadiran kedua orang itu lagi. Agung Sedayu yang ada di antara mereka mendengarkan dengan seksama cerita kehadiran anak Empu Wisanata itu. “Agaknya anak Empu Wisanata itu bersungguh-sungguh. Tetapi Empu Wisanata juga harus memikirkan keselamatan Nyi Dwani. Jika Nyi Dwani itu sudah memantapkan tekadnya dan dengan sungguh-sungguh tidak mau bekerja sama lagi dengan Ki Saba Lintang dan saudara laki-lakinya itu, maka nyawanya terancam. Dia mengetahui tentang gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, meskipun sampai sekarang Nyi Dwani masih belum banyak bercerita.” Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya Suranata akan sampai hati melakukannya, sebagaimana ia memperlakukan aku. Ia dapat menganggap aku orang lain. Tentu ia dapat pula menganggap Dwani orang lain yang harus dimusnahkan.” “Satu tugas khusus bagi Empu Wisanata.” Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak saja ditinggalkan oleh anak-anakku. Tetapi anak-anakku itu akan saling bermusuhan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang Ki Jayaraga yang juga merasa gagal mengasuh murid-muridnya. Tidak seorang pun dari murid-muridnya yang memenuhi harapannya. Karena itulah ia telah memungut Glagah Putih menjadi muridnya. Ki Jayaraga sengaja mengambil murid seseorang yang pribadinya sudah terbentuk. Dengan demikian maka Ki Jayaraga dapat mempercayainya, bahwa muridnya yang baru itu tidak akan menempuh jalan yang sesat. Justru karena itu, Ki Jayaraga telah mewariskan puncak ilmunya kepada Glagah Putih itu. Untuk beberapa lama mereka masih berbincang tentang Suranata dan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Gerakan yang nampaknya mempunyai sayap yang sangat luas. “Tetapi apakah Empu Wisanata yakin, bahwa Ki Saba Lintang adalah benar-benar orang yang memegang pimpinan tertinggi dalam gerakan itu?” bertanya Agung Sedayu. “Menurut gelar lahiriahnya memang demikian, Ki Lurah. Tetapi aku tidak yakin, apakah tidak ada orang yang mempunyai pengaruh lebih besar dari Saba Lintang. Bahkan orang yang mempunyai pengaruh sangat besar atas Saba Lintang, sehingga Saba Lintang sendiri tidak lebih dari sekeping wayang yang digerakkan oleh seorang dalang.” “Bukankah untuk beberapa lama Empu bersama dengan Nyi Dwani dan Ki Saba Lintang?” “Ya,” jawab Empu Wisanata, “tetapi aku adalah orang yang seakan-akan berdiri di luar lingkaran.” “Meskipun demikian, Empu tentu dapat melihat serba sedikit.” “Ya. Justru karena yang sedikit itulah aku dapat mengatakan, bahwa Saba Lintang agaknya tidak lebih dari sekeping wayang kulit yang digerakkan oleh seorang dalang. Di dalam gerakan itu, banyak terdapat orang-orang yang berilmu lebih tinggi dari Saba Lintang. Tetapi karena Saba Lintang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati, maka orang-orang itu telah menempatkan Saba Lintang pada pimpinan tertinggi. Apalagi jika Saba Lintang mampu mendapatkan tongkat yang satu lagi. Maka berdua dengan Dwani, ia akan diakui sebagai pimpinan tertinggi mereka.” “Apakah Ki Saba Lintang sendiri tidak menyadari, bahwa ia pada saatnya akan menjadi semacam benda permainan dari orang-orang berilmu tinggi itu?” “Tetapi Saba Lintang adalah orang yang cerdik, licik dan menganggap semua cara dapat ditempuh untuk mencapai tujuan. Ia menyadari bahwa pada saatnya dirinya akan terinjak. Tetapi sejak sekarang ia sudah mempersiapkan kemungkinan adanya pertentangan yang setiap saat akan dapat membakar hubungan yang seorang dengan yang lain. Jika satu demi satu mereka bertengkar dan saling membunuh di antara orang-orang yang berilmu sangat tinggi itu, maka akhirnya ia sendiri-lah yang akan tinggal.” “Mengadu domba?” “Itu adalah rencana yang dipersiapkan. Aku tidak tahu apakah ia akan berhasil atau tidak.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata yang dihadapinya adalah suatu gerakan yang luas, yang mempunyai banyak kepentingan yang untuk sementara dapat dipersatukan. Bagi Tanah Perdikan Menoreh, mempertahankan diri dari serangan kekuatan dari luar lingkungannya bukan baru akan dihadapi untuk yang pertama kali. Bahkan gejolak dari dalam yang membakar Tanah Perdikan itu pun pernah terjadi. Selama ini Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mengatasi segala macam kesulitan yang timbul dari luar maupun dari dalam itu. Meskipun demikian, bahaya yang dihadapi Tanah Perdikan pada waktu itu adalah bahaya yang sungguh-sungguh. Karena itu, maka tanah perdikan pun harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Sejak hari itu, Tanah Perdikan Menoreh benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu, Empu Wisanata pun tidak lagi berani terlalu lama meninggalkan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. Bahkan Nyi Dwani sudah dapat bangkit dari pembaringannya dan duduk di ruang dalam. Dari hari ke hari, Empu Wisanata tidak henti-hentinya memberi petunjuk-petunjuk kepada anak perempuannya yang masih dapat diharapkannya. Dengan terus terang Empu Wisanata itu pun berkata, “Kau adalah satu-satunya anak yang masih dapat aku harapkan, Dwani.” Nyi Dwani mengangguk kecil. “Kakakmu Suranata, sama sekali sudah tidak dapat aku harapkan lagi. Ia benar-benar sudah menganggap aku orang lain. Selama ia masih dapat mengharap kau bersedia bekerja bersamanya, maka ia masih dapat mengatakan bahwa kakakmu itu sangat mengasihimu. Tetapi jika kau tidak lagi bersedia memenuhi keinginannya, maka persoalannya akan bergeser. Kau tidak akan berarti lagi baginya. Mungkin ia tidak lagi memedulikanmu. Tetapi mungkin ia dapat berbuat lebih buruk dari itu.” “Aku mengerti Ayah,” sahut Nyi Dwani. “Karena itu, kau harus berhati-hati, Dwani. Satu ketika Rara Wulan telah mereka culik. Pada saat lain, kakakmu dan Ki Saba Lintang akan dapat menjemputmu dengan paksa.” “Ya, Ayah.” “Karena itu, kita harus menjadi semakin berhati-hati. Kita adalah orang-orang khusus di rumah ini. Sementara itu, kita pun selalu dibidik oleh para pengikut Saba Lintang, dan bahkan oleh kakakmu sendiri. Aku tidak tahu, apakah kakak perempuanmu juga berada di lingkungan para pengikut Saba Lintang atau tidak. Jika ia ada di antara mereka, maka pada satu saat ia tentu juga akan datang menemui aku dan kau.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Terbayang wajah kakak perempuannya, yang sejak kecil seakan-akan memusuhinya. Jika keduanya mendapat sepotong makanan yang sama, maka kakak perempuannya itu selalu minta sedikit dari bagiannya itu. Jika ia keberatan, maka kakak perempuannya itu mencubitnya. Jika mereka berdua bermain-main, maka Dwani tidak lebih dari seorang budak yang harus melayani kakak perempuannya itu. Dwani sendiri tidak sempat ikut bermain. Tetapi menurut pengetahuan Nyi Dwani, kakak perempuannya tidak bergabung dengan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Tetapi itu belum menjamin bahwa kakak perempuannya memang tidak melibatkan diri. Sebagaimana kakak laki-lakinya, ternyata Nyi Dwani juga tidak mengetahui bahwa ia berada di dalam lingkungan gerakan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu pula. Bahkan tidak mustahil bahwa Suranata akan menghubungi kakak perempuan Nyi Dwani untuk membujuknya. Dalam pada itu, Sekar Mirah pun menjadi gelisah pula. Bukan karena ia menjadi ngeri terhadap ancaman yang setiap saat seperti banjir bandang melanda Tanah Perdikan itu. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa kehadirannya di Tanah Perdikan itu merupakan salah satu sebab dari kemelut yang terjadi di Tanah Perdikan itu. “Bukan karena tongkat baja putihmu,” desis Agung Sedayu setiap kali. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat melepaskan perasaannya itu. ”Mereka memburu tongkat baja itu, Kakang.” “Ada atau tidak ada, mereka akan menyerang Tanah Perdikan ini sebagaimana Macan Kepatihan menyerang Sangkal Putung waktu itu. Soalnya bukan tongkat baja putih itu. Tetapi tanah ini akan menjadi landasan yang baik bagi mereka.” Sekar Mirah memang mencoba untuk mengerti. Tetapi bayangan-bayangan buram tentang tongkat baja putihnya itu sulit untuk disisihkannya. “Kakang, apakah tongkat itu sangat berharga untuk dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa sekian banyak orang?” “Tongkat itu bagi mereka adalah lambang kepemimpinan,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi bagiku tongkat itu tidak lebih dari senjata biasa. Senjata itu memang begitu akrab dengan ilmuku. Tetapi menurut pendapatku, aku akan dapat mempergunakan senjata lain yang bagiku akan mempunyai nilai yang sama dengan tongkat baja putih itu. Karena menurut pendapatku, kemampuanku sama sekali tidak tergantung pada senjata itu.” “Aku mengerti, Mirah. Tetapi senjata itu tidak boleh lepas dari tanganmu. Bukan karena tuahnya. Tetapi segala-galanya tongkat itu sudah mapan dan sangat sesuai dengan ilmumu. Kau mengenal tongkat itu seperti kau mengenali anggota tubuhmu sendiri. Panjangnya, beratnya, besarnya sudah mapan. Tidak ada senjata yang lebih sesuai dari tongkat baja itu bagimu, Mirah.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia memang harus mengakui, bahwa tongkat itu rasa-rasanya sudah seperti bagian dari tangannya sebagaimana jari-jarinya. “Lebih dari itu Mirah, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai tongkat baja putih itu, maka ia akan menjadi semakin kokoh. Itu akan sangat berbahaya bagi kita semuanya,” berkata Agung Sedayu selanjutnya. Sekar Mirah itu mengangguk-angguk. “Kecuali jika ada jaminan bahwa setelah tongkat baja putih itu berada di tangannya ia tidak akan mengancam Tanah Perdikan ini, kita baru dapat mempertimbangkannya. Sekali lagi, mempertimbangkannya. Sedangkan keputusannya pun ada beberapa kemungkinan yang satu sama lain dapat bertentangan.” Sekar Mirah masih mengangguk-angguk. “Baiklah Mirah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “lupakan beban itu. Kau tidak perlu memikulnya, karena kau memang tidak seharusnya mendapat beban itu.” “Aku akan mencoba, Kakang.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau tidak hanya harus mencoba. Tetapi kau harus melakukannya.” “Aku lupa bahwa aku berbicara dengan seorang prajurit.” Agung Sedayu tertawa sambil bertanya, “Kenapa dengan seorang prajurit?” Sekar Mirah tidak menjawab.. Tetapi ia pun tertawa pula. Dalam pada itu, semua peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu selalu dilaporkan langsung kepada Ki Patih Mandaraka. Agung Sedayu setiap kali pergi menghadap sebagaimana diperintahkan oleh Ki Patih sendiri. Jika bukan Agung Sedayu yang memberikan laporan, maka Ki Patih-lah yang telah memberikan beberapa keterangan berdasarkan laporan para petugas sandi. “Dendam yang masih tersimpan di Jipang, Demak dan Pati seakan-akan telah terungkit dalam waktu yang bersamaan,” berkata Ki Patih. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun mendapat gambaran bahwa gerakan itu adalah gerakan yang besar. Namun ia pun menjadi semakin yakin, bahwa Ki Saba Lintang tidak akan mampu menguasai gerak itu sepenuhnya. Meskipun demikian, Ki Saba Lintang itu memiliki bekal kecerdikan, tetapi juga kelicikan. Agaknya ia sudah mempunyai rencana, apa yang akan dilakukannya setelah gerombolan itu berhasil membuat landasan di Tanah Perdikan Menoreh, atau justru setelah selangkah lebih maju lagi. Ketika pada suatu kali Agung Sedayu menghadap Ki Patih, maka Ki Patih itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut pendapatku, Ki Saba Lintang tidak sejak semula mempunyai rencana yang demikian besar. Agaknya niat Ki Saba Lintang memang hanya ingin menyusun kembali sebuah perguruan yang beralaskan pecahan perguruan Kedung Jati. Ki Saba Lintang itu semula tidak bermimpi untuk sampai ke Mataram, meskipun ia tentu sudah mempersiapkan perlawanan jika rencananya akan membentur kekuasaan Mataram. Tetapi dalam perkembangannya kemudian, beberapa unsur yang lain telah bergabung dengan mengemban niat masing-masing, sehingga akhirnya gerakan itu menjadi luas. Namun warnanya tidak lagi senada. Meskipun demikian, mula-mula mereka akan dapat bekerja bersama-sama.” Agung Sedayu mengangguk mengiakan. “Agung Sedayu,” berkata Ki Patih kemudian, “satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa para petugas sandi yang tersebar di sekitar Pegunungan Kendeng melihat gerak kelompok besar dan kecil ke arah barat. Mereka agaknya akan melingkari Gunung Merbabu. Mereka agaknya akan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dari arah barat dari utara. Karena itu, awasi arah itu lebih cermat dari arah yang lain.” “Kami akan melakukannya, Ki Patih.” “Kelompok-kelompok yang bergerak ke barat dari Pegunungan Kendeng dan sekitarnya itu, akan merupakan kekuatan yang sangat besar. Di antara mereka tentu orang-orang yang menyimpan dendam di dalam hati. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menyesuaikan diri dengan gerak jamannya yang berubah.” “Ya, Ki Patih.” “Tetapi di atas mereka adalah orang-orang yang tamak, yang mempunyai nafsu yang sangat besar untuk mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi.” Masih banyak lagi pesan yang diberikan kepada Agung Sedayu untuk menghadapi gerakan yang semakin lama menjadi semakin besar itu. Sementara itu kecurigaan terhadap istri Agung Sedayu telah menyusut, dan bahkan telah larut. Meskipun Nyi Lurah Agung Sedayu itu memiliki. satu dari sepasang lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati, namun nampaknya Nyi Lurah itu sama sekali tidak tertarik untuk memanfaatkannya lewat jalur yang tidak sewajarnya. Ketika Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan, maka ia pun telah menugaskan beberapa orang prajurit-prajurit pilihan untuk melakukan tugas sandi, mengamati lingkungan di sebelah barat dan utara Tanah Perdikan Menoreh. “Kau dapat melakukan tugas kalian di luar Tanah Perdikan. Berhati-hatilah,” pesan Agung Sedayu, “kita menghadapi kekuatan yang besar dan sebarannya luas sekali. Sedangkan sebagian dari mereka diduga terdiri dari bekas-bekas prajurit Pati, Demak dan Jipang, yang kecewa terhadap perkembangan keadaan sejak gugurnya Arya Penangsang, tersingkirnya pemerintahan Demak di Pajang, serta pecahnya Kadipaten Pati.” Dengan demikian, maka beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah menyebar. Mereka bergerak ke sebelah barat pegunungan, dan yang lain bergerak ke utara. Sementara itu, persiapan di Tanah Perdikan Menoreh pun menjadi semakin matang. Para pengawal telah memanfaatkan waktu yang ada untuk meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan hampir setiap laki-laki di Tanah Perdikan yang masih merasa mampu untuk bertempur, telah mempersiapkan diri pula. Dalam pada itu, para penghuni Tanah Perdikan itu telah memperkokoh dinding-dinding padukuhan serta pintu-pintu gerbang. Kentongan pun tergantung di mana-mana. Setiap padukuhan mempunyai pertanda isyaratnya masing-masing, sehingga jika terdengar suara kentongan, akan segera diketahui sumbernya. Senjata yang dipersiapkan bukan hanya pedang dan tombak. Tentu juga busur, anak panah dan lembing. Beberapa hari kemudian, Agung Sedayu pun telah menerima laporan dari salah seorang prajuritnya yang ditugaskannya mengamati keadaan di sebelah barat pegunungan. “Kami melihat ada gerakan di daerah Pucang Kerep. Nampaknya ada gejolak di permukaan. Meskipun masih belum jelas, tetapi ada kekuatan yang tersusun di daerah itu. Bahkan sebagian dari mereka berhasil menyusup di antara orang-orang yang menghuni daerah itu.” “Maksudmu?” “Dengan uang dan harapan-harapan, mereka dapat tinggal di rumah-rumah penduduk. Agaknya mereka masih sedang bersiap-siap untuk menyusun satu kekuatan yang akan bergerak ke timur, melintasi pegunungan dan memasuki Tanah Perdikan.” “Mereka cukup berhati-hati,” berkata Agung Sedayu kemudian, “mereka mengambil ancang-ancang di tempat yang cukup jauh. Tetapi justru karena itu, arus serangan mereka akan menjadi sangat berbahaya.” “Kekuatan yang ada di Pucang Kerep itu nampaknya memang berbahaya, Ki Lurah,” petugas sandi itu menjelaskan. “Baiklah. Awasi mereka. Kita masih menunggu laporan dari utara.” Berbeda dengan segerombolan orang yang berada di sisi barat, maka segerombolan orang yang berada di sisi utara telah membuat perkemahan di hutan kecil di tempuran Kali Elo dan Kali Praga. Tetapi menurut laporan petugas sandi, gerombolan yang ada di sebelah utara itu tidak kalah berbahayanya. Mereka seolah-olah sedang menimbun kekuatan air di bendungan. Jika bendungan itu pecah, maka arus airnya akan menyapu apa saja yang menghalanginya. Selain laporan dari petugas sandi tentang kekuatan yang sedang disusun di Pucang Kerep, ternyata di Krendetan juga terdapat sekelompok orang, yang nampaknya juga bagian dari gerombolan yang sama dengan gerombolan yang berada di Pucang Kerep. “Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “para peronda di perbatasan agar menjadi lebih berhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak ke dalam perangkap gerombolan itu.” Dengan demikian, Tanah Perdikan itu pun telah berada dalam kesiagaan yang tertinggi. Demikian pula para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan. Bahkan Ki Patih telah memerintahkan sebagian prajurit Mataram yang berada di Ganjur untuk bergabung dengan pasukan yang berada di Tanah Perdikan Menoreh di bawah pimpinan Agung Sedayu. Demikianlah, dari hari ke hari kekuatan yang bertimbun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di hutan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga menjadi semakin besar jumlahnya. Laporan yang disampaikan ke Mataram pun menjadi semakin sering, sehingga Ki Patih Mandaraka tidak ketinggalan dengan perkembangan keadaan. Dalam gejolak yang semakin panas itu, Ki Tumenggung Wirayuda telah datang ke barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu untuk bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu. “Dalam tiga hari ini akan datang berturut-turut lima belas orang prajurit sandi terpilih. Mereka akan menyebar di sekitar Tanah Perdikan ini untuk menilai kekuatan lawan,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda. “Terima kasih Ki Tumenggung,” jawab Agung Sedayu. “Aku sendiri akan berada di sini.” Sebenarnyalah dalam waktu tiga hari, lima belas orang prajurit dari pasukan sandi telah berada di Tanah Perdikan. Mereka memperkuat pasukan sandi yang sudah ada di Tanah Perdikan. Bahkan mereka adalah prajurit dari pasukan sandi yang dilatih secara khusus untuk menjalankan tugasnya. Dari para petugas sandi, baik yang berasal dari para pengawal Tanah Perdikan, dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, maupun para petugas yang datang kemudian setelah Ki Tumenggung Wirayuda berada di Tanah Perdikan, telah memberikan laporan bahwa persiapan dari gerombolan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga, telah meningkatkan kesiagaan mereka. Agaknya tidak lama lagi mereka akan segera menyerang. Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi gelisah mendengar kemungkinan itu. Banyak kemungkinan dapat terjadi atas diri mereka. Jika orang-orang Tanah Perdikan itu kurang ikhlas menerima kehadiran mereka, maka nasib mereka akan menjadi kurang baik. Sebaliknya, jika Ki Saba Lintang berhasil menguasai Tanah Perdikan, nasib mereka pun akan tidak menentu. Dalam kegelisahan itu, ternyata yang dicemaskan Empu Wisanata itu pun terjadi. Menjelang tengah hari, dua ekor kuda berhenti di depan regol halaman rumah Agung Sedayu. Seorang laki-laki dan seorang perempuan turun dari kuda mereka dan menuntun kuda mereka memasuki halaman. Sukra berdiri di pintu seketheng melihat keadaan kedua orang itu. Dengan tergesa-gesa ia pun mendekatinya sambil bertanya, “Siapakah yang kalian cari?” Perempuan yang datang itu dengan ramah menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Empu Wisanata. Apakah Empu ada di rumah?” “Ada. Marilah. Silakan naik.” “Terima kasih,” jawab perempuan itu.. Sukra pun kemudian telah masuk kembali melalui butulan, untuk menemui Empu Wisanata yang duduk di serambi bersama Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani yang sudah menjadi semakin baik. “Ada tamu, Empu.” “Siapa, Sukra?” “Aku belum mengenal mereka. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Yang perempuan berpakaian rapi dan berhias seperti akan pergi menghadiri upacara pernikahan. Yang laki-laki agaknya pernah datang kemari, tetapi entahlah.” Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi berdebar-debar. Namun kemudian Empu Wisanata itu pun bangkit berdiri sambil berkata kepada Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani, “Marilah. Kita temui mereka.” Keempat orang itu pun kemudian telah keluar lewat pintu pringgitan untuk menemui tamu yang duduk di pendapa. Demikian mereka keluar dari pintu pringgitan. Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun terkejut. Laki-laki dan perempuan itu adalah Ki Saba Lintang sendiri, serta Nyi Yatni. Dalam pada itu, dengan serta-merta Nyi Yatni itu pun langsung berjongkok di depan Empu Wisanata sambil memeluk kakinya. Dengan sendat Nyi Yatni itu berdesis, “Ampuni aku, Ayah.” Jantung Empu Wisanata rasa-rasanya menjadi semakin cepat berdetak. Diangkatnya bahu anak perempuannya agar Nyi Yatni itu berdiri. “Kenapa kau minta ampun kepada ayahmu?” bertanya Empu Wisanata. “Aku telah meninggalkan Ayah begitu saja.” “Kenapa kau meninggalkan aku, Yatni?” bertanya Empu Wisanata pula. “Hatiku gelap pada waktu itu, Ayah.” “Sekarang kau mendapat terang di hatimu?” “Ya. Aku mohon Ayah mengampuniku.” “Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandangnya Ki Saba Lintang yang berdiri tegak seperti tiang-tiang pendapa itu. Namun kemudian meskipun dengan bimbang dan ragu Empu Wisanata itu pun berkata, “Aku ampuni kau, Yatni.” “Terima kasih Ayah. Terima kasih.” Nyi Yatni pun kemudian berlari mendapatkan adiknya. Dipeluknya Nyi Dwani sambil berkata, “Senang sekali melihat keadaanmu, Dwani. Agaknya kau sudah sembuh.” “Ya, Mbokayu,” jawab Nyi Dwani. Nyi Yatni pun kemudian melepaskan Nyi Dwani. Ditatapnya perempuan itu sambil memegangi kedua lengannya. Katanya, “Syukurlah, Dwani. Jika kau sudah sembuh, maka kita akan dapat pergi bersama-sama. Bahkan bersama-sama dengan Ayah.” “Pergi ke mana, Mbokayu?” bertanya Nyi Dwani. “Terserah kepada Ayah. Aku sudah bertekad untuk kembali kepada Ayah.” Tetapi Empu Wisanata pun berkata, “Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Yatni.” Nyi Yatni tersenyum. Katanya, “Ayah memang suka bergurau sejak mudanya. Bukankah kau ingat itu Dwani?” “Tetapi kali ini aku sama sekali tidak bergurau, Yatni. Aku berkata dengan sungguh-sungguh. Biarlah Ki Saba Lintang mendengarnya Aku sudah tidak lagi ingin bergabung dengan Ki Saba Lintang. Demikian pula Dwani. Terserah kepadamu dan kepada Suranata. Bukankah kalian sudah dapat mengambil sikap sendiri?” “Ah, Ayah. Aku datang untuk mohon maaf.” Empu Wisanata termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anak perempuannya itu. Wajahnya nampak cerah. Senyumnya tidak lepas dari bibirnya. “Duduklah,” berkata Empu Wisanata kemudian. Nyi Yatni pun kemudian berpaling kepada Ki Saba Lintang. Ditariknya tangan Ki Saba Lintang untuk duduk bersamanya. Dengan manja Nyi Yatni itu pun berkata, “Marilah duduk Kakang.” Ki Saba Lintang tersenyum. Ia pun kemudian duduk di sebelah Nyi Yatni. “Ayah,” berkata Nyi Yatni kemudian, “aku telah mendengar bahwa Ayah dan Dwani telah bergabung dengan Kakang Saba Lintang. Demikian pula Kakang Suranata. Karena itu, maka aku datang menemui Ayah. Aku menyesali tingkah laku-ku selama ini karena aku telah meninggalkan Ayah. Ayah tentu selalu cemas dan bahkan mungkin bersedih. Nah, karena itulah, maka sekarang aku kembali kepada Ayah, dan ingin bersama-sama Ayah berada di dalam satu perjuangan, dalam kesatuan yang dipimpin oleh Kakang Saba Lintang.” “Yatni, jangan mengigau seperti itu. Kau tahu di mana aku sekarang ini berada. Kau tentu sudah tahu pula, di mana aku sekarang berdiri.” Sambil memandang Ki Wijil dan Nyi Wijil, Nyi Yatni itu pun berkata, “Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak tidak akan berkeberatan untuk membiarkan Ayah dan Dwani pergi?” Ki Wijil itu pun menjawab, “Tentu tidak Ngger. Jika Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan pergi, aku sama sekali tidak merasa berkeberatan.” Jawaban itu terdengar aneh di telinga Nyi Yatni. Ia mengira bahwa jawaban yang akan didengarnya adalah berlawanan dengan jawaban itu. Namun Nyi Yatni itu pun berkata, “Nah, bukankah Ayah dapat pergi ke mana saja Ayah inginkan? Ayah di sini bukan tawanan. Bukan pula orang hukuman.” Empu Wisanata justru tersenyum mendengar jawaban Ki Wijil. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tidak seorang pun akan berkeberatan jika aku pergi. Tetapi aku memang tidak ingin pergi. Aku ingin tetap tinggal di sini, karena aku dan Dwani kerasan tinggal di sini.” Kening Nyi Yatni berkerut. Tetapi kemudian senyumnya nampak lagi di bibirnya, “Ayah. Jika Ayah dan Dwani bersedia pergi bersama kami, maka masa depan kita sekeluarga akan menjadi cerah. Aku akan menemui Kakang Suranata dan memanggilnya untuk menyatu kembali. Keluarga kita akan utuh, sementara itu kita masing-masing akan mendapat tempat yang baik di dalam lingkungan kesatuan Kakang Saba Lintang.” Kemudian sambil berpaling kepada Ki Saba Lintang, Nyi Yatni itu berkata sambil tersenyum, “Bukankah begitu, Kakang? Kenapa kau hanya diam saja? Bantulah aku meyakinkan Ayah dan Dwani.” Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Sebenarnyalah kami sangat mengharap kehadiran Empu Wisanata dan Nyi Dwani.” “Nah, Ayah dengar? Kita akan dapat menjadi pemimpin yang baik di dalam kesatuan Kakang Saba Lintang. Apalagi jika Dwani berhasil mendapatkan tongkat baja putih, pasangan tongkat baja putih yang sudah dimiliki Kakang Saba Lintang, yang akan diberikan kepadaku. Aku dan Kakang Saba Lintang akan menjadi pasangan yang paling serasi untuk memimpin kesatuan yang besar, yang kelak akan menggulung Tanah Perdikan ini.” Wajah Nyi Dwani menjadi merah. Jantungnya serasa disuluti dengan api. Namun Empu Wisanata pun kemudian tertawa. Katanya, “Ki Saba Lintang tidak akan dapat berkata apa-apa di sini. Aku tahu betapa liciknya orang yang memiliki tongkat baja putih yang menjadi lambang kepemimpinan perguruan Kedung jati.” “Ayah jangan berprasangka buruk. Kakang Saba Lintang yakin bahwa aku dapat mendampinginya. Apalagi jika tongkat baja putih yang satu lagi sudah ada di tanganku.” “Jadi kau ingin Dwani mengambil tongkat itu untukmu?” “Ya. Tetapi Dwani sudah gagal. Bahkan Ayah sampai hati untuk berusaha membunuhnya. Namun ternyata nyawa Dwani memang liat.” “Cukup!” bentak Nyi Dwani, “Aku muak mendengar dan melihat permainan yang kotor ini.” “Dwani. Kenapa kau?” “Aku tidak mau mendengar bualanmu lagi Mbokayu. Pergilah bersama Kakang Saba Lintang, sebelum aku memukul isyarat. Dengan isyarat itu, kalian tidak akan dapat lolos dari tangan para pengawal Tanah Perdikan ini.” “Aku yakin bahwa orang-orang Tanah Perdikan tidak akan berbuat selicik itu,” berkata Nyi Yatni, “kami hanya berdua. Kami tidak datang menyerang Tanah Perdikan ini. Kami justru datang untuk menemui ayah dan kau, Dwani.” “Pergilah! Semakin cepat semakin baik.” “Kenapa aku harus segera pergi? Sedangkan kedua orang tua suami istri ini, yang agaknya termasuk orang penting di Tanah Perdikan ini saja tidak mengusirku.” “Permainan kalian sangat kasar. Kalian tidak berhasil menyakiti hatiku. Tetapi kalian membuat aku muak.” “Dwani, apa yang terjadi?” Namun Ki Wijil-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kami memang tidak mengusir kalian. Kami jarang sekali mendapat kesempatan melihat tontonan yang begitu menarik. Permainan yang sulit dibedakan dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi.” Wajah Nyi Yatni menjadi tegang. Katanya, “Kami tidak sedang bermain. Kami juga bukan tontonan.” “Jangan marah. Mungkin kau menganggap dirimu bukan tontonan. Tetapi ternyata Ki Saba Lintang adalah seorang pemain yang sangat baik dalam satu pertunjukan yang sangat jenaka.” Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Apa yang kau maksudkan?” Nyi Wijil dan Empu Wisanata yang tanggap akan maksud Ki Wijil pun tertawa pula. Hanya wajah Nyi Dwani sajalah yang masih tetap tegang. “Permainanmu sangat meyakinkan,” berkata Ki Wijil. “Aku tidak senang bermain-main,” sahut Ki Saba Lintang. “Jika demikian, tontonan ini semakin mengasyikkan,” Ki Wijil tertawa semakin keras, “jika kalian tidak sedang bermain, maka kalian adalah badut-badut yang sesungguhnya.” “Cukup!” teriak Nyi Yatni. Lalu katanya kepada Ki Saba Lintang, “Kau biarkan orang tua ini mengigau seperti itu?” “Ya,” sahut Empu Wisanata, “Ki Saba Lintang harus membiarkannya berbicara apa saja. Ki Saba Lintang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk menghentikannya.” “Kakang!” jantung Ki Yatni bagaikan akan meledak. “Biarkan mulut yang sudah rusak itu berbunyi apa saja,” geram Ki Saba Lintang, “yang penting bagimu Nyi Yatni, usahakan agar keluargamu utuh kembali.” “Satu lawakan yang menarik,” sahut Empu Wisanata. “Ayah,” potong Nyi Yatni. “Yatni, jangan berpura-pura. Aku minta segera tinggalkan tempat ini. Kau tidak akan berhasil untuk mengajak kami. Jika cara ini ditempuh oleh Ki Saba Lintang untuk menyakiti hati Dwani, ia pun tidak berhasil. Aku tidak tahu, apakah Yatni mengerti atau tidak bahwa ia sudah menjadi alat Ki Saba Lintang.” “Alat apa?” “Sudah. Jangan hiraukan. Marilah kita tinggalkan sarang iblis ini. Semakin lama kita di sini, maka semakin kabur penalaran kita atas persoalan-persoalan yang kita hadapi.” “Kita tidak berjantung tanah liat, Kakang.” Tetapi Ki Saba Lintang itu pun segera bangkit sambil berkata, “Kita berhadapan dengan orang-orang licik yang pandai memutar balikkan keadaan. Nyi Yatni, kita memang tidak ada pilihan lain. Kita terpaksa membiarkan Empu Wisanata dan adikmu Nyi Dwani ikut lumat bersama Tanah Perdikan ini, sebagaimana dikatakan oleh Suranata.” Nyi Yatni pun kemudian bangkit pula. Demikian pula Empu Wisanata, Ki Wijil, Nyi Wijil dan Nyi Dwani. “Jadi Ayah menolak untuk memulihkan keutuhan keluarga kita?” bertanya Nyi Yatni kemudian. “Tentu tidak, Yatni. Tetapi aku harus memperhitungkan maksud yang sesungguhnya dari niatmu untuk memulihkan keutuhan keluarga kita itu. Aku pun harus memperhitungkan, siapakah yang telah menggerakkan kau datang kepadaku.” “Jadi apakah artinya kesediaan Ayah memaafkan aku?” “Aku telah memaafkan semua kesalahan yang pernah kau lakukan Yatni. Aku tidak pernah mendendammu. Tetapi sudah tentu aku pun tidak akan dapat kau bawa menerjuni lubang sumur berapi.” “Baik. Baik Ayah. Jika Ayah kokoh pada sikap dan pendirian Ayah itu, apa boleh buat. Agaknya Dwani pun telah terpengaruh pula oleh sikap Ayah, sehingga ia telah meninggalkan kesetiaannya kepada perguruan Kedung Jati, meskipun Ayah pernah mencoba untuk membunuhnya.” “Cukup, Mbokayu!” sahut Nyi Dwani, “Aku masih dapat berpikir waras. Karena itu, sebaiknya Mbokayu segera meninggalkan tempat ini” Nyi Yatni tertawa pendek. Katanya, “Kau bagiku adalah seorang adik kebanggaan, Dwani.” “Terima kasih Mbokayu. Tetapi kita adalah saudara kandung yang saling mengenal sejak masa kanak-kanak kita. Mbokayu mengenal aku, sifat-sifat dan watakku, sedangkan aku mengenal Mbokayu dengan sifat-sifat dan watak Mbokayu.” Wajah Nyi Yatni menjadi semakin tegang. Sementara itu Ki Saba Lintang telah menarik tangannya sambil berkata, “Marilah. Kita jangan terlalu lama di sini. Jika semula aku yakin bahwa tidak akan ada kelicikan di Tanah Perdikan ini, akhirnya aku menjadi ragu-ragu.” “Baiklah,” sahut Nyi Yatni. Lalu ia pun berkata kepada ayahnya, “Ayah, Aku mohon diri. Terima kasih bahwa Ayah telah memaafkan segala kesalahanku. Bagaimanapun juga aku masih ingin membalas segala kebaikan budi Ayah, sehingga aku ingin pada suatu ketika aku dapat membahagiakan Ayah, serta menempatkan Dwani di jenjang kedudukan yang terhormat sesuai dengan kemampuannya yang tinggi.” “Terima kasih, Mbokayu,” sahut Nyi Dwani. “Aku mohon diri, Ayah.” “Hati-hati-lah menempuh jalan kehidupan, Yatni,” desis Empu Wisanata. Nyi Yatni mengerutkan dahinya. Bagaimanapun juga masih terasa nada bicara seorang ayah yang mencemaskan keadaan anaknya. Namun Nyi Yatni tidak sempat berbicara lebih banyak lagi. Ki Saba Lintang pun kemudian menariknya. Tidak lagi memegangi pergelangan tangannya, tetapi justru memegangi pinggangnya. Demikian mereka turun dari pendapa, Nyi Yatni pun justru seakan-akan melekat di tubuh Ki Saba Lintang, dan berjalan bersama-sama menuju ke kuda mereka. Darah Nyi Dwani rasa-rasanya memang telah mendidih. Terbayang di masa kanak-kanak mereka. Permainan apapun yang dipegangnya, jika kakak perempuannya itu mengingini, selalu dirampasnya. Yatni sama sekali tidak peduli, apakah Dwani akan menangis atau tidak. Hal itu seakan-akan kini telah terulang. Nyi Yatni itu telah merampas Ki Saba Lintang dari sampingnya. Namun terdengar Empu Wisanata itu berbisik di telinganya, “Jangan mengulangi kesalahan yang sama karena perasaan cemburumu itu.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Ia telah kehilangan kendali sehingga ia telah berusaha membebaskan Rara Wulan, karena jantungnya telah dibakar oleh perasaan cemburu. Sementara itu ayahnya berbisik pula, “Kau sekarang tidak membutuhkan lagi Ki Saba Lintang.” Nyi Dwani itu mengangguk kecil. Sedangkan Empu Wisanata berkata selanjurnya, “Kasihan Yatni. Ia tidak lebih dari alat bagi Ki Saba Lintang.” Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi bagaimanapun juga, jantungnya terasa bergetar semakin cepat ketika ia melihat bagaimana Ki Saba Lintang membantu Nyi Yatni naik ke atas punggung kudanya, meskipun sebenarnya hal itu dapat dilakukannya sendiri. Demikianlah, sejenak kemudian kedua ekor kuda itu telah keluar dari regol halaman, sementara Empu Wisanata dan Nyi Dwani berdiri saja di tangga pendapa. Namun di regol Nyi Yatni itu masih sempat melambaikan tangannya sambil berkata, “Ingat Ayah, pada suatu saat aku akan membahagiakan Ayah.” Empu Wisanata tidak menjawab. Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda yang berlari semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya hilang dari pendengaran mereka. Dalam pada itu, Nyi Dwani pun segera berlari melintasi pendapa dan masuk ke dalam biliknya. Dengan serta-merta Nyi Dwani telah menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringannya. Ketika Empu Wisanata memasuki bilik itu, dilihatnya Nyi Dwani menangis terisak-isak. Sambil duduk di bibir pembaringan, Empu Wisanata itu pun bertanya, “Kenapa kau menangis, Dwani?” Nyi Dwani itu pun bangkit dan duduk di sisi ayahnya. Dengan sendat Dwani itu pun menjawab, “Aku merasa kesal sekali Ayah.” “Kau merasa cemburu?” “Tidak,” jawab Nyi Dwani tegas. “Jadi?” “Aku hanya ingin mengurangi beban yang menggelantung di hatiku. Aku ingin meyakinkan diriku, bahwa aku tidak lagi bergayut kepada siapa pun.” “Dengan menangis?” “Ya. Dengan menangis.” Empu Wisanata menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Dwani. Jika dengan menangis kau dapat mengurangi beban di hatimu, bahkan meyakinkan dirimu sendiri tentang kemandirianmu, lakukanlah.” Dwani tidak menjawab. Namun Nyi Dwani justru sudah tidak menangis lagi. Namun sebenarnyalah Nyi Dwani seakan-akan telah benar-benar berubah. Ia menjadi semakin yakin akan dirinya. Kepercayaannya kepada keyakinannya pun menjadi bertambah. Di malam hari, ketika seisi rumah itu duduk di ruang dalam untuk makan malam, kedatangan Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni telah menjadi bahan pembicaraan. “Kedatangan mereka menjadi satu isyarat,” berkata Agung Sedayu. “Isyarat apa?” bertanya Sekar Mirah. “Isyarat bahwa Ki Saba Lintang sudah siap untuk menyerang Tanah Perdikan ini.” “Dari mana Kakang mengetahuinya?” bertanya Glagah Putih. “Ki Saba Lintang sudah berusaha untuk menghimpun segala kekuatan.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Nampaknya memang demikian. Kita memang harus tanggap.” “Sebaiknya pasukan pengawal Tanah Perdikan segera ditempatkan sesuai dengan rencana pembagian kekuatan. Besok aku juga akan mengatur pasukanku dan akan langsung ditempatkan. Karena itu, besok pagi-pagi aku akan bertemu dengan Ki Gede dan Prastawa. Aku minta Glagah Putih ikut bersamaku.” “Baik, Kakang.” “Mungkin kita akan berada di tempat yang terpisah yang satu dengan yang lain,” berkata Agung Sedayu pula, “setiap pasukan akan disertai oleh satu atau dua orang di antara kita.” Yang lain pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Agung Sedayu. Yang akan mereka hadapi adalah serangan-serangan yang tidak saja datang dari satu arah. Sedikit-sedikitnya mereka harus bersiap menghadapi pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep, dan dari sisi utara, yang berkemah di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga. Demikianlah, seperti yang direncanakan, pagi-pagi sebelum Agung Sedayu pergi ke barak pasukannya bersama Glagah Putih, ia pergi menemui Ki Gede. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu dan Glagah Putih berbincang dengan Ki Gede dan Prastawa, apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk menghadapi serangan yang nampaknya akan segera terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Ki Gede pun sependapat bahwa para pemimpin Tanah Perdikan serta orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan itu akan berpencar. “Nanti sore aku akan menghadap lagi, Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “siang ini barangkali aku akan mendapat bahan-bahan baru dari para petugas sandi.” “Aku menunggu, Ki Lurah. Sementara itu, aku minta Angger Glagah Putih siang nanti dapat bersama-sama dengan Prastawa menentukan kedudukan para pengawal, sesuai dengan perkembangan keadaan serta kesiagaan orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan ini.” Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri, sedangkan Glagah Putih masih akan memanggil Sabungsari untuk diajak menemui Prastawa. Dari rumah Ki Gede, Agung Sedayu singgah di rumahnya sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu pun segera berangkat ke baraknya. Hari itu, segala sesuatunya harus sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan bagi Tanah Perdikan Menoreh. Di baraknya Agung Sedayu telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang, bersama Ki Tumenggung Wirayuda. Beberapa laporan petugas sandi telah melengkapi penilaian mereka terhadap kekuatan lawan yang berada di beberapa tempat di luar Tanah Perdikan. Bersama Ki Tumenggung Wirayuda, Agung Sedayu pun telah membagi kekuatannya. Selain Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, di barak itu juga sudah datang, berangsur-angsur sehingga tidak menarik perhatian, prajurit Mataram dari Ganjur. Menghadapi serangan dari pasukan yang kuat, sebagian prajurit yang berada di Ganjur telah diperbantukan kepada Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam pada itu, untuk memantapkan pertahanan di seluruh Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu pun telah menyelenggarakan satu pertemuan dari semua unsur yang ada di Tanah Perdikan. Untuk menghadapi kemungkinan yang dapat datang setiap saat, malam itu juga Agung Sedayu telah mempertemukan Ki Gede Menoreh, Ki Tumenggung Wirayuda, para pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur, serta orang-orang berilmu tinggi yang berada di rumah Agung Sedayu. Untuk menjaga segala kemungkinan, Agung Sedayu telah minta Ki Wijil dan Nyi Wijil untuk tinggal di rumah bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Sambil tertawa Ki Wijil pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan tinggal di rumah.” “Biarlah Sayoga ikut bersama kami, Ki Wijil.” “Aku akan menunggu tugas apa yang dapat aku lakukan menghadapi keadaan yang gawat di Tanah Perdikan ini.” Dalam pada itu, Ki Lurah itu pun berkata, “Jangan tersinggung Empu. Bagaimanapun juga kami harus berhati-hati.” “Aku mengerti Ki Lurah. Kami tidak merasa tersinggung sama sekali.” Malam itu segala sesuatunya telah ditentukan. Semua pihak telah mendapat tugasnya masing-masing. Mereka terbagi dalam daerah-daerah pertahanan, untuk menghadapi pemusatan tenaga kekuatan dari pasukan yang siap menerkam Tanah Perdikan itu. Untuk memimpin pertahanan itu, semua pihak telah menunjuk Ki Gede Menoreh. “Kemampuanku bukan apa-apa dibanding dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata Ki Gede. “Tetapi pengalaman dan. pengetahuan Ki Gede adalah yang paling luas di antara kita,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. “Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “aku tidak lebih dari seekor katak yang bersembunyi di bawah tempurung.” Ki Tumenggung Wirayuda-lah yang menyahut, “Kita tahu, apa yang pernah Ki Gede lakukan semasa Ki Gede masih terhitung muda dahulu.” Ki Gede akhirnya tidak dapat menolak. Ia akan memimpin pertahanan menghadapi kekuatan yang cukup besar yang mengancam Tanah Perdikannya. Tetapi hal itu adalah wajar sekali, karena Ki Gede adalah pemimpin Tanah Perdikan itu. Malam itu, pertemuan itu pun telah menentukan kekuatan yang akan berpencar di sepanjang perbatasan. Tetapi kekuatan itu akan berpusat pada tiga induk pertahanan ,menghadapi kekuatan lawan yang sedang dihimpun di Krendetan, di Pucang Kerep dan di sisi utara. Dari para petugas sandi didapat laporan, bahwa kekuatan yang ada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga di sisi utara, hampir seimbang, sehingga rencana pertahanannya pun dibuat seimbang pula. Namun demikian, Ki Gede Menoreh juga memerintahkan untuk memperkokoh dinding padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin sekali akan terjadi bahwa di antara pasukan yang datang menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu, akan ada kelompok-kelompok yang ditugaskan untuk menyusup menusuk langsung ke padukuhan induk. Mereka akan memperhitungkan bahwa padukuhan induk mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi rakyat dan para pengawal Tanah Perdikan. Jika padukuhan induk itu berhasil direbut, maka ketahanan jiwani terutama para pengawal Tanah Perdikan akan berkerut. Mereka seakan-akan merasa kehilangan tempat untuk bertumpu. Jika hal itu terjadi, maka pertahanan di Tanah Perdikan itu akan segera menjadi goyah. Di samping pasukan yang dipersiapkan untuk menghadapi serangan lawan dari ketiga arah itu, maka di Tanah Perdikan pun telah disiapkan pula sekelompok pasukan berkuda, yang terdiri dari para prajurit dari Pasukan Khusus, para petugas sandi, serta penghubung yang akan menghubungkan medan yang satu dengan medan yang lain. Mungkin mereka harus menyampaikan laporan secepatnya kepada Ki Gede atau kepada para pemimpin yang berada di medan. Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Gede telah memanggil adiknya, Ki Argajaya yang agak lama memilih hidup di dalam satu lingkungan kecil. Sejak saat ia gagal merebut kekuasaan di Tanah Perdikan itu, yang kemudian mendapat pengampunan sehingga ia tidak dijatuhi hukuman yang berat, apalagi hukuman mati, Ki Argajaya merasa lebih baik menyisihkan diri. Tetapi ia seakan-akan telah diwakili oleh anak laki-lakinya, Prastawa, yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. “Argajaya,” berkata Ki Gede, “sudah waktunya kau bangun.” “Aku sudah tua, Kakang,” jawab Ki Argajaya, “biarlah yang muda-muda itulah yang tampil di medan perang.” “Ya. Yang muda-muda akan tampil di medan perang. Tetapi aku minta kau bantu aku mengendalikan pertahanan ini. Aku telah ditunjuk untuk memimpin pertahanan di Tanah Perdikan ini. Aku tidak dapat mengelak, karena aku-lah Kepala Tanah Perdikan ini.” Ki Argajaya ternyata juga tidak dapat mengelak. Karena itu, maka ia pun berkata, “Jika Kakang masih mempunyai sisa-sisa kepercayaan kepadaku, aku akan melakukan perintah-perintah Ki Gede.” Ki Gede itu pun kemudian berkata, “Kita akan mengendalikan pertempuran dari padukuhan induk. Kita akan mengamati pertempuran lewat para penghubung yang akan hilir mudik ke medan. Tetapi kita pun bersiap menghadapi kemungkinan penyusupan lawan untuk langsung menyerang induk ini.” “Di mana Ki Lurah Agung Sedayu akan berada?” bertanya Ki Argajaya. “Ia akan berada di medan. Ia akan memimpin pasukan untuk menghadapi lawan yang sekarang menimbun kekuatan di Pucang Kerep, dan yang sudah ancang-ancang untuk menyerang.” “Siapa yang akan memimpin pasukan yang berada di sisi selatan, menghadapi kemungkinan serangan dari kekuatan yang berada di Krendetan?” “Ki Lurah Sura Panggah, pemimpin prajurit yang datang dari Ganjur. Sedangkan Ki Tumenggung Wirayuda akan berkedudukan di barak Pasukan Khusus. Namun mungkin ia akan berada di medan yang dipilihnya sendiri.” “Yang akan memimpin perlawanan di sisi utara untuk menghadapi kekuatan yang ada di sekitar tempuran Kali Elo dan Kali Praga?” “Pimpinan pasukan itu dipercayakan kepada Prastawa.” “Bukankah di antara pasukan itu juga akan terdapat prajurit dari Pasukan Khusus, atau dari antara prajurit yang datang dari Ganjur?” “Ya, Pasukan Khusus dan para prajurit yang datang dari Ganjur akan dibagi di tiga pemusatan pasukan Tanah Perdikan.” “Sebaliknya para pengawal Tanah Perdikan juga akan berada di ketiga tempat itu?” bertanya Ki Argajaya. “Ya,” jawab Ki Gede, “sementara kita akan berada di padukuhan induk ini untuk mengendalikan pertempuran dalam keseluruhan.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku siap untuk melakukannya, Kakang.” “Tetapi tidak mustahil bahwa kita harus bertempur, jika sekelompok lawan berhasil menyusup sampai ke padukuhan induk ini.” “Ya. Aku akan mempersiapkan diriku.” “Menurut pengalaman, hal seperti itu pernah terjadi, sehingga tidak mustahil bahwa hal seperti itu akan terjadi lagi.” “Baik Kakang. Aku akan mempersiapkan diri di rumahku.” “Pintu gerbang padukuhan induk yang sudah diperkuat itu akan ditutup setiap hari. Orang yang masuk dan keluar akan mendapat pengawasan yang ketat. Sementara itu, lalu lintas di Tanah Perdikan ini, kecuali di padukuhan induk, masih dapat berlangsung seperti sebelumnya. Maksudku, jalan-jalan di Tanah Perdikan ini tidak akan ditutup. Mereka yang melintas dari timur ke barat, atau dari barat ke timur atau ke utara, tidak akan dihambat. Sebaiknya kau tinggal di rumah ini.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Mulai besok aku akan berada di rumah ini.” Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah ditetapkan menjadi landasan pertahanan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, yang akan bergabung dengan para prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan, serta para prajurit yang datang dari Ganjur. Masing-masing pada dasarnya dibagi menjadi empat. Tiga kelompok pasukan akan berada di tiga landasan pertahanan, sementara satu bagian merupakan pasukan cadangan, yang akan turun ke medan setiap saat jika diperlukan. Tidak termasuk pasukan berkuda, pasukan yang bergerak ke mana saja mereka diperlukan. Dalam pada itu, orang-orang berilmu tinggi yang ada di Tanah Perdikan Menoreh akan dibagi pula untuk berada di tiga landasan utama pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Beberapa padukuhan yang telah dipersiapkan untuk menjadi landasan pertahanan telah diperkuat. Dinding padukuhan pun telah diperkuat pula. Demikian pula pintu gerbangnya. Beberapa panggungan telah dibangun untuk mengawasi keadaan. Tetapi pasukan gabungan Tanah Perdikan Menoreh itu tidak akan sekedar bertahan di padukuhan-padukuhan itu. Mereka akan membuat garis pertahanan di luar padukuhan, langsung menghadapi gerak para penyerang, yang ternyata mengambil ancang-ancang cukup panjang. Hanya dalam keadaan yang terpaksa mereka akan memanfaatkan dinding-dinding padukuhan, sementara para penghubung akan memberikan laporan kepada Ki Gede, sehingga Ki Gede akan dapat mengambil kebijaksanaan. Sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan, para prajurit dari Pasukan Khusus, maupun para prajurit yang diperbantukan dari Ganjur, telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika perintah itu datang, maka dengan cepat mereka bergerak. Sementara itu para petugas sandi pun telah memberikan laporan, bahwa kegiatan pasukan yang berada di Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga pun telah meningkatkan persiapan mereka. Namun ternyata bahwa pasukan yang siap untuk menyerang Tanah Perdikan itu bekerja cukup cermat. Mereka tidak langsung menyerang dari landasan ancang-ancang mereka. Tetapi mereka telah membuat anak-anak landasan di tempat yang lebih dekat. Para petugas sandi mengikuti perkembangan persiapan orang-orang yang siap menyerang Tanah Perdikan itu. Mereka mengamati kelompok-kelompok yang bertugas untuk berada beberapa ratus patok di hadapan pasukan induk. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bukan baru untuk pertama kali menghadapi kekuatan yang mengancam Tanah Perdikan mereka. Mereka pun pernah menghadapi sepasukan orang-orang yang garang, yang membuat kemah di balik bukit. Mereka juga pernah menghadapi kekuatan yang menyusup sampai ke padukuhan induk. Mereka pun pernah menghadapi berbagai macam lawan. Di luar Tanah Perdikan, sebagian dari mereka pernah bertempur dalam gelar pasukan yang luas. Bahkan terakhir sebagian dari mereka telah ikut pergi ke Pati. Karena itu, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan itu telah mempunyai pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam sifat dan watak lawan. Dari yang kasar, liar dan bahkan buas, sampai mereka yang bertempur dengan mapan dalam gelar yang utuh, serta menganut segala macam pranatan perang, serta mereka yang bertempur dengan licik dan mengesahkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Beberapa hari kemudian, mulai terjadi benturan-benturan antara para peronda dari kedua belah pihak. Para peronda dari Tanah Perdikan Menoreh kadang-kadang memang berpapasan dengan para peronda dari pasukan yang sedang menyusun kekuatan mereka di luar Tanah Perdikan itu. Sementara itu, beberapa kademangan yang berada di garis lurus yang menghubungkan kedua kekuatan yang akan beradu di medan perang itu, harus menentukan kebijaksanaan mereka. Ternyata orang-orang yang akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh itu telah memberi peringatan agar mereka tidak ikut campur, agar mereka tidak ikut terlibat dalam pertempuran yang akan banyak menelan korban. Sebaliknya Tanah Perdikan Menoreh pun telah memperingatkan mereka untuk menghindarkan diri dari kemungkinan buruk itu pula. “Sebaiknya kalian menghindar. Jauhi medan pertempuran yang akan terjadi di perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi kami minta maaf, bahwa pasukan kami mungkin akan merembet keluar garis batas Tanah Perdikan untuk menghancurkan lawan.” Kademangan-kademangan kecil di luar Tanah Perdikan itu menyadari, bahwa mereka memang lebih baik menghindar. Jika dua ekor gajah bertarung, maka mereka lebih baik menyingkir daripada terinjak-injak. Persiapan kedua belah pihak pun menjadi semakin matang. Benturan-benturan kecil semakin sering terjadi. Namun benturan-benturan itu justru dapat dipergunakan oleh para pengawal Tanah Perdikan untuk menjajaki kemampuan lawan. Dalam pada itu, dalam puncak persiapan dari kedua belah pihak, sekelompok kecil orang telah menyeberangi pegunungan dan turun ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika sekelompok peronda melihat mereka, maka para peronda itu pun segera memotong jalan mereka. “Aku bukan petugas yang sedang meronda,” berkata orang yang berdiri di paling depan. Lalu katanya pula, “Aku adalah Ki Saba Lintang.” “Apakah maksud Ki Saba Lintang?” “Aku ingin bertemu dengan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” “Atau Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya peronda itu. “Tidak. Aku hanya ingin bertemu dengan berbicara dengan Ki Gede Menoreh.” Para peronda itu menjadi ragu-ragu. Namun mereka tidak akan dapat menghambat keinginan sekelompok kecil orang-orang yang akan menemui Ki Gede Menoreh itu. Yang dapat mereka lakukan justru mengawal mereka sampai ke padukuhan induk. Namun dua orang di antara mereka telah memisahkan diri dan pergi ke rumah Agung Sedayu, memberitahukan kehadiran sekelompok kecil orang yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang untuk menemui Ki Gede Menoreh. Karena Agung Sedayu masih berada di barak, maka Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga-lah yang kemudian pergi ke rumah Ki Gede. Ki Gede menerima Ki Saba Lintang dan beberapa orang pemimpin dari gerakannya itu di pendapa bersama Ki Argajaya dan Prastawa. Sementara itu, para pengawal masih tetap berada di halaman rumah itu, bergabung dengan para pengawal yang sedang bertugas. Namun sebelum mereka mulai berbincang, maka Putih, Sabungsari dan Sayoga telah datang dan dipersilakan naik ke pendapa pula. Ki Saba Lintang memandang Glagah Putih sekilas. Namun kemudian ia tidak memperhatikannya lagi. Meskipun demikian, nampak bahwa Ki Saba Lintang tidak senang melihat kehadiran anak muda itu. Ki Saba Lintang pun kemudian telah memperkenalkan diri bersama kawan-kawannya. Dengan tegas Ki Saba Lintang berkata bahwa mereka adalah para pemimpin dari gerakan yang akan membangun kembali perguruan Kedung Jati. “Apakah maksud kalian menemui aku?” bertanya Ki Gede Menoreh. “Ada yang ingin aku bicarakan dengan Ki Gede,” jawab Ki Saba Lintang. Ki Gede termangu-mangu sejenak. Dengan dahi yang berkerut Ki Gede itu pun bertanya, “Apakah ada yang dapat kita bicarakan?” “Banyak, Ki Gede. Kita dapat berbicara tentang banyak hal untuk kepentingan kita bersama.” “Katakan, Ki Saba Lintang. Persoalan apa yang dapat kita bicarakan itu.” “Ki Gede,” berkata Ki Saba Lintang, “dalam tahap akhir dari perjuanganku, aku ingin menawarkan kerja sama kepada Ki Gede.” “Kerja sama apakah yang kau maksudkan itu?” “Aku telah mempersiapkan kekuatan yang besar sekali, Ki Gede. Kekuatan yang tidak dapat diperbandingkan dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Meskipun demikian, aku menawarkan kesempatan kepada Ki Gede. Jika Ki Gede mau bekerja bersama kami, maka Ki Gede akan mendapat kesempatan yang lebih luas di masa datang.” “Tegaskan bentuk dari kerja sama itu, Ki Saba Lintang.” “Kami minta Ki Gede menyediakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan perjuanganku menggapai Mataram. Ki Gede tidak usah membantu dalam arti kekuatan. Ki Gede tidak usah menyerahkan kelompok-kelompok pengawal kepada kami. Yang perlu Ki Gede lakukan hanyalah menyediakan pangan dan kebutuhan-kebutuhan kami sehari-hari selama perjuangan kami. Mataram tidak akan dapat bertahan lama. Hanya dalam keadaan memaksa kami minta bantuan kekuatan kepada Ki Gede.” “Tegasnya, Ki Saba Lintang ingin melibatkan kami dalam pemberontakan ini?” “Siapakah yang sebenarnya berontak? Ki Gede tentu tahu, siapakah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Ki Gede tentu tahu bahwa yang sekarang memegang tampuk pimpinan adalah anak Pemanahan. Ki Gede pun tentu tahu, bagaimana Sutawijaya yang sekarang bergelar Panembahan Senapati itu mendapatkan kedudukannya yang sekarang.” “Ya. Aku tahu. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati berusaha mempersatukan Mataram. Aku pun tahu bagaimana Panembahan Senapati bangkit ketika Pajang kehilangan nafas perjuangannya menyongsong masa depan. Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, yang terjadi di Pajang adalah bencana, jika saat itu Panembahan Senapati masih belum menegakkan panji-panji pemerintahannya di Mataram.” “Apakah Ki Gede tidak tahu, siapakah yang telah membunuh Kanjeng Sultan, langsung atau tidak langsung?” “Kanjeng Sultan sudah tidak berdaya waktu itu. Perang di Prambanan sekedar satu langkah untuk satu kepastian. Seandainya tidak terjadi perang, seandainya Panembahan Senapati tidak berpijak di Mataram, dan kemudian Kangjeng Sultan wafat, tidak dapat dibayangkan apa yang terjadi di Pajang.” “Khayalan seorang yang tersisih pada waktu itu,” berkata Ki Saba Lintang, “tanpa Panembahan Senapati, pemerintah Pajang akan berlangsung dengan baik. Kekuasaan akan mengalir tanpa gejolak sama sekali.” “Kau tentu dapat membayangkan apa yang terjadi antara Kanjeng Adipati Demak dan Pangeran Benawa pada saat itu.” “Riak yang kemudian menjadi gelombang yang melanda Pajang waktu itu, timbul karena prahara yang dihembuskan oleh Panembahan Senapati, yang telah lebih dahulu memberontak dan menguasai Mataram.” “Jika demikian, kau-lah yang tidak tahu apa yang telah terjadi. Apa katamu bahwa Pangeran Benawa justru telah disingkirkan ke Jipang?” “Sudahlah,” berkata Ki Saba Lintang, “kita tidak sedang menilai aliran kekuasaan di Pajang. Yang penting sekarang, anak Pemanahan itu akan kami singkirkan. Kami telah mempunyai seorang yang pantas untuk menduduki tahta. Seorang keturunan Prabu Brawijaya.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Aku juga keturunan Prabu Brawijaya. Kau percaya?” “Jangan bergurau, Ki Gede. Aku berkata sebenarnya.” “Terserah tanggapanmu. Jika kau tidak percaya, aku hargai sikapmu, sebagaimana aku tidak percaya kepada orang yang kau sebut keturunan Brawijaya itu.” Wajah Ki Saba Lintang menjadi merah. Namun ia masih mengendalikan dirinya. Sementara itu, seorang yang berwajah keras dengan janggut pendek yang mulai memutih berkata, “Ki Gede. Jika kami datang kemari, sebenarnyalah kami membawa niat yang baik. Jika kita dapat bekerja bersama, kita akan bersama-sama mendapat keuntungan. Kami tidak akan kehilangan kekuatan, karena bagaimanapun juga pertempuran di Tanah Perdikan ini tentu akan menelan korban. Sementara Ki Gede pun tidak akan kehilangan Tanah Perdikan ini.” “Kenapa aku akan kehilangan Tanah Perdikan ini?” “Jika kami harus merebut tanah perdikan ini dengan kekuatan, maka kami tidak akan melepaskannya lagi meskipun kepada Ki Gede. Kami akan memiliki Tanah Perdikan ini dan memanfaatkan segala isinya, termasuk orang-orangnya.” Jantung Ki Gede berdegup semakin cepat. Tetapi Ki Gede bukan seorang yang mudah hanyut dalam arus perasaannya. Karena itu, maka Ki Gede itu justru tersenyum. Dengan nada berat Ki Gede itu pun berkata, “Ki Sanak. Kau ingin bekerja sama dengan Tanah Perdikan ini? Tetapi belum lagi terdapat kesepakatan, kau sudah mengancam. Apakah dengan demikian kita akan mendapatkan satu persetujuan?” Sebelum orang itu menjawab, seorang yang lain yang bertubuh gemuk dan perutnya bagaikan menggelembung, menyahut, “Aku tidak telaten. Ki Saba Lintang, kenapa kau tidak langsung berterus terang saja? Katakan bahwa Ki Gede harus tunduk kepadamu. Jika kau terlalu baik hati, dengan sopan santun yang tinggi serta unggah-ungguh yang lengkap, maka tiga hari tiga malam kita belum selesai bicara.” Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun yang darahnya telah mendidih adalah Prastawa. Karena itu, maka ia pun menyahut, “Pergilah selagi masih mungkin. Jika isyarat perang sudah berbunyi, maka kalian akan terjebak di Tanah Perdikan ini, dan tidak mungkin untuk keluar lagi.” Tetapi orang yang perutnya besar itu tertawa. Katanya, “Meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, mereka tidak akan dapat menahan kami.” “Biarlah Ki Saba Lintang menjawab,” tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “apakah benar kata orang yang perutnya buncit itu? Apakah benar bahwa meskipun seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dikerahkan, tidak akan dapat menangkapnya?” Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Ia mengenal beberapa orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan itu, termasuk Glagah Putih itu sendiri. Karena itu untuk beberapa lamanya ia justru terdiam. “Jawablah, Ki Saba Lintang,” desak Glagah Putih. Tetapi Ki Saba Lintang itu pun mengeram. Katanya kemudian, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Kita hanya membuang-buang waktu saja. Agaknya otak Ki Gede sudah membeku, sehingga ia tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang baik.” “Aku belum yakin,” berkata orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu, “agaknya Ki Gede belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan.” Lalu katanya kepada Ki Gede, “Ki Gede. Ki Gede tentu tidak senang melihat Tanah Perdikan ini menjadi karang abang. Kehancuran, kematian dan bencana lain yang tidak dapat dielakkan lagi. Karena itu, pertimbangkanlah kemungkinan yang lain. Bekerja sama dengan kami.” “Sudahlah. Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi.” “Aku tahu, bahwa Ki Gede takut, atau katakan saja segan, kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi jangan cemas. Jika Ki Gede bersedia, biarlah kami yang mengurus Agung Sedayu itu.” Ternyata bukan hanya Prastawa yang tidak dapat menahan diri. Glagah Putih pun kemudian berkata, “Apa yang dapat kau lakukan terhadap Ki Lurah Agung Sedayu?” Orang yang berjanggut pendek yang sudah mulai memutih itu berkata, “Kau kira Ki Lurah Agung Sedayu tidak terkalahkan, sehingga seluruh dunia harus tunduk kepadanya?” “Katakan, siapa yang akan mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu itu.” “Untuk apa?” “Jika yang dimaksud adalah kau sendiri, maka aku tantang kau sekarang bertempur dengan jujur. Tidak usah langsung berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu,” geram Glagah Putih yang menjadi semakin marah. Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Kita tidak akan melayani gejolak perasaan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Kami datang untuk menawarkan satu bentuk kerja sama bagi Ki Gede. Tetapi Ki Gede tidak mampu melihat jauh ke depan.” Tetapi Ki Gede itu pun berkata, “Pergilah selagi kau sempat, seperti yang dikatakan oleh pimpinan pengawal Tanah Perdikan ini. Jangan bermimpi bahwa aku akan menerima tawaran kerja sama itu, karena aku tahu bahwa yang kau tawarkan itu tidak lebih dari suatu muslihat yang licik.” “Apa yang pernah Ki Gede lakukan, dan apa yang selalu bergetar di jantung Ki Gede, itulah yang Ki Gede bayangkan dilakukan oleh orang lain.” “Cukup!” bentak Prastawa. “Jangan menyesal,” berkata orang yang berjanggut pendek, “kirimkan petugas sandi kalian untuk melihat persiapan kami. Kami akan menghancurkan Tanah Perdikan ini. Kemudian kami akan meloncati Kali Praga dan menghancurkan Mataram.” Ki Gede tertawa pula. Katanya, “Mataram bukan sekelompok anak-anak yang bermain keraton-keratonan. Tetapi kau tahu bahwa Mataram memiliki pasukan yang kuat.” “Omong kosong,” geram orang yang perutnya buncit, “jika Mataram mampu menguasai daerah di sebelah timur, karena Mataram mendapat bantuan dari Pati, Demak, Grobogan dan Pajang. Ketika Mataram mengalahkan Pati, Mataram mempengaruhi rakyat di sebelah utara Gunung Kendeng, yang dengan resmi sudah diserahkan kepada Pati. Meskipun Pati telah membantu Mataram menyusuri daerah timur, tetapi akhirnya Pati dihancurkan pula oleh Panembahan Senapati. Tanpa bantuan dari daerah-daerah itu, Mataram bukan apa-apa lagi.” Glagah Putih-lah yang menyahut, “Khayalanmu ternyata menarik sekali, Ki Sanak. Tetapi sayang, bahwa kau berkhayal di hadapan orang-orang yang ikut mengalami sebagian besar dari peristiwa yang kau gubah di dalam khayalanmu menurut seleramu itu. Karena itu bagi kami, yang kau ceritakan itu tidak lebih dari sebuah khayalan yang menggelikan.” “Anak setan!” “Jangan hanya mengumpat. Jika kau menantangku, aku layani kau dengan jujur di hadapan saksi-saksi, termasuk Ki Saba Lintang dan kawan-kawanmu itu.” Wajah orang itu menjadi merah. Tetapi Ki Saba Lintang pun berkata, “Sudah aku katakan. Jangan terpancing oleh mulut anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Mereka memancing persoalan. Namun mereka tidak akan benar-benar jujur. Mereka dapat membuat cerita apa saja untuk memberikan kesan bahwa mereka berhak berbuat curang.” “Tetapi kata-katanya membuat telingaku menjadi merah.” “Kita tinggalkan tempat ini. Jika terjadi sesuatu, Ki Gede akan menyesal. Tetapi tentu bukan salah kita. Kita sudah menunjukkan niat baik kita dengan menawarkan kerja sama kepadanya. Jika ia menolak, itu salahnya sendiri.” Orang yang perutnya buncit, yang berjanggut tipis keputih-putihan, dan orang-orang yang menyertai Ki Saba Lintang itu pun kemudian telah bangkit. Dengan nada berat Ki Saba Lintang pun berkata, “Kami minta diri, Ki Gede. Kami masih memberi kesempatan Ki Gede untuk berpikir selama tiga hari. Selama itu, Ki Gede aku persilakan untuk mengirimkan orang-orang Ki Gede untuk melihat persiapan kami. Mungkin penglihatan mereka akan dapat membantu Ki Gede untuk mengambil keputusan.” “Aku sudah mendapat laporan tentang orang-orangmu yang sedang kau persiapkan untuk menyerang Tanah Perdikan ini.” “Kami menempatkan orang-orang kami Ki Krendetan, di Pucang Kerep dan di dekat tempuran Kali Elo dan Kali Praga.” “Aku sudah tahu,” jawab Ki Gede. “Bagus. Tetapi Ki Gede tentu belum tahu kekuatan kami yang sesungguhnya. Jika Ki Gede menghendaki, kirimlah beberapa orang untuk melihat keadaan yang sesungguhnya. Asal mereka membawa kelebet putih, maka kami tidak akan mengganggu mereka.” Ki Gede tertawa. Katanya, “Satu tawaran yang menarik, Ki Saba Lintang. Biarlah pada saatnya pasukan Tanah Perdikan datang untuk melihat kekuatan yang Ki Saba Lintang siapkan. Tetapi kami tidak akan membawa kelebet putih. Kami justru akan membawa pedang dan tombak serta perisai.” Ki Saba Lintang menggertakkan giginya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Yang penting, ia sudah mencoba untuk menggetarkan ketahanan jiwani pemimpin tertinggi Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun di hadapannya para pemimpin itu tidak menunjukkan kecemasan dan bahkan seakan-akan menertawakannya, tetapi Ki Saba Lintang berharap bahwa Ki Gede akan merenungkannya kemudian. Bahkan kemudian benar-benar mengirimkan petugas sandinya untuk melihat persiapan pasukannya yang akan menyerang Tanah Perdikan. Ki Saba Lintang yakin, jika para petugas sandi Tanah Perdikan melihat pasukan yang disiapkan, maka Ki Gede akan berpikir dua kali untuk menolak kerja sama dengan Ki Saba Lintang. Ketika kemudian Ki Saba Lintang dan kawan-kawannya meninggalkan padukuhan induk, maka sekelompok peronda telah mengawalnya. Pemimpin peronda itu berkata kepada Ki Saba Lintang, “Kami akan mengantar Ki Saba Lintang sampai ke perbatasan.” “Terserah kalian,” jawab Ki Saba Lintang, “kami tidak memerlukan pengawalan.” “Hanya untuk menjaga kesalah-pahaman,” berkata pemimpin kelompok pengawal itu. “Kami tidak takut seandainya terjadi salah paham.” “Kami percaya. Yang kami tidak percaya adalah, bahwa kalian tidak akan mempergunakan kesempatan ini untuk mengamati keadaan Tanah Perdikan.” “Kami tidak ingkar,” jawab Ki Saba Lintang, “ternyata bahwa persiapan Tanah Perdikan ini sama sekali tidak memadai bagi sebuah pertahanan. Kalian harus tahu, bahwa jika Ki Gede dalam tiga hari ini tidak menyatakan kesediaannya untuk bekerja bersama, maka medan perang yang akan terjadi tidak hanya di sepanjang perbatasan. Tidak pula sekedar di depan Krendetan, Pucang Kerep dan sisi utara Tanah Perdikan. Tetapi di atas setiap jengkal Tanah Perdikan ini akan terjadi perang. Darah orang-orang Tanah Perdikan akan tertumpah. Di dalam perang yang sengit, kami tidak akan dapat membedakan lagi, pengawal Tanah Perdikan, laki-laki tua, perempuan dan kanak-kanak. Jika tanah di atas Tanah Perdikan kemudian ditutup oleh warna darah, itu bukan salah kami.” “Alangkah dahsyatnya,” desis pemimpin pengawal itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi pertempuran yang sedahsyat apapun tidak akan menggetarkan kami. Perang di atas Tanah Perdikan ini bukan baru pertama kali ini terjadi.” “Persetan!” geram Ki Saba Lintang. Namun ia tidak berbicara lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat diikuti oleh kawan-kawannya. Sepeninggal Ki Saba Lintang, Ki Gede pun kemudian berbicara dengan orang-orang yang ada di pendapa. Ki Argajaya, Prastawa, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga. Dengan nada dalam, Ki Gede itu pun berkata, “Agaknya Ki Saba Lintang bersungguh-sungguh. Ia ingin menunjukkan bahwa pasukannya sangat kuat, sehingga yakin akan dapat merebut Tanah Perdikan ini. Bahkan ia ingin memamerkan kekuatannya, dengan memberi kesempatan kepada petugas sandi kita untuk melihat persiapannya di perkemahannya.” “Satu gerakan yang nampaknya meyakinkan. Tetapi menurut pendapatku, Ki Saba Lintang hanya ingin mengguncang ketahanan jiwa kita.” bersambung Posted in Buku 311 - 320 ♦ Seri IV Tagged Agung Sedayu, Empu Wisanata, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Ki Juru Martani / Ki Patih Mandaraka, Ki Saba Lintang, Nyi Dwani, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra
APIDI BUKIT MENOREH. oleh: S.H. Mintarja BUKU 2 BAGIAN 05 Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu di langit bintang berebut dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah. Di atas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat
Bagian 2 “Anjani?” Sekar Mirah menjadi semakin heran. Dipandangi-nya seraut wajah yang masih muda dan segar itu tanpa berkedip. Jauh di lubuk hatinya, telah terasa getar-getar yang tidak wajar seiring dengan sikap Anjani yang penuh dengan tanda tanya. “Mbokayu,” akhirnya keluar juga sepatah kata dari bibir merah jambu itu dengan sendat. Dengan sedikit menengadahkan wajahnya, sekuat tenaga Anjani mencoba untuk menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi. Sementara kedua tangannya tampak meremas-remas ujung bajunya sekedar untuk menahan gejolak di dalam dadanya. “Ada apa Anjani?” dengan sareh Sekar Mirah mencoba menenangkan hati Anjani. Dengan lembut dibelainya rambut Anjani yang hitam dan indah berombak. Lanjutnya kemudian, “Katakan lah. Jangan ragu-ragu. Engkau telah aku anggap sebagai bagian dari keluargaku. Persoalanmu adalah persoalanku juga. Dengan segala keterbatasan kemampuan yang ada pada diriku, aku akan selalu siap di sisimu untuk membantumu.” Kata-kata Sekar Mirah itu justru bagaikan sebuah bindi terbuat dari besi baja yang menghantam belanga yang penuh berisi air. Akibatnya adalah sangat dahsyat. Belanga itu pun hancur berkeping-keping disertai dengan tertumpahnya air yang berada di dalamnya. “Mbokayu..!” diawali dengan sebuah jeritan kecil, Anjani ternyata telah menjatuhkan diri di hadapan Sekar Mirah. Diantara sedu-sedan yang tertahan-tahan, dipeluknya erat-erat kedua kaki Sekar Mirah sambil melanjutkan kata-katanya, “Silahkan mbokayu membunuhku sekalipun aku ikhlas, sebagai jalan menebus dosa-dosaku selama ini kepada keluarga mbokayu.” “Anjani!” seru Sekar Mirah sedikit agak keras sambil mengguncang-guncang pundak Anjani yang berlutut di hadapannya, “Apakah engkau sadar dengan kata-katamu itu? Untuk apa aku membunuhmu? Justru engkau telah menyelamatkan keluargaku sebanyak dua kali dan untuk semua itu aku belum sempat membalas kebaikan budimu.” Anjani menggeleng-gelengkan kepalanya sambil semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Dengan sekuat tenaga dicobanya untuk menahan tangis yang terasa bergumpal-gumpal dan berdesak-desakkan ingin keluar dari tenggorokannya. Namun semua itu justru telah membuat tubuhnya semakin terguncang-guncang dan nafasnya tersengal-sengal. Sejenak Sekar Mirah termenung melihat keadaan Anjani. Berbagai tanggapan telah bergejolak di dalam dadanya. Untuk beberapa saat dibiarkan saja Anjani dalam keadaannya walaupun ada sedikit kekawatiran tangis Anjani yang tertahan-tahan itu akan dapat membangunkan Bagus Sadewa, atau bahkan mungkin sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di luar bilik. “Apakah sebenarnya yang telah terjadi?” pertanyaan itu telah menggelitik hati Sekar Mirah, “Mengapa Anjani merasa telah berbuat kesalahan terhadap keluargaku? Padahal aku baru saja mengenalnya, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” Masih terbayang dengan jelas di rongga matanya. Bagaimana Anjani dengan tandang yang sigap dan cekatan serta ilmu yang mumpuni berhasil melumpuhkan lawannya. Seandainya saat itu Anjani tidak muncul dan menolong mereka, tentu Bagus Sadewa telah berhasil mereka culik dan dijadikan sandera untuk melumpuhkan semangat juang Ki Rangga Agung Sedayu dalam berperang melawan pasukan Panembahan Cahya Warastra. Sedangkan dia sendiri dan Damarpati tentu juga akan mengalami nasib yang sangat jelek. Jika tidak dibunuh, kemungkinan juga akan dijadikan sebagai tawanan. Tiba-tiba saja Sekar Mirah telah dikejutkan oleh angan-angannya sendiri. Jika saja saat itu ada petir yang menyambar di atas kepalanya, dia tidak akan sekaget itu. Ketika terlintas di dalam benaknya, seseorang yang selama ini sangat dicintai dan dikaguminya sebagai suami dan ayah dari anaknya, jantung Sekar Mirah pun bagaikan tersentuh bara api dari tempurung kelapa. Siapa lagi yang dimaksud oleh Anjani jika bukan suaminya, Ki Rangga Agung Sedayu. Menyadari kemungkinan itu lah yang bisa saja terjadi, darah di sekujur tubuh Sekar Mirah pun bagaikan mendidih. “Anjani..!” geram Sekar Mirah kemudian dengan suara gemetar dan nafas yang memburu. Kedua bola matanya yang memerah darah itu dengan nanar memandang wajah Anjani yang menunduk. Sambil mencengkeram kedua pundak Anjani, Sekar Mirah pun kemudian melanjutkan kata-katanya, “Apakah yang engkau maksudkan itu, suamiku? Ki Rangga Agung Sedayu, he?” Mendapat pertanyaan seperti itu, justru Anjani semakin erat memeluk kedua kaki Sekar Mirah. Tangisnya pun telah pecah tanpa dapat dikendalikannya lagi. Ketika Agung Sedayu yang dikenalnya sebagai adik Untara itu ternyata telah menunjukkan kedahsyatannya dalam lomba memanah dan mampu mengalahkan Sidanti, perhatian gadis Sangkal Putung itu pun kemudian berbalik kepada anak muda yang luruh dan rendah hati itu. Jiwa Sekar Mirah yang meledak-ledak dan selalu haus akan tantangan dan pengeram-eram, ternyata telah tunduk dan kagum akan kesederhanaan dan keluhuran budi putra kedua Ki Sadewa itu. Agung Sedayu yang mendapat kesempatan untuk melepaskan anak panah terakhirnya, ternyata lebih memilih memanah burung yang sedang terbang di angkasa dari pada tubuh Sidanti sendiri. Namun kekaguman Sekar Mirah itu tetap disertai dengan angan-angan bahwa suatu saat sifat anak muda yang dikagumi itu akan berubah menjadi laki-laki sebagaimana yang selalu ada dalam angan-angannya, laki-laki yang mengejar masa depannya dengan penuh semangat, yang siap mengurbankan apa saja demi mencapai cita-citanya. Bukan laki-laki yang hanya pasrah akan nasib dan nrimo ing pandum. Namun semua itu perlahan mulai berubah sejak dia menuntut ilmu olah kanuragan dan jaya kasantikan kepada Ki Sumangkar, adik seperguruan Ki Patih Mantahun. Dengan sangat telaten gurunya mulai membekali kawruh tentang kehidupan yang berhubungan dengan bebrayan agung. Hubungan timbal balik antara sesama manusia dan dengan Sang Pencipta. Terlebih lagi adalah kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang hamba kepada Tuhannya sebagai wujud rasa syukur atas karuniaNYA yang telah menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Ketika gadis Sangkal Putung itu pada akhirnya dipersunting oleh Agung Sedayu, adik Senapati Untara yang berkedudukan di Jati Anom, Ki Sumangkar yang telah mendahului menghadap Sang Pencipta setelah peristiwa di lembah antara Merapi dan Merbabu, masih belum mampu menekan sifat-sifat itu sampai ke dasarnya. Perbedaan pandangan hidup yang lebih mengedepan-kan gelimang harta dan kemewahan bagi Sekar Mirah selalu menjadi perdebatan yang tak berujung pangkal dalam keluarga baru itu. Namun seiring dengan berlalunya waktu, kesabaran, ketekunan dan tentu saja keteladanan dalam kebersahajaan hidup yang dicontohkan oleh suaminya lambat laun telah mempengaruhi pandangan hidupnya. Namun kini apa yang sedang terjadi ternyata telah menyinggung harga dirinya sebagai seorang istri dan mengungkap kembali sifat-sifat aslinya yang telah terpendam sekian lama. Justru disaat keluarganya sedang menyambut kebahagiaan atas hadirnya buah hati yang telah mereka dambakan selama bertahun-tahun, seorang perempuan lain telah hadir dalam kehidupan suaminya. Penalaran Sekar Mirah pun menjadi goncang dan buram. Wataknya yang keras dan tidak mau tersaingi oleh orang lain telah muncul kembali. Demikianlah akhirnya, dengan mengerahkan tenaga cadangannya, Sekar Mirah ternyata telah berusaha untuk melepaskan kedua kakinya dari pelukan Anjani. Yang terjadi kemudian adalah diluar dugaan Anjani. Tubuhnya terlempar dan menabrak dinding bilik yang terbuat dari papan kayu jati yang tebal. Papan kayu jati itu memang tidak sampai pecah berantakan. Hanya suaranya saja yang terdengar berderak-derak memecah keheningan malam. “Mbokayu..?!” jerit Anjani terkejut bukan alang kepalang sambil mencoba merangkak bangun. Namun alangkah terkejutnya Anjani, begitu dia mendongakkan wajahnya, Sekar Mirah telah berdiri hanya selangkah di hadapannya. Di tangan kanan perempuan itu telah tergenggam sebuah senjata yang mengerikan, senjata ciri khas sebuah perguruan di jaman Demak lama. Perguruan yang namanya sangat dikenal di negeri ini dari ujung sampai ke ujung, perguruan Kedung Jati. “Mbokayu..?” kali ini terdengar lirih ucapan Anjani sambil perlahan bangkit berdiri. Tangisnya telah berhenti dengan sendirinya, berganti dengan keheranan yang luar biasa melihat perubahan sikap Sekar Mirah. “Anjani..!” terdengar berat dan dalam nada suara Sekar Mirah, “Kita adalah perempuan-perempuan yang memiliki kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Aku tahu engkau adalah murid Resi Mayangkara yang keberadaannya dipercaya hanya sebagai dongeng belaka, tapi aku tidak takut. Pergilah ke sanggar. Tunggu aku di sana. Sebelum ayam berkokok untuk terakhir kalinya malam ini, persoalan diantara kita berdua harus sudah tuntas.” Berdesir dada Anjani. Tidak ada gunanya lagi baginya untuk memberi penjelasan apa yang sebenarnya telah terjadi antara dirinya dengan suami Sekar Mirah itu. Menilik dari wajah dan sorot mata Sekar Mirah, perempuan itu agaknya sudah benar-benar waringuten dibakar api cemburu yang telah menghanguskan jantungnya dan tidak dapat diajak bicara lagi, kecuali dengan mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Namun Anjani bukanlah anak kemarin sore yang menjadi silau dan gemetar melihat senjata mengerikan di tangan Sekar Mirah. Anjani pernah mengalami kehidupan yang kelam dalam asuhan kedua gurunya. Anjani dipaksa untuk tumbuh menjadi perempuan yang kasar dan liar serta mengesampingkan segala paugeran yang berlaku dalam kehidupan bebrayan agung, walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatinya masih terpancar sinar pelita hati betapa pun lemahnya. Perkenalannya dengan Ki Ageng Sela Gilang atau Ki Singa Wana Sepuh guru Pangeran Ranapati telah banyak membantunya mengenal kehidupan bebrayan yang ternyata tidak hanya hitam dan kelam sebagaimana ajaran kedua gurunya. Di sela-sela kesibukan kedua gurunya menghadap pangeran Ranapati di Kadipaten Panaraga, Anjani selalu menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan Ki Singa Wana Sepuh. Demikianlah ketika dia kemudian bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, seakan-akan dia telah mendapatkan sebuah isyarat bahwa Ki Rangga lah yang akan menjadi lantaran baginya untuk dapat terbebas dari kekejaman kedua gurunya. “Anjani..!” bentakan Sekar Mirah telah membuyarkan lamunan Anjani, “Sekarang juga, keluarlah dari bilik ini! Jika memang engkau terlalu pengecut untuk menerima tantanganku, sebaiknya engkau segera meninggalkan Menoreh dan jangan pernah menampakkan diri lagi!” Kembali sebuah desir tajam menggores jantung Anjani. Betapa pun Anjani telah merasa bersalah, namun dia bukanlah seekor cacing yang dengan sedemikian mudahnya untuk direndahkan. Harga dirinya pun terusik. “Mbokayu,” jawab Anjani kemudian dengan suara yang tenang dan mantap, “Terima kasih atas segala kebaikan hati mbokayu selama ini. Aku merasa terhormat menerima tantangan mbokayu untuk berperang tanding. Dengan senang hati aku terima tantangan ini, apapun alasannya aku sudah tidak peduli lagi. Betapapun hinanya diriku ini di hadapan mbokayu, akan tetapi harga diriku harus aku junjung tinggi. Aku tunggu mbokayu di sanggar.” Selesai berkata demikian, tanpa menunggu jawaban Sekar Mirah, Anjani dengan langkah tergesa-gesa segera berlalu dari tempat itu. Sepeninggal Anjani, untuk beberapa saat Sekar Mirah masih berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bilik. Berbagai perasaan sedang bergejolak di dalam dadanya. Ada sedikit perasaan bimbang yang bergelayut di hatinya. Bukankah dia belum menanyakan permasalahan yang sebenarnya ini kepada suaminya? Sejauh manakah hubungan yang telah terjalin di antara mereka berdua selama ini? Ki Rangga Agung Sedayu selama ini dikenalnya sebagai seorang suami yang lurus dan jujur. Adakah telah terjadi perubahan di dalam diri suaminya itu? “Kemungkinan itu tetap ada, selama kita masih berujud manusia,” berkata Sekar Mirah dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengendorkan gemuruh di dalam dadanya, “Manusia tidak pernah luput dari salah dan lupa.” Betapa kekecewaan dan kesedihan merajam jiwa dan raga Sekar Mirah, namun dia harus tetap tegar. Sebentar lagi dia akan menghadapi pertarungan antara hidup dan mati, dan dia masih ingin tetap hidup untuk melanjutkan cita-citanya. “Aku tidak boleh terbawa oleh penalaranku yang buram,” kembali Sekar Mirah berkata dalam hati sambil berjalan menuju ke pembaringan, “Jika aku terlalu menuruti perasaanku, dalam pertempuran nanti segala perhitungan dan pengetrapan ilmu-ilmu yang telah aku pelajari akan menjadi tumpang tindih dan dengan mudah akan terbaca oleh lawan.” Sejenak Sekar Mirah masih berdiri di tepi pembaringan sambil merenungi Bagus Sadewa yang tidur lelap. “Anak ini memang aneh,” desis Sekar Mirah dalam hati, “Seolah-olah dia tidak terpengaruh dengan keadaan sekelilingnya, jika memang itu tidak akan membahayakan dirinya. Namun jika keadaan berkembang lain, dia akan terbangun dan menangis keras-keras. Biasanya begitu mendengar suara gaduh, bayi-bayi akan terbangun dan menangis karena merasa terganggu. Agaknya panggraita anak ini sangat tajam melampaui anak-anak sebayanya..” Kembali Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil duduk di tepi pembaringan, diletakkannya tongkat baja putih itu di samping Bagus Sadewa. Ketika dia kemudian membungkukkan badan untuk mencium pipi anaknya, tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam telah menangkap langkah-langkah seseorang mendekati pintu bilik. Ketika Sekar Mirah kemudian berpaling, tampak Pandan Wangi sedang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah pintu bilik. Hampir saja Sekar Mirah berlari dan menubruk Pandan Wangi untuk meluapkan segenap kegelisahannya. Namun ternyata Sekar Mirah telah mampu menguasai dirinya dengan sebaik-baiknya. Maka katanya kemudian sambil tersenyum ke arah Pandan Wangi, senyum yang setengah dipaksakan, “Marilah mbokayu. Mungkin ada sesuatu yang penting sehingga mbokayu memutuskan untuk kembali ke bilik ini.” Pandan Wangi tidak segera menjawab pertanyaan Sekar Mirah. Dipandangnya wajah adik suaminya itu dengan pandangan yang tajam, setajam ujung pedang bermata rangkap yang tergantung di sebelah menyebelah lambungnya. Betapa pun Sekar Mirah mencoba untuk menyembunyikan perasaan yang sedang bergejolak di dalam dadanya, namun Pandan Wangi yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan gonjang-ganjing di rumah tangganya sendiri itu tetap mampu menangkap kegalauan yang tersirat dalam seraut wajah adik iparnya itu. Dengan langkah perlahan Pandan Wangi berjalan memasuki bilik. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Sekar Mirah yang menunduk dan berpura-pura sibuk membenahi selimut Bagus Sadewa. “Mirah,” desis Pandan Wangi perlahan sambil duduk di sebelah Sekar Mirah, “Aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari dalam bilik ini,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk melihat kesan di wajah adik iparnya itu. Lanjutnya kemudian, “Aku juga mendengar dinding bilik ini berderak derak seakan mau runtuh. Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” Untuk sejenak Sekar Mirah hanya berdiam diri. Dicobanya untuk menahan isak tangis yang tiba-tiba saja berdesak-desakan ingin keluar dari tenggorokannya. Sementara dari kedua sudut matanya perlahan menitik satu-satu air mata yang bening. “Mirah,” kembali Pandan wangi berkata lembut sambil menyentuh pundak adik iparnya, “Sedikit banyak aku telah mengetahui hubungan Anjani dengan Kakang Aging Sedayu.” Bagaikan disengat ribuan kalajengking, Sekar Mirah pun terkejut bukan alang kepalang. Sambil menegakkan punggungnya dan kening yang berkerut-merut, dia menantap tajam kearah wajah mbokayunya. Terdengar suaranya bergetar dan sedikit tersendat, “Mbokayu sudah mengetahui persoalan suamiku dengan Anjani? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” Mendapat pertanyaan seperti itu, untuk beberapa saat Pandan Wangi justru terdiam. Namun Pandan Wangi segera dapat menguasai dirinya, maka jawabnya kemudian, “Kakang Agung Sedayu pernah bercerita tentang hubungannya dengan Anjani pada saat kami berada di tepian kali praga sebelum pecah perang antara pengikut Panembahan Cahya Warastra dengan pasukan Mataram yang dibantu oleh pasukan pengawal Tanah Peridkan Menoreh.” Kedua mata Sekar Mirah menunjukkan keheranan yang sangat. Dengan mengerutkan keningnya dalam-dalam dia kembali mengajukan pertanyaan, “Mengapa mbokayu selama ini tidak pernah bercerita kepadaku? Mengapa mbokayu? Apakah sebenarnya yang telah terjadi di antara kita selama ini? Bukankah kita ini sebuah keluarga besar yang saling membantu jika salah satu dari kita mendapatkan masalah? Mengapa justru mbokayu diam saja? Aku benar-benar tidak habis mengerti.” Selesai berkata demikian Sekar Mirah segera menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil menahan perasaan yang kembali bergejolak di dalam hatinya. Dengan sekuat tenaga Sekar Mirah mencoba untuk tidak menangis. “Aku bukan perempuan cengeng,” geram Sekar Mirah mengeraskan hatinya, “Aku perempuan yang mempunyai kelebihan dibanding dengan perempuan kebanyakan. Perempuan kebanyakan hanya mampu merengek dan meratapi nasib yang jelek jika suami mereka berpaling kepada perempuan lain, namun aku tidak. Akan aku selesaikan permasalahan ini dengan caraku sendiri.” Berdesir jantung Pandan Wangi mendengar kata-kata Sekar Mirah. Walaupun ucapan itu seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, namun di sudut hati Pandan Wangi yang paling dalam, terasa sesuatu telah tergetar. “Aku memang perempuan cengeng,” keluh Pandan Wangi dalam hati, “Aku hanya dapat meratapi nasibku yang jelek ketika kakang Swandaru berpaling kepada perempuan lain,” Pandan Wangi menarik nafas panjang untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Katanya kemudian, “Maafkan aku, Mirah. Sejujurnya aku memang menunggu waktu yang tepat. Namun bukan berarti aku mengulur waktu dengan suatu pamrih pribadi. Tidak, Mirah. Justru aku menunggu saat yang tepat sampai Kakang Agung Sedayu sudah benar-benar sembuh dari sakitnya. Aku akan mengingatkan kakang Agung Sedayu tentang masalah ini dan biarlah dia sendiri yang akan menjelaskan kepadamu duduk permasalahan yang sebenarnya telah terjadi antara Kakang Agung Sedayu dengan Anjani, agar tidak terjadi salah paham.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Pandan Wangi. Sebuah desir tajam tiba-tiba menggores jantungnya. “Apa maksud mbokayu ini sebenarnya?” berkata Sekar Mirah dalam hati, “Mengapa mesti menunggu sampai kakang Agung Sedayu sembuh? Seharusnya dengan mendengar langsung permasalahan ini dari kakang Agung Sedayu, mbokayu Pandan Wangi berkewajiban menyampaikannya kepadaku. Bukan malah sebaliknya, seolah-olah mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja masalah ini bergulir semakin besar.” Sejenak Sekar Mirah berhenti berangan-angan. Ketika tanpa sengaja sudut matanya tertumbuk pada sepasang pedang yang tergantung di lambung mbokayunya, tanpa sadar tangan Sekar Mirah tiba-tiba saja terjulur untuk meraih tongkat baja putihnya yang tergeletak di sisi Bagus Sadewa. “Mirah?” terkejut Pandan Wangi yang menyadari di tangan kanan Sekar Mirah telah tergenggam senjata kebanggaan perguruan Kedungjati. Dengan cepat putri satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Apa yang akan engkau perbuat dengan tongkat baja putihmu itu, Mirah?” Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandangi kakak iparnya itu dengan pandangan tajam dan wajah yang tegang. Ingatannya segera melayang ke masa berpuluh tahun yang silam. “Pertama kali aku berjumpa dengan mbokayu ini, aku sudah dapat menangkap perasaan apa yang sedang berkembang di hatinya terhadap kakang Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah dalam hati mengenang masa lalu. “Kehadiranku di Menoreh dan kenyataan yang telah terjadi antara aku dan kakang Agung Sedayu agaknya tidak meredupkan cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu. Itu terbukti ketika keluarga mbokayu sedang mendapat cobaan. Ketika kakang Swandaru tergoda dengan perempuan lain, seharusnya orang pertama yang dijadikan tempat berkeluh kesah adalah ayahnya, Ki Argapati. Akan tetapi mengapa mbokayu justru telah berkunjung ke rumah kami terlebih dahulu, bukan ke rumahnya sendiri? Menyampaikan segala keluh kesahnya kepada kakang Agung Sedayu, bukan kepada ayahnya Ki Argapati?” “Bukankah kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruan kakang Swandaru dan sekaligus sebagai pengganti gurunya yang telah tiada?” jawab suara hatinya yang lain, “Sudah sewajarnya jika kejadian yang menyangkut kakang Swandaru harus dilaporkan kepada kakak seperguruannya.” “Tetapi bukankah kejadian itu tidak ada sangkut pautnya dengan paugeran atau pun wewaler sebuah perguruan? Mengapa mesti kepada kakang Agung Sedayu?” kembali suara hatinya yang lain menjawab. “Mungkin ada juga sangkut pautnya dengan paugeran atau wewaler dari perguruan orang bercambuk itu. Setiap perguruan tentu mempunyai paugeran atau wewaler yang khusus.” terdengar jawaban dari sudut hatinya yang dalam walaupun ada sedikit keraguan. Angan-angan Sekar Mirah tiba-tiba terputus ketika terdengar Pandan Wangi mengulangi pertanyaannya, “Untuk apa tongkat baja putih itu, Mirah?” Namun jawaban yang diterima Pandan Wangi justru sebuah pertanyaan yang membuat sekujur tubuhnya bagaikan disiram banyu sewindu sehingga membekukan seluruh aliran darahnya. “Mbokayu,” bertanya Sekar Mirah kemudian, “Untuk apakah mbokayu malam-malam begini memakai pakaian khusus lengkap dengan sepasang pedang di lambung?” Tersirap darah Pandan Wangi sampai ke ubun-ubun. Untuk beberapa saat kakak ipar Sekar Mirah itu bagaikan membeku. Ternyata pertanyaan Sekar Mirah itu telah membuat jantungnya bedegup semakin kencang. Namun akhirnya Pandan Wangi segera mampu menguasai diri. Jawabnya kemudian, “Mirah, aku tadi mendengar suara ribut-ribut dari arah bilikmu, dan juga suara dinding yang berderak-derak telah membuat aku harus waspada dengan apa yang sedang terjadi. Sungguh, Mirah. Aku tidak ada maksud apa-apa dengan pakaian khusus dan sepasang pedang ini. Aku hanya berjaga-jaga jika sesuatu berkembang semakin buruk, aku sudah siap.” “Apakah mbokayu sudah mengetahui atau setidaknya menduga apa yang akan terjadi antara aku dan Anjani?” kejar Sekar Mirah kemudian. “O, tidak tidak,” jawab Pandan Wangi dengan serta merta dengan raut wajah sedikit memerah, “Aku memang sempat menangkap kata-kata Anjani sebelum meninggalkan bilik ini yang ..” “Dan di pihak manakah mbokayu akan berdiri ..?” potong Sekar Mirah dengan cepat sambil memandang tajam ke arah mbokayunya. Seakan-akan ingin dijenguknya isi dada Pandan Wangi. Kali ini jantung Pandan Wangi benar-benar bagaikan tersulut bara api dari tempurung kelapa. Dia tidak menduga bahwa adik iparnya itu akan berpikir sampai sejauh itu dalam menanggapi dirinya yang telah siap dengan pakaian khususnya dan sepasang pedang di lambung. “Mirah,” berkata Pandan Wangi kemudian setelah gemuruh di dalam dadanya sedikit mereda, “Mengapa engkau begitu mudahnya berburuk sangka kepadaku? Apa salahnya jika memang aku mengenakan pakaian khusus ini? Seperti telah aku katakan sebelumnya, aku tidak tahu keadaan sebenarnya yang telah terjadi dalam bilik ini. Tidak ada salahnya jika aku berjaga-jaga dan selalu siap dalam menghadapi keadaan yang tidak menentu,” Pandan Wangi berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja bagaikan tercekik. Lanjutnya kemudian, “Dalam hal Anjani, aku tidak berhak mencampuri urusan keluargamu. Berbicaralah dengan kakang Agung Sedayu. Aku tahu suamimu adalah seorang laki-laki sejati yang selalu memegang janji.” Sekar Mirah mengerutkan keningnya dalam-dalam. Kedua sorot matanya memandang tajam ke arah Pandan Wangi seolah-olah ingin ditembusnya dada putri satu-satu Ki Gede Menoreh itu untuk melihat apa warna jantungnya. “Mbokayu,” terdengar lirih suara Sekar Mirah namun penuh dengan getaran perasaan, “Aku ingin mbokayu berkata jujur. Sebenarnya masih adakah rasa cinta mbokayu kepada kakang Agung Sedayu?” Jika ada petir yang menyambar sejengkal di atas kepalanya, Pandan Wangi tentu tidak akan sekaget mendengar pertanyaan dari adik iparnya itu. Untuk beberapa saat pandangan Pandan Wangi menjadi berkunang-kunang dan nafasnya pun bagaikan tersumbat. “Mbokayu..?” desis Sekar Mirah perlahan begitu melihat Pandan Wangi tiba-tiba saja mengeluh pendek sambil menunduk dan memegangi kepalanya dengan kedua belah tangannya. Namun Pandan Wangi adalah perempuan yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang sarat dengan duka lara, walaupun dia pada kenyataannya adalah putri satu-satunya kepala Tanah Perdikan Menoreh. Hatinya telah ditempa untuk menderita sejak kanak-kanak. Sejak ibu yang mengandung dan melahirkannya pergi dari sisinya untuk selama-lamanya. Kemudian ketika dia menginjak remaja, Sidanti saudara laki-laki satu-satunya kemudian juga telah pergi untuk menuntut ilmu ke tempat yang jauh bersama gururnya. Kebahagian sebagai keluarga yang berkumpul kembali hampir saja diraihnya ketika kakaknya Sidanti dan gurunya datang ke Menoreh, walaupun kesan pertama atas pertemuan mereka itu dirasakannya agak janggal. Dan ternyata kedatangan Sidanti memang tidak untuk membawakan setangkai bunga mawar yang indah untuk adik satu-satunya itu. Yang dibawa adalah seonggok bara yang kemudian membara dan membakar seluruh tanah Perdikan Menoreh menjadi abu. “Mirah,” pelan Pandan Wangi berkata sambil mengangkat wajahnya. Wajah yang terlihat sangat letih dan kosong. Perempuan kelahiran Menoreh ini memang luar biasa. Segala perasaan dan tekanan yang sedahsyat apapun telah mampu diendapkan didasar hatinya, walaupun untuk semua itu dia harus mengabaikan perasaannya. Lanjutnya kemudian, “Itu semua adalah masa lalu. Mengapa mesti diungkap kembali? Biarlah menjadi kenangan manis atau pun pahit dalam kehidupan kita masing-masing. Yang ada di dalam kehidupanku sekarang adalah kakang Swandaru, betapapun dia telah berkali-kali menyakiti hatiku. Namun bagiku, kakang Swandaru adalah tetap sebagai suamiku dan ayah dari anakku.” Kalimat terakhir dari mbokayunya itu bagaikan seribu jarum yang menghujam ke jantung Sekar Mirah. Betapa dia tahu kakak iparnya itu di masa gadisnya pernah menaruh harapan kepada Gupita, seorang anak gembala yang ternyata bernama Agung Sedayu. Namun biduk cinta yang baru berlayar untuk pertama kalinya itu pun akhirnya harus pecah berkeping keping dan kemudian karam di kedalaman laut kehidupan yang tak terukur, setelah Pandan Wangi mengetahui hubungan yang telah terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. “Sudahlah Mirah,” berkata Pandan Wangi selanjutnya begitu melihat Sekar Mirah hanya diam membeku, “Aku tidak ingin memperkeruh suasana. Tidak ada niat sebiji sawi pun di dalam hatiku untuk membiarkan rumah tanggamu menjadi goyah. Lebih baik engkau tanyakan sendiri persoalan keluargamu ini nantinya langsung kepada suamimu, sehingga apa yang akan engkau dengar nanti benar-benar sesuai dengan kenyataan yang telah terjadi.” Sekar Mirah masih diam membisu, namun wajahnya sudah tidak setegang tadi. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat baja putihnya tampak terkulai lemah di atas pembaringan. “Aku akan ke sanggar, menengok keadaan Anjani,” berkata Pandan Wangi selanjutnya sambil bangkit dari duduknya, “Aku tidak ingin kalian mengadu kerasnya tulang dan liatnya kulit hanya karena persoalan seorang laki-laki. Betapa pun hebat dan sempurnanya laki-laki yang kalian perebutkan itu, semua itu tidak sepadan dengan harkat dan martabat kita sebagai perempuan.” Selesai berkata demikian tanpa menunggu tanggapan Sekar Mirah, Pandan wangi pun segera melangkah menuju ke pintu bilik. “Mbokayu..,” tiba-tiba terdengar suara sendat Sekar Mirah ketika langkah Pandan Wangi hampir mencapai pintu bilik. Ketika Pandan Wangi kemudian memutar tubuhnya, tampak Sekar Mirah telah bangkit dari duduknya dan berdiri termangu-mangu di tepi pembaringan. Senjata andalannya yang nggegirisi itu tampak tergolek di tepi pembaringan. “Ada apa Mirah?” terdengar sareh suara Pandan Wangi. Sejenak Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang mbokayunya dengan sepasang mata yang basah, terdengar suaranya lirih dan sendat, “Terima kasih mbokayu dan maafkan atas keterlanjuranku.” Pandan Wangi tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian sambil melangkah kembali menuju pintu bilik, “Renungkanlah terlebih dahulu apa yang akan engkau perbuat. Dengan nalar yang dingin dan hati yang pasrah, berdoalah kepada Yang Maha Agung agar engkau diberi petunjuk.” Sekar Mirah hanya dapat menganggukkan kepalanya ketika bayangan mbokayunya itu telah hilang di balik pintu. Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tampak menjadi sedikit ragu-ragu. Namun ketika terpandang olehnya tongkat baja putih berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu, semangatnya seakan tumbuh lagi. “Apa boleh buat. Seperti mbokayu Pandan Wangi, aku pun harus siap menghadapi segala kemungkinan,” desis Sekar Mirah sambil berjalan menuju geledek dari kayu jati yang terletak di pojok bilik tempat pakaian khususnya tersimpan. Dalam pada itu, sebelum para peronda di gardu-gardu menabuh kentongan dengan nada dara muluk, rombongan Ki Tumenggung Purbarana telah mendekati tikungan Kaliasat. Beberapa saat yang lalu, dengan bantuan pengawal Sangkal Putung yang ikut di dalam rombongan itu, dengan mudah mereka telah melewati Kademangan yang subur itu tanpa hambatan sama sekali. Dengan seijin Ki Tumenggung Purbarana, pengawal yang berasal dari Sangkal Putung itu pun kemudian diperbolehkan untuk tinggal dan tidak ikut meneruskan perjalanan. “Mohon ijin Ki Tumenggung,” berkata salah satu Lurah prajurit yang menyertainya, “Apakah rombongan ini akan belok ke kiri menuju Hutan Macanan atau kah mengambil jalan lurus yang menuju padang rumput Lemah Cengkar sebelum memasuki Jati Anom?” Sejenak Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Menilik isyarat panah berapi yang kita lihat sebelum memasuki kademangan Sangkal Putung tadi, rombongan ini tentu sedang dalam pengamatan orang-orang yang sengaja akan membuat permasalahan dengan kita,” Ki Tumenggung berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pasukan berkuda ini cukup banyak dan memerlukan medan yang luas jika memang akan terjadi pertempuran. Aku lebih cenderung memilih lewat padang rumput Lemah Cengkar. Di padang rumput yang luas itu, nanti kita akan melintas dalam gelar yang luas dan bergerak dengan kecepatan yang tinggi agar sulit untuk disergap.” Lurah prajurit itu mengangguk-anggukkan kepala. Dengan sebuah hentakan kecil pada perut kudanya, dia melaju ke depan untuk memberi aba-aba agar pasukan berkuda itu mengambil jalan lurus menuju Lemah Cengkar. Ketika pasukan berkuda itu kemudian berderap dengan kecepatan sedang meninggalkan tikungan Kaliasat dan menyusuri sebuah bulak kecil yang langsung menuju lemah Cengkar, mereka pun kembali dikejutkan oleh lontaran panah berapi ke udara tiga kali berturut-turut. Semua orang yang berada di dalam pasukan berkuda itu ternyata sudah tidak terkejut lagi. Justru isyarat itu telah membuat mereka segera mempersiapkan diri. “Begitu kita memasuki padang rumput lemah Cengkar, atur jarak kalian,” perintah Ki Tumenggung kepada Lurah prajurit pengapitnya, “Usahakan kalian jangan berjajar dalam satu garis lurus agar memudahkan untuk saling membantu jika sewaktu-waktu terjadi penyergapan. Kita akan bergerak dalam Gelar Glathik Neba.” Para prajurit yang berkuda di sekitar Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar mendengar rencana Ki Tumenggung untuk menggunakan Gelar Glathik Neba selama melintasi padang rumput lemah Cengkar. “Sebuah gelar yang berbahaya,” hampir semua prajurit yang mendengar kata-kata Ki Tumenggung itu berkata dalam hati. Tak terkecuali Lurah pengapitnya tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mohon maaf Ki Tumenggung. Kita sedang membawa tawanan yang sangat penting dan perlu mendapat perlindungan. Apakah tidak sebaiknya kita menggunakan gelar Cakrabyuha?” Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, “Engkau benar. Gelar Cakrabyuha memang bertujuan untuk melindungi seseorang atau sesuatu yang sangat penting di pusat gelar, sedangkan gelar Glathik Neba justru akan memberi kesempatan kepada lawan untuk menyusup sampai ke pusat gelar.” Lurah pengapit itu kembali mengerutkan keningnya. Dengan agak ragu-ragu dia kembali bertanya, “Bagaimana dengan keselamatan Pangeran Jayaraga, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung tersenyum, bahkan kali ini agak lebar. Jawabnya kemudian, “Bukankah Pangeran Jayaraga juga berpakaian seperti prajurit kebanyakan? Mungkin hanya orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu yang masih dapat mengenalinya dalam pakaian prajurit kebanyakan serta dalam keremangan malam.” “Apakah Ki Tumenggung memang dengan sengaja memancing orang yang mengaku trah Mataram itu untuk memasuki pusat gelar?” bertanya Lurah itu selanjutnya. “Ya,” jawab Ki Tumenggung cepat, “Aku memang sengaja ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu,” Ki Tumenggung berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Setelah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, kita segera mengubah gelar menjadi Cakrabyuha.” “Mengapa tidak sekalian saja kita memakai gelar gedhong minep atau jurang grawah pada awal pertempuran sehingga kita tidak perlu mengubah gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. Kembali Ki tumenggung tersenyum sambil berpaling ke arah Lurah pengapit yang berkuda di sampingnya, jawabnya kemudian, “Penggunaan gelar gedhong minep atau jurang grawah akan sangat mudah ditebak tujuannya oleh lawan. Mereka tidak akan dengan sukarela memasuki gelar dan terjebak di dalam pusat gelar. Mereka tentu akan menggunakan gelar yang lebar, garuda nglayang atau capit urang misalnya. Sehingga mereka tidak akan langsung menyerbu ke dalam pusat gelar. Sebagai gantinya mereka akan menggunakan kedua sayap atau capit gelar itu untuk menusuk dan menghancurkan dinding gelar gedhong minep atau jurang grawah dari kanan dan kiri. Setelah dinding gelar jebol, barulah mereka akan memasuki gelar dan sekaligus menghancurkannya.” Lurah pengapit itu tampak masih ragu-ragu. Tanyanya kemudian, “Perubahan gelar dalam sebuah pertempuran yang kisruh akan sangat sulit dan tidak jarang membawa korban. Apakah kita mampu melakukannya, Ki Tumenggung?” Senyum Ki Tumenggung semakin lebar menanggapi pertanyaan Lurah prajurit yang masih cukup muda itu. Jawabnya kemudian, “Kita tidak menunggu sampai pertempuran benar-benar pecah. Begitu orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memasuki gelar, aku akan menyambutnya dan kalian segera bergerak membentuk gelar Cakrabyuha.” “Apakah para prajurit tidak akan mengalami kesulitan, Ki Tumenggung?” Ki Tumenggung tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Tentu saja tidak. Bukankah kita sudah sering melakukannya pada saat gladhen? Untuk itulah aku menyuruh kalian jangan sampai berjajar dalam satu garis lurus, sehingga pada saat perubahan gelar terjadi, kalian tinggal menyesuaikan dengan cara bergeser beberapa langkah untuk membentuk lingkaran yang berlapis-lapis.” Lurah pengapit itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Maaf Ki Tumenggung. Aku memang sering mengikuti gladhen itu, tapi itu sudah lama sekali terjadi sebelum aku dipindah tugaskan ke Pajang. Dua pekan sebelum keberangkatan pasukan Mataram ke Panaraga, aku diperbantukan ke Mataram dan bergabung dengan pasukan yang melawat ke Panaraga ini.” “O..,” desis Ki Tumenggung sambil mengangguk-angguk. Bertanya Ki Tumenggung kemudian, “Di manakah tempat tugasmu di Pajang?” “Di bagian Pelayan Dalam, Ki Tumenggung.” “O..,” kembali Ki Tumenggung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Itu tidak akan menjadi masalah yang berarti. Tugasmu dalam pasukan ini sebagai senapati pengapit. Engkau tinggal menyesuaikan diri karena engkau akan selalu berada di sampingku.” “Siapakah yang akan memberi aba-aba untuk pergantian gelar?” bertanya Lurah itu kemudian. “Lurah prajurit yang berada di depan dan belakang gelar yang akan menyampaikan setiap perintahku ke seluruh pasukan melalui prajurit penghubung.” Lurah prajurit pengapit itu mengangguk-anggukan kepalanya. Memang sudah sekian lama dia tidak ditugaskan di pasukan yang langsung berhubungan dengan medan perang. Namun pendidikan dasar yang pernah diperolehnya ketika dia mulai menapakkan kakinya di dunia keprajuritan tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Tak terasa perjalanan mereka telah mencapai ujung bulak yang pendek itu. Sekarang di hadapan mereka telah terhampar sebuah padang rumput yang luas, padang rumput lemah cengkar. Hampir setiap dada bergetar melihat padang rumput yang luas itu di dalam keremangan malam. Pohon beringin raksasa yang tumbuh di tengah-tengah padang itu terlihat bagaikan seorang raksasa yang sedang berdiri menunggu setiap mangsa yang akan lewat. “Bagaimana kalau cerita tentang siluman harimau putih itu benar-benar ada?” tiba-tiba seorang prajurit yang bertubuh kurus berbisik ke prajurit yang berkuda di sampingnya. “Siluman harimau putih itu memang ada,” sahut kawannya juga dengan berbisik. “Omong kosong!” seru prajurit kurus itu tanpa sadar sehingga beberapa orang telah berpaling ke arah mereka. “Engkau tidak usah berteriak,” desis kawannya, “Ada atau pun tidak ada itu bukan urusan kita. Dengar! Ki Lurah sudah memberi aba-aba untuk membuka gelar.” Dalam pada itu, Lurah prajurit yang berada di depan pasukan telah memberi isyarat untuk membuka gelar, sebuah gelar yang menurut perhitungan nalar memang sangat berbahaya jika diperuntukkan mengawal seseorang yang sangat penting. Namun bukan berarti gelar Glathik neba bukan sebuah pilihan yang tepat dalam sebuah pertempuran. Gelar Glathik neba akan digunakan dengan sadar oleh seorang Panglima perang jika kemampuan setiap prajurit orang-perorang di atas rata-rata. Demikianlah, sejenak kemudian ketika gelar itu telah terbentuk secara utuh, kembali terengar isyarat untuk segera memacu kuda-kuda itu dalam kecepatan tinggi melintasi padang rumput. Namun baru saja pasukan itu mulai memacu kuda-kuda mereka beberapa langkah, terdengar teriakan yang menggelegar memecah kesunyian malam di lemah cengkar. “Berhenti..!” teriakan yang disertai dengan tenaga cadangan yang mumpuni itu ternyata telah menggoncang setiap dada. Kuda-kuda yang sudah mulai melaju itu pun kemudian dikekang dengan tiba-tiba. Beberapa ekor kuda tampak mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meringkik keras-keras. Untunglah para prajurit itu sudah terlatih menggendalikan kuda, sehingga dengan segera mereka mampu menguasai kuda-kuda itu tanpa kesulitan yang berarti. Ki Tumenggung yang belum sempat memacu kudanya kencang-kencang itu untuk sejenak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Walaupun malam cukup gelap, namun pandangan matanya yang tajam melebihi orang kebanyakan segera tahu siapakah yang telah berteriak untuk menghentikan laju kuda-kuda itu. “Maaf Pangeran,” desis Ki Tumenggung kemudian sambil merapatkan kudanya di sisi kuda Pangeran Jayaraga, “Apakah ada suatu kepentingan yang mendesak sehingga Pangeran telah menghentikan laju kuda-kuda kami?” Pangeran Jayaraga tidak segera menjawab. Diedarkan pandangan matanya ke segenap sudut-sudut padang rumput Lemah Cengkar yang tampak sunyi namun mendebarkan. Jawabnya sejenak kemudian, “Engkau terlalu ceroboh dengan memerintahkan pasukanmu berpacu dengan kecepatan tinggi untuk melintasi padang rumput ini. Apakah engkau sudah yakin dengan siasatmu itu, Ki Tumenggung?” Kembali Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Betapapun hatinya sedikit kesal dengan pertanyaan itu, namun pertanyaan Pangeran Jayaraga itu pun kemudian dijawabnya juga, “Kita adalah sepasukan berkuda yang terlatih. Dengan menggunakan gelar Glathik Neba dan berpacu dalam kecepatan tinggi, lawan yang hanya berdiri di atas kedua kaki mereka, tidak akan mampu menahan gerak pasukan ini.” Pangeran Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Engkau melupakan sesuatu, Ki Tumenggung. Orang-orang itu akan menggunakan akal yang licik untuk menjebak pasukan ini. Mereka tidak akan merasa bersalah atau pun malu untuk menggunakan cara-cara licik dalam menghancurkan lawan,” Pangeran Jayaraga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah pernah terlintas dalam benakmu bahwa mereka mungkin saja telah menaruh jebakan di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh hampir setinggi pinggang itu? Aku tadi sempat melihat gerakan yang mencurigakan di antara rumput-rumput ilalang jauh di depan sana. Agaknya mereka sedang menunggu kita dengan senjata terhunus. Begitu kuda-kuda kita terjatuh karena melanggar jebakan yang telah mereka buat, dengan mudahnya ujung-ujung pedang mereka akan menembus dada para prajurit Mataram yang sedang dalam keadaan tidak berdaya.” Berdesir dada Ki Tumenggung Purbarana mendengar penjelasan Pangeran Mataram itu. Dengan cepat dia menghentak kudanya maju ke depan. Ketika kuda Ki Tumenggung kemudian maju beberapa tombak ke depan, jantung Ki Tumenggung pun bagaikan meledak. Pandangannya yang tajam segera melihat apa yang dimaksud oleh Pangeran Jayaraga. Di antara rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang, tampak tali-tali yang terjulur silang melintang yang diikatkan pada pathok-pathok kayu setinggi setengah lutut orang dewasa. “Gila! Licik! Pengecut!” geram Ki Tumenggung sambil membungkuk dan mengayunkan pedang dari atas punggung kudanya. Tali-tali yang melintang di hadapannya pun terbabat putus. Ketika dia kemudian mencoba menghela kudanya dengan perlahan maju beberapa langkah lagi, tali-tali yang terikat silang melintang pada pathok-pathok kayu itu pun tampak semakin tak terhitung jumlahnya dan tersebar hampir di seluruh medan yang akan mereka lewati. “Maju..!” teriak Ki Tumenggung tiba-tiba sambil mengangkat senjatanya tinggi-tinggi dan kemudian diputar dua kali di udara sebelum akhirnya senjata itu menunjuk lurus ke depan. Serentak pasukan berkuda itu pun bergerak maju dengan tertib dan teratur dalam gelar sapit urang. Dengan perlahan pasukan itu bergerak. Dengan tetap dari atas punggung kuda masing-masing, senjata para prajurit itu pun terayun-ayun menebas tali-tali yang silang menyilang di hadapan mereka. Dalam pada itu, di tengah-tengah padang rumput lemah cengkar, para pengikut Pangeran Ranapati tampak menunggu dengan gelisah. Mereka bersembunyi di antara lebatnya rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar hampir setinggi pinggang. Sudah sekian lama mereka menunggu sambil berjongkok bahkan ada yang bertiarap. Kegelisahan mereka semakin memuncak ketika mereka melihat dalam keremangan malam pasukan berkuda Mataram itu mulai bergerak memasuki padang rumput. Namun alangkah kecewanya para pengikut Pangeran Ranapati itu. Begitu pasukan berkuda itu mulai berpacu memasuki padang rumput, terdengar teriakan menggelegar memekakkan telinga yang menyuruh pasukan berkuda itu untuk berhenti. “Gila!” geram salah satu pengikut Pangeran Ranapati yang berkumis tebal, “Mengapa mereka berhenti justru pada saat kuda-kuda itu baru saja dipacu? Apakah mereka melihat tali-tali yang telah kita pasang?” “Tentu tidak,” jawab kawan di sebelahnya, “Kita telah memasang pathok-pathok kayu itu agak ke tengah agar tidak mudah untuk dilihat. Namun agaknya salah seorang dari mereka mempunyai panggraita yang sangat tajam sehingga telah mencegah kuda-kuda itu memasuki padang.” Orang berkumis tebal itu hanya dapat mengumpat berkali-kali. Dalam perhitungannya, alangkah mudahnya menghancurkan pasukan berkuda Mataram itu. Begitu kuda-kuda itu berjatuhan dan melemparkan penunggangnya jatuh bergulingan di atas rumput, dengan mudahnya senjata mereka akan menghabisi para prajurit yang sedang tidak berdaya itu. Namun pada kenyataannya seseorang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput Lemah Cengkar. Dalam pada itu, Pangeran Ranapati yang berdiri di bawah naungan rimbunnya pohon beringin tua dan terpisah agak jauh dari para pengikutnya, ternyata mempunyai perhitungan yang sama. “Tentu Adimas Pangeran Jayaraga yang telah mencegah pasukan berkuda itu memasuki padang rumput,” geram Pangeran yang mengaku telah terbuang dari lingkungan istana semenjak kanak-kanak, “Seharusnya Adimas Jayaraga menyadari bahwa aku dan para pengikutku justru sedang berupaya untuk membebaskannya dari hukuman.” Namun ternyata Pangeran Jayaraga telah menyadari dosa-dosanya dan berupaya untuk meluruskan kembali jalan hidupnya dengan mengikuti paugeran yang berlaku. Baik paugeran dalam tata pemerintahan Mataram, maupun paugeran dalam kehidupan kesehariannya yang berhubungan dengan bebrayan agung. Untuk sejenak suasana sangat mencekam. Pasukan berkuda itu bergerak dengan derap perlahan namun pasti. Ketika pasukan itu sudah hampir mencapai tengah-tengah padang, agaknya Pangeran Ranapati sudah tidak dapat menunggu lagi. Sejenak kemudian terdengar suara burung kedasih yang ngelangut dan menggetarkan jantung tiga kali berturut-turut. Agaknya suara burung kedasih itu sebagai isyarat bagi para pengikutnya untuk bergerak. Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata juga mendengar suara burung kedasih itu. Sebagai seorang prajurit yang telah kenyang makan asam garamnya pertempuran, isyarat itu telah memberinya peringatan bahwa sebentar lagi lawan akan menyerang. Demikianlah akhirnya, para pengikut Pangeran Ranapati pun telah bermunculan dari tempat persembunyian mereka. Bagaikan hantu-hantu yang bangkit dari kuburnya, mereka segera meloncat keluar dan berlari berhamburan sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat. Senjata-senjata mereka tampak teracu-acu mendebarkan dan berkilat-kilat tertimpa siraman sinar bulan tua. Jumlah mereka ternyata cukup banyak bahkan sepintas melebihi jumlah pasukan berkuda Mataram. “Maaf Ki Tumenggung,” berkata Lurah prajurit pengapit kepada Ki Tumenggung Purbarana yang tampak membeku di atas punggung kudanya, “Apakah kita akan bertempur dari atas punggung kuda?” “Ya,” jawab Ki Tumenggung dengan serta merta, “Namun kita jangan terpancing untuk maju ke depan lagi. Kita bertahan di sini saja. Masih banyak jebakan yang mereka pasang di depan. Kuda-kuda kita akan mengalami kesulitan.” “Baik Ki Tumenggung,” jawab Lurah pengapit itu sambil menggeser kudanya agak ke samping. Sementara Ki Tumenggung segera memberi isyarat kepada seorang Lurah prajurit yang berada beberapa langkah di depannya untuk memberi aba-aba. Sejenak kemudian terdengar aba-aba dari Lurah prajurit itu. Pasukan berkuda itu pun dengan cepat segera bergerak mundur beberapa langkah. Senjata-senjata pun mulai merunduk siap menyambut serangan lawan. Namun yang terjadi kemudian adalah sangat diluar perhitungan Ki Tumenggung Purbarana. Ketika para pengikut Pangeran Ranapati yang berlari-larian itu telah menjadi semakin dekat dengan tempat pasukan berkuda Mataram bertahan, tiba-tiba beberapa orang yang berada di barisan paling depan justru telah berhenti dan mengambil sikap. Dengan cekatan dan terampil mereka segera mempersiapkan busur dan anak panah. Pada awalnya pasukan berkuda Mataram mengira bahwa lawan akan menyerang dengan mempergunakan senjata jarak jauh. Namun pandangan tajam Ki Tumenggung Purbarana segera mengenali jenis anak panah yang digunakan oleh lawan. Anak panah itu bukan seperti anak panah biasanya yang tajam ujungnya. Ujung anak panah itu tampak tumpul dan dibebat dengan secarik kain. Sebelum pasukan Mataram menyadari apa yang akan dilakukan oleh para pengikut Pangeran Ranapati itu, tampak beberapa orang yang membawa busur dan anak panah itu telah mencelupkan ujung-ujung anak panah itu pada bumbung-bumbung kecil yang berada di ikat pinggang mereka. Ternyata bumbung-bumbung itu berisi minyak jarak. Sejenak kemudian batu-batu titikan telah dinyalakan pada sejumput gelugut aren. Segera saja ujung-ujung panah itu pun dinyalakan dan api pun berkobar di setiap ujung anak panah. “Gila!” teriak Lurah prajurit yang berada di paling depan, “Mereka akan menakut-nakuti kuda-kuda kita dengan panah berapi!” Namun ternyata dugaan Lurah prajurit itu meleset. Panah-panah berapi itu justru telah terlontar ke atas melewati pasukan berkuda itu dan jatuh di atas rumput-rumput ilalang di belakang mereka. Yang terjadi kemudian adalah sangat mendebarkan. Rumput-rumput ilalang itu pun dengan mudah segera terbakar dan menjalar dengan cepat. Kobaran api yang semakin membesar dan meluas itu ternyata telah membuat kuda-kuda pasukan Mataram menjadi gelisah dan ketakutan. Sebenarnya lah para prajurit Mataram itu sudah terbiasa dalam berlatih mengendalikan kuda. Namun api yang berkobar-kobar dengan dahsyatnya itu telah membuat kuda-kuda menjadi sangat liar dan sulit dikendalikan. Di saat keadaan pasukan Mataram sedang dilanda kesulitan itu lah, Ki Tumenggung Purbarana segera mengambil sebuah keputusan yang berani. “Turun dari kuda-kuda kalian!” teriak Ki Tumenggung kemudian, “Kita akan bertempur di atas tanah. Sekalian lecut kuda-kuda kalian!” Perintah itu tidak perlu diulangi sekali lagi karena para prajurit sudah tanggap akan maksud pemimpin mereka. Dengan tangkas para prajurit segera berloncatan turun dari kuda masing-masing. Begitu kaki mereka menjejak tanah, dengan sebuah sentuhan yang cukup keras pada bagian belakangnya, kuda-kuda itu pun menjadi semakin liar dan meloncat berlari sekencang-kencangnya ke arah depan dan menerjang apa saja yang menghalanginya. Sekarang giliran para pengikut Pangeran Ranapati yang dibuat terkejut bukan alang kepalang. Mereka tidak mengira kuda-kuda itu justru telah berlari kencang ke arah mereka. Namun agaknya tali-tali jebakan yang mereka buat di sela-sela rumput ilalang yang tumbuh rapat berjajar-jajar setinggi pinggang telah membuat beberapa ekor kuda jatuh terjerembab sebelum sempat melanggar para pengikut pangeran Ranapati. Walaupun dengan cepat kuda-kuda yang terjerembap itu kemudian bangkit berdiri dan kembali berlari. Sejenak medan di padang rumput lemah cengkar itu pun menjadi semakin kisruh. Beberapa pengikut Pangeran Ranapati sebagian telah berloncatan menghindari terjangan kuda-kuda yang luput dari tali jebakan. Namun tidak urung ada juga satu dua orang yang tidak sempat mengindar dan terjatuh terkena terjangan kuda-kuda yang menjadi liar itu. Dalam pada itu, api yang membakar rumput ilalang di belakang pasukan Mataram menjadi semakin membesar dan meluas. Ki Tumenggung yang melihat bahaya yang dapat ditimbulkan oleh api itu segera memerintahkan prajurit yang berada di barisan paling belakang untuk memadamkan api. Dengan cepat beberapa prajurit segera berpencar dan mencari apa saja yang dapat dijadikan alat untuk memadamkan api. Namun padang rumput lemah cengkar itu sangat luas dan diperlukan waktu untuk mencapai pepeohonan dan semak belukar yang tumbur di pinggir padang. Sementara para prajurit tidak berani meninggalkan pasukannya terlalu jauh. Lawan setiap saat dapat menyerbu. Betapapun para prajurit itu telah berusaha dengan alat seadanya, tombak-tombak panjang, perisai-perisai maupun pedang untuk mencegah agar api tidak menjalar semakin luas, namun kebakaran yang sudah terlanjur membesar dan meluas itu ternyata sangat sulit untuk dipadamkan. Di saat para prajurit itu hampir putus asa, tiba-tiba terdengar lamat-lamat sebuah tembang dandanggula yang ngelangut memecah udara malam di sela-sela hiruk pikuk yang terjadi di padang rumput lemah cengkar. Ketika mereka yang berada di padang rumput lemah cengkar itu sedang terpesona oleh tembang dandanggula yang ngelangut itu, tiba-tiba saja udara di atas lemah cengkar dengan cepat berubah menjadi dingin, sedingin banyu sewindu bahkan lebih dingin lagi. Sejenak kemudian, orang-orang yang berada di lemah cengkar itu pun harus berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan jantung mereka agar tetap berdenyut sehingga darah tetap mengalir di sepanjang urat nadi. Hawa dingin yang mencengkam itu benar-benar telah membekukan aliran darah mereka. Namun ternyata kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Beberapa saat kemudian udara di atas lemah cengkar itu pun kembali seperti biasa. “Seorang yang sakti telah membantu memadamkan kebakaran itu,” berkata Pangeran Jayaraga dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menghangatkan dadanya yang hampir saja membeku. Sambil melemparkan pandangan matanya ke tempat api yang telah padam, Pangeran Jayaraga kembali berkata dalam hati, “Berdiri di pihak manakah orang sakti ini? Semoga saja dia hanya menjadi penonton yang baik.” Sementara Pangeran Ranapati yang masih berlindung di bawah bayangan pohon beringin raksasa di tengah-tengah lemah cengkar itu telah mengumpat beberapa kali. “Gila!” geram Pangeran yang lebih di kenal di padukuhan Cepaga dengan nama Teja Wulung, “Aku tahu ini pasti permainan Guru. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Guru?” Namun sebenarnyalah putra laki-laki satu-satunya Rara Ambarasari itu dapat memaklumi apa yang telah dilakukan oleh gurunya. “Sejak muda Guru memang telah bergaul erat dengan alam,” kembali Pangeran Ranapati berangan-angan, “Sudah sewajarnya jika guru tidak rela pada setiap perbuatan yang dapat merusak keseimbangan alam.” Demikianlah akhirnya, padang rumput lemah cengkar itu telah kembali menjadi seperti sediakala. Kedua pasukan itu pun segera menyusun gelar masing-masing dan bersiap untuk saling berbenturan. ***** Dalam pada itu di Tanah Perdikan Menoreh, sebelum para peronda memukul kentongan dengan nada dara muluk, Ki Rangga Agung Sedayu tampak sedang duduk terpekur di hadapan Kanjeng Sunan. Berdua mereka sedang berada di dalam sanggar selepas mendapat jamuan makan malam oleh Ki Gede Menoreh tadi sore. “Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku tahu Ki Rangga sebenarnya sudah tidak mempunyai masalah dengan kesehatan Ki Rangga. Bersyukurlah bahwa Yang Maha Agung telah memberikan anugrah berupa kekuatan wadag yang luar biasa kepada Ki Rangga.” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah, “Namun hamba masih memerlukan banyak petunjuk dari Kanjeng Sunan untuk menyempurnakan bekal hamba dalam mengemban tugas sebagai prajurit dan sekaligus sebagai kawula Mataram dalam hubungannya dengan bebrayan agung.” Kanjeng Sunan tersenyum sareh. Katanya kemudian, “Ki Rangga, sebenarnya apakah tujuanmu dengan menempa diri mempelajari semua ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah engkau belum merasa cukup dan puas dengan keadaanmu sekarang ini? Apakah engkau ingin menjadi orang yang tak terkalahkan di atas bumi ini? Atau sebenarnya jauh di dalam lubuk hatimu telah terbesit sebuah keinginan untuk meraih mukti wibawa dengan berlandaskan ilmu yang telah engkau kuasai? Engkau ingin menjadi penguasa, Raja misalnya?” Tertegun Ki Rangga mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari Kanjeng Sunan. Seolah olah kini dirinya dihadapkan pada sebuah belanga yang berisi air yang jernih dan tenang. Betapa seluruh noda-noda di wajahnya kini nampak sangat jelas. Apakah yang selama ini dicarinya dengan segala macam ilmu jaya kawijayan guna kasantikan itu? Apakah dengan mempelajari segala macam ilmu itu dirinya dijamin akan selamat jika musuh-musuhnya ingin membalas dendam? bersambung ke bagian 3 Pages 1 2 3
Apidi Bukit Menoreh adalah sebuah seri buku karangan S. H. Mintardja. Seri buku ini tidak selesai sampai ia meninggal. Dalam seri itu terdapat 396 buku. Settingnya diawali dengan pecahnya Kerajaan Demak dan pertarungan antara Djipang dengan Padjang.
. 106 117 247 356 418 261 35 248
api di bukit menoreh 415